Mongabay.co.id

Maleo, Burung Berkonde Jantungnya Wallacea

Maleo, burung khas Sulawesi. Foto: Dok. EPASS/TNBNW

 

 

“Maleo ini, baru lihat saja kita sudah jatuh cinta. Maleo itu satwa kharismatik.”

Pernyataan itu diungkapkan Hanom Bashari yang bekerja di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW] melalui program Peningkatan Sistem Kawasan Konservasi di Sulawesi atau Enhancing the Protected Area System in Sulawesi [E-PASS]. Ia menjadi salah satu pembicara pada seminar daring memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar Mahasiswa Pecinta Alam Lawalata IPB dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB, Jumat [5 Juni 2020].

Hanom menjelaskan, siklus kehidupan burung maleo [Macrocephalon maleo] yang unik, cantik, endemik, namun rentan. Di kawasan TNBNW, terdapat 6 lokasi peneluran aktif sementara di luar kawasan ada 4 tempat. Dari total 47 lokasi peneluran yang dulunya tercatat, kini hanya tersisa 10 lokasi. Sementara di jalur pantai Gorontalo dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, hampir semua lokasi peneluran maleo di pantai sudah tidak aktif.

“Penyebabnya bisa karena perubahan habitat menjadi perkebunan, permukiman, lokasi wisata, dan pemandian air panas. Bahkan, ada salah satu kantor bupati yang dulunya sarang maleo bertelur,” ungkapnya.

Baca: Bukan Cara Biasa Menjaga Maleo

 

Maleo, burung khas Sulawesi. Foto: Dok. E-PASS/TNBNW

 

Idealnya, kata Hanom, melindungi maleo harus dilakukan dengan skala lanskap. Maleo merupakan satwa payung, melindungi maleo berarti melindungi satwa lain. Lanskap maleo itu dari tengah hutan sampai pantai dan cakupannya lebih luas dari hewan apapun di Sulawesi.

Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menghentikan perburuan maleo dewasa dan pengambilan telur. Bukan itu saja, lokasi peneluran harus dijaga dan hutan tersisa harus dipertahankan, sekaligus memulihkan area koridor.

Kenapa maleo bisa dikatakan sebagai jantung Wallacea? Hanom mengatakan, maleo merupakan family dari Megapodiidae, satwa khas Wallacea dan Australasia. Maleo adalah 1 dari 14 jenis megapoda yang ada di Indonesia, sementara di dunia ada 21 jenis. Di kawasan Wallacea, maleo merupakan jenis megapoda terbesar baik untuk ukuran tubuh dan telurnya. Keberhasilan konservasi maleo di Sulawesi dapat menjadi contoh konservasi megapoda di lokasi lain.

“Dengan melestarikan maleo, hutan akan terjaga.”

Baca: Mansur Yasong, Penjaga Habitat Maleo di Tanjung Matop

 

Telur maleo yang ukurannya sebesar telapak tangan orang dewasa. Foto: Hanom Bashari

 

Hari Maleo Sedunia

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW] yang terletak di Gorontalo dan Sulawesi Utara, disebut sebagai habitat terbaik maleo di dunia. Secara global maleo berstatus Genting [Endangered] akibat berkurangnya habitat dan perburuan. Diperlukan dukungan semua pihak dalam upaya pelestarian satwa kharismatik Sulawesi ini.

Sebagai bentuk aksi, Hanom dan banyak pihak yang fokus pada isu konservasi maleo kini menggaungkan tanggal 21 November sebagai Hari Maleo Sedunia. Kenapa dipilih 21 November? Tanggal itu merupakan pertama kalinya pelepasan kembali anak maleo ke alam, hasil dari bak penetasan semi alami di Tambun dalam program konservasi maleo di TNBNW pada 2001. Tahun tersebut menandakan, sudah 20 tahun program konservasi maleo dilaksanakan di TNBNW bersama mitranya.

Supriyanto, Kepala Balai TNBNW, yang menjadi pembicara berikutnya ikut menggaungkan hari maleo sedunia. Supriyanto banyak menjelaskan strategi konservasi maleo di TNBNW. Di lokasi ini, pengelolaannya dengan membangun tiga lokasi sanctuary, yaitu sanctuary Tambun dan Muara Pusian di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, serta sanctuary Hungayono di Gorontalo.

“Tiga lokasi ini sudah dibangun sarana dan prasarana seperti kandang habituasi, hatchery, pusat informasi, jalur pengamatan, hingga menara dan gubuk pengintaian,” ujarnya.

