Mongabay.co.id

Banjir Luwu, Potret Buruk Tata Kelola Lingkungan

Banjir di Kelurahan Suli. Foto: Adiyatma Syibil

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), sudah bencana, kesusahan warga bertambah lagi dengan banjir bandang. Itulah yang tengah dihadapi ribuan warga di Kecamatan Suli, Suli Barat, Larompong, dan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Mereka harus menerabas aturan tentang masker, dan jaga jarak. Mereka harus memberi uluran tangan, atau saling gendong untuk menerabas derasnya banjir.

Bagi warga, gerakan saling membantu untuk keselamatan bersama adalah hal terpenting. Di rumah-rumah dengan dinding roboh karena arus, lantai rumah penuh lumpur, harus jadi beban bersama.

Data Gugus Tigas COVID-19 Sulawesi Selatan, per 11 Juni 2020, mencatat, kasus positif meninggal dunia 2.516 orang, sembuh 795 dan meninggal 113 orang.

Setiap tahun, empat kecamatan itu jadi langganan banjir. Aliran deras air dari luapan sungai yang hulu berada di Pegunungan Latimojong. Pegunungan yang membentang, dari mulai Kabupaten Sidenreng Rappang, Enrekang, Luwu, Palopo, Tana Toraja, dan Toraja Utara. Puncak tertinggi Latimojong adalah Rante Mario mencapai 3.478 mdpl, merupakan puncak tertinggi Sulawesi Selatan.

Gugusan Latimojong ini bagai jantung pengendali air. Mata air, menghidupi enam kabupaten di sekitar. Salah satunya, sungai di Kecamatan Suli. Sungai ini meliuk dari Desa Kaladi di Kecamatan Suli Barat, Kaki Latimojong, dan bermuara di Teluk Bone.

Batang sungai inilah pada 7 Mei 2020, meluap dan membanjiri puluhan kampung dan ratusan hektar lahan pertanian. Hujan yang mengguyur kawasan itu sejak 5 Juni–6 Juni 2020, membuat air bergerak cepat. Hulu sungai yang seharusnya jadi penyangga dan pengendali air, tak bekerja.

Kanopi hutan dengan status sebagai hutan lindung, telah lama menghilang di tempat ini. Berubah jadi perkebunan, terutama cengkih.

Hasrul, Kepala Kesatuan Pengendai Hutan (KPH) Latimojong dalam wawancara via telepon mengatakan, kalau DAS Suli sangat kritis. Hulu sungai ini adalah Desa Poringan dan Kaladi, juga bagian zona lindung. “Kalau perkebunan Desa Kaladi, itu 90% (awalnya) adalah hutan lindung. Sekarang, sudah tidak ada lagi hutan. Semua terbuka jadi perkebunan,” katanya. Warga menanam cengkih.

Hasrul bilang, cengkih memang tanaman bernilai ekonomi tinggi bagi warga. Pemerintah daerah, selama ini belum mendorong bercocok tanam dengan model agroforestry. “Kalau kami mengenalkan tanaman hutan, warga bilang itu hasilnya sedikit,”

“Padahal untuk menanam cengkih, itu pembukaan lahan dilakukan dengan masif. Harus land clearing,”

“Setelah cengkih juga tinggi, bagian bawah pun harus bersih. Jadi, tidak akan mampu menahan laju air.”

Air terjun di Desa Kaladi, jadi magnet lain bagi sebagian orang. Warga banyak mengunjungi air terjun itu, apalagi para pencinta motor trail. Sesekali melihat mereka memutar gas dengan penuh semangat membelah kampung. Di media sosial, postingan foto-foto jalur, dan air terjun Kaladi menjadi pelepas dahaga.

“Air terjun itu, seperti ujung kampung. Awalnya, saya pikir pembukaan lahan hanya sampai di tempat itu, ternyata jauh ke dalam hutan, sudah kebun juga,” kata Hasrul.

 

Hutan lindung yang kritis di Desa Kaladi, Luwu. Foto: Fadriaty

 

Hasrul, seperti kehabisan kata untuk mejelaskan bagaimana kritisnya bagian hulu. Dalam data angka wilayah kerja KPH Latimojong (melingkupi Kabupaten Luwu dan Kota Palopo) luas hutan lindung mencapai 89.309,74 hektar. Dari luasan itu, 2.143 hektar sangat kritis. Seluas 18.055 hektar kritis, agak kritis 41.763 hektar. Lalu, potensial kritis 27.341 hektar. Hanya ada 0,43 hektar dinyatakan sebagai lahan yang tidak kritis.

Sebelumnya, tahun 2007, ketika banjir dan longsor menghantam kawasan ini, Walhi Sulawesi Selatan, melakukan penelusuran dan menemukan fakta lapangan, tentang wilayah hulu yang kritis. Tigabelas tahun kemudian, kondisi tak jauh berbeda dari sekarang.

Data Walhi 2007, mencatat, pembukaan lahan perkebunan hingga kemiringan 50 derajat. Tahun 2007, banjir dan bencana longsor itu titik utama di Desa Kaladi. Wilayah ini berada di ketinggian 1.200 mdpl dan jarak dari muara sekitar 22 km.

Gambaran longsor 2007, sebut Walhi, bermula ketika sebuah bukit di Kaladi jatuh menghantam anak sungai, yang bersatu ke Sungai Lampa (kini Sungai Suli). Dorongan tanah ini yang kemudian meningkatkan debit air dan memenuhi anak-anak sungai. Lumpur-lumpur bercampur air terbawa hingga muara dan mengendap di pesisir.

Sementara banjir yang menghantam wilayah Larompong dan Larompong Selatan, sama dengan wilayah yang dihadapi Suli Barat dan Suli. Kawasan Larompong–untuk menyebut dua kecamatan itu – pada bagian hulu juga hutan lindung jadi perkebunan.

Salah satunya, Desa Bukit Sutera. Desa ini terbentuk atas prakarsa Marwah Daud Ibrahim sekitar 2004 yang berada di ketinggian 690 mdpl. Di desa ini, ada proyek ulat setera yang gagal dan ditinggalkan begitu saja. Data Walhi 2007, menyebutkan ketika gagasan pengembangan ulat