Mongabay.co.id

Banjir di Siberut, Daerah Potensial Bencana Masih Sebatas Pemetaan [Bagian 2]

Rumah masyarakat terendam akibat banjir yang terjadi awal mei di Siberut. Foto: Fredianes/Mongabay Indonesia

 

 

Banjir besar melanda Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kamis [30/4/2020] hingga Minggu [03/5/2020] lalu. Sebanyak 1.796 rumah terendam hingga 2,5 meter dan ratusan keluarga mengungsi. Puluhan hektar sawah dan kebun rusak, sementara jembatan penghubung desa terendam, menyebabkan ekonomi masyarakat lumpuh.

Berdasarkan data Pusdalops Mentawai, 12 desa di lima kecamatan terdampak langsung bencana ini. Lima kecamatan tersebut adalah Siberut Barat, Siberut Utara, Siberut Tengah, Siberut Selatan, dan Siberut Barat Daya. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai pun menetapkan status tanggap darurat bencana selama 10 hari.

Baca sebelumnya: Banjir di Siberut, Kajian Karakteristik Daerah Aliran Sungai Harus Dilakukan [Bagian 1]

 

Rumah masyarakat terendam akibat banjir yang terjadi awal mei di Siberut. Foto: Fredianes

 

Pulau Siberut dan seluruh Mentawai sudah dilakukan pemetaan potensi daerah rawan banjir. Dalam RTRW sudah diatur, bagaimana sistem jaringan sumber daya air, berupa daerah aliran sungai [DAS].

“Suatu kawasan harus memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, misal daerah resapan dan tangkapan air sehingga menjadi kawasan yang harus dilindungi,” jelas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Mentawai, Naslindo Sirait.

“Potensi banjir dan kawasan resapan air diatur dalam struktur ruang. Persoalannya sekarang, bagaimana mewujudkan itu,” lanjutnya.

Program pengamanan DAS dan resapan air tidak hanya kewenangan pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat. “Namun demikian, kami bisa berkoordinasi juga dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, katakanlah untuk program normalisasi yang sudah kami buat perencanaannya,” sebutnya.

Naslindo menambahkan, struktur aliran sungai berpotensi menyebabkan sedimen, baik alami maupun tidak, seperti penebangan kayu. Jika hujan dengan intensitas tinggi, sedimen berpotensi menyebabkan banjir di sekitar.

Program seperti normalisasi memang diperlukan. Reboisasi [penanaman kembali] juga dilakukan di hulu dan sepadan sungai.

“Pola sungai di Mentawai itu berbelok hingga 180 derajat. Pengamanan dan pengendalian daerah aliran sungai, termasuk HPH yang ada di sana, harus dilakukan. Semua pihak harus bekerja sama,” tuturnya.

Alternatif berikutnya, relokasi masyarakat tapi perlu sosialisasi, kajian, dan komunikasi. “Mungkin ini solusi jangka panjang,” ujarnya.

 

Warga desa Malancan, Siberut Utara menjemur hasil kebunnya. Malancan merupakan desa langganan banjir. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia

 

Bambu cegah erosi

Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Mentawai menganggarkan Rp10 miliar untuk menanam bambu di sepanjang aliran sungai.

“Direncanakan ditanam di Siberut, namun tertunda karena wabah COVID-19. Penanaman diarahkan ke daerah aliran sungai Sikabaluan dan Saibi, yang sekarang masih di DAS Rereiket daerah Madobag, Siberut Selatan,” ulasnya.

Kenapa bambu? Naslindo menjelaskan alasannya. Pertama, bambu membangun koloni, bisa menahan abrasi sekaligus erosi. Kedua, secara vegetasi bambu cepat tumbuh dan lebih kuat dari kayu. Ketiga, bambu bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, ekowisata, juga pembatas alami taman nasional dengan ladang masyarakat.

“Penanaman direncanakan di pinggiran sungai, tapi tidak menutup kemungkinan daerah lain,” jelasnya.

Terkait keberadaan perusahaan kayu PT. Salaki Summa Sejahtera yang beroperasi di Siberut, Naslindo mengatakan sejauh ini tidak ada komunikasi.

“Sampai sekarang, kami tidak tahu karena mereka minim komunikasi ke Pemda Mentawai. Jika melihat regulasi, mereka self assesment, kemungkinan banyak berkomunikasi dengan pemerintah provinsi atau pemerintah pusat [KLHK]. Harusnya, rencana kerja tahunan [RKT] mereka berikan juga ke Pemda Mentawai agar kami tahu dan memberikan masukan,” jelasnya.