Sejak 2001 hingga April 2020, tercatat ada 21.344 chick atau anakan maleo yang dilepasliarkan ke alam, hasil penetasan semi alami di empat lokasi utama peneluran di TNBNW. Dalam kurun waktu yang sama dan lokasi yang sama juga, terdapat 38.944 telur diselamatkan untuk kemudian dipindahkan ke bak penetasan semi alaminya.

Maleo merupakan logo dan maskot TNBNW. Selain menjadi satwa prioritas nasional untuk dilestarikan, maleo berpotensi besar dalam pengembangan wisata di kawasan TNBNW. Selain itu, masyarakat dan kehidupannya adalah bagian dari harmoni pengembangan dan pengelolaan taman nasional agar memberikan manfaat luas bagi area sekitarnya.

Baca: Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan [Bagian 1]

 

Telur maleo ini diselamatkan dari perburuan, untuk selanjutnya dibawa ke penangkaran untuk ditetaskan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Herman Teguh, dari WCS Indonesia Program-Sulawesi, menambahkan bahwa maleo terancam karena hutan sebagai habitatnya mulai menyusut dan terfragmentasi sementara nesting ground-nya atau lokasi peneluran rusak akibat permukiman, perkebunan, dan juga pembangunan jalan. Di lanskap TNBNW katanya, nesting ground masih terjaga, sementara di luar kawasan sangat berisiko.

Nesting ground pantai itu yang paling terancam. Sebelumnya, antara Gorontalo dan Tutuyan [Bolaang Mongondow Timur] terdapat 9 nesting ground. Sekarang tinggal dua lokasi,” ucapnya.

Sebelumnya, Abdul Haris Mustari, staf pengajar pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, menjelaskan ekologi Sulawesi masa lampau. Sulawesi menurutnya adalah pulau yang proses pembentukan dan sejarah geologinya paling rumit di dunia. Bentuknya unik, ada yang mengatakan seperti huruf K, dan ada juga yang menggambarkan seperti sarang laba-laba.

“Sejak lebih 1-2 juta tahun lalu, Sulawesi sudah tidak terhubung dengan pulau lain, seperti Kalimantan di barat dan Kepulauan Maluku di timur,” katanya.

Keunikan dan kerumitan pembentukan geologinya, ikut berdampak terhadap keunikan dan kerumitan proses evolusi dan biodiversitas Sulawesi. Apabila kita berbicara daratan Sulawesi, ungkap Haris, yang paling tua umur geologinya adalah di bagian tengah.

Ia menjelaskan juga evolusi atau spesiasi dan biodiversitas Sulawesi, megafauna teresterial endemik, seperti anoa, babirusa, babi hutan sulawesi, yang akar evolusinya bermula di bagian Tengah [Tengah-Barat, Tengah-Tengah, Tengah-Timur] Sulawesi.

Demikian pula jenis-jenis primata Sulawesi; monyet hitam sulawesi [Macaca spp] yang berjumlah 8 spesies, dan tarsius [Tarsius spp] sebanyak 11 spesies, yang akar evolusinya dari bagian tengah Sulawesi. Spesies tersebut mengalami evolusi dan spesiasi allopatrik/adaptive radiation, yaitu jenis yang berasal dari leluhur yang sama, kemudian terjadi penyebaran populasi.

“Populasi yang baru mengalami isolasi geografi dan isolasi genetik; yang pada akhirnya menjadi beberapa spesies berbeda dengan spesies leluhurnya,” jelas Haris.

Baca juga: Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan [Bagian 2]

 

Maleo disebut macrocephalon atau si kepala besar. Bentuk kepala maleo berbentuk agak aneh, seperti memakai konde, jika dibandingkan dengan burung lainnya. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Pembicara lain adalah Jihad dari Burung Indonesia yang bercerita tentang Pulau Sulawesi sebagai pusat keanekaragaman jenis burung di Wallacea. Ada juga Muhammad Andre Rofiansyah Harahap dari Lawalata IPB, ketua tim Ekspedisi Sayap Bonawa yang melakukan penelitian maleo di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada 2018.

Salah satu lokasi peneluran maleo yang dikunjungi tim adalah Pilomanua. Tempat ini terakhir didatangi, kata Andre, tahun 2002. Jaraknya sekitar 8 jam jalan kaki dari Desa Pinogu, yang merupakan desa enclave di taman nasional. Saat disambangi, lokasi tersebut masih aktif, banyak ditemukan lubang bertelur maleo. Hal itu bisa dilihat dari sumber air panasnya yang masih ada.

“Lokasinya sekitar 300 meter dari Pilomanua, dipisahkan sungai. Setelah audiensi hasil dengan Balai TNBNW dan instansi terkait, disepakati lokasi baru ini dinamakan Lokasi Peneluran Lawalata,” paparnya.

 

 

Exit mobile version