Pemerintah Kabupaten juga menyebut, mereka tidak diberitahu kewajiban yang telah dilakukan perusahaan. “Saya dapat laporan masyarakat, perusahaan mengambil kayu di luar areal izinnya, hingga batas sungai. Pengawasnya harus betul-betul dilakukan, apalagi DAS terjadi degradasi karena masyarakat mulai masif berladang maupun penebangan oleh perusahaan HPH,” jelasnya.

 

Sekolah Dasar di Monganpoula ini kerap dilanda banjir, jika sudah begitu sekolah bakal diliburkan. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia

 

Banjir ini musibah

Menanggapi banjir, perusahaan yang sampai saat ini beroperasi dan memiliki konsesi di Pulau Siberut, PT. Salaki Summa Sejahtera [PT. SSS], diwakili Humasnya, Harmanto menyebut sebagai musibah yang tidak dapat dihindari.

Dalam arti siapapun, dimanapun, dan kapanpun akan mengalami. Faktor penyebabnya banyak, tidak bisa menyalahkan satu orang. Ini musibah di musim penghujan, sebagaimana tanah longsor,” terangnya kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dia menyebut, sebagai perusahaan yang aktif di hutan Siberut, pihaknya sudah melakukan kewajiban sosial. Salah satunya, menanam kembali pohon yang ditebang.

“Kewajiban terhadap hutan yang kami kelola sudah dilakukan sejak tahun kedua setelah produksi. Kayu yang kami ambil ditanam lagi seperti meranti dan kruing. Kayu yang ditebang hanya yang memiliki nilai jual, ukuran 50 A,” sebut Harmanto.

Perusahaan yang memiliki izin konsesi seluas 57.605 hektar di Siberut Utara ini menyebut, penanaman kembali dilakukan berdasarkan RKT tahun sebelumnya.

“Tahun 2020, kami berkegiatan tanam pada RKT 2019. Penanaman dilakukan di Simaligi, Siberut Utara bagian barat, kemudian di Desa Sigabona dan Desa Tiniti,” terangnya.

Terkait banjir, menurut Harmanto, daerah yang terimbas itu Desa Malancan, Bojakan, Monganpoula, Satboyak, dan Sikabaluan. Kalau kita ikuti alur sungai, itu terlalu jauh, bisa dibuktikan dengan peta kerja kami. “Beda hulu, beda jalur sungai,” ujarnya.

Di Siberut banyak hulu sungai, tidak hanya satu. Di sana ada Sungai Sigep, kalau sepanjang aliran sungai itu yang menyebabkan banjir kami akui, karena areal kerja kami bermuara ke sungai ini. Sementara, banjir itu di Sungai Sikablauan.

“Kami tetap memikirkan aspek sosial, seperti memberikan bantuan di Desa Malancan dan Sikabaluan. Rata-rata, kelola sosial untuk satu bulan sekitar seratusan juta yang diberikan secara fisik maupun non. Begitupun dengan fee kayu, kami serahkan ke desa,”lanjutnya.

 

Kayu besar di hutan Siberut Utara yang menjadi incaran perusahaan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Mengenai pernyataan Kepala Bappeda Mentawai, Naslindo Sirait, Harmanto membantah. Menurutnya, setiap tahun RKT diserahkan ke dinas terkait, termasuk Pemkab Mentawai.

“Awal tahun sudah kami distribusikan ke Bupati satu buku besar, lengkap dengan peta kerja. Kami juga menyerahkan ke Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantauan di Pekanbaru,” sanggahnya.

Terkait laporan masyarakat ke Pemda Mentawai tentang pelanggaran perusahaan, dia juga membantah. “Sebelum menebang kami selalu memperhatikan sempadan sungai. Terkadang, di lapangan ada kekeliruan persepsi masyarakat tentang sungai.”

Apakah parit di hutan termasuk sungai? Saat musim hujan parit penuh air, ada penebangan di sana kemudian disebut di sempadan sungai. Sepengetahuan saya, sungai itu minimal lebarnya 4 meter, kalau parit hanya 1 meter kurang. Izin perusahaan kami dari kementerian hingga 2042, perpanjang atau tidak bergantung survei potensi berkala.

“Curah hujan tinggi dan air sungai tidak tertampung. Wilayah kerja kami juga tergenang meski tidak besar,” tegasnya. [Selesai]

 

 

Exit mobile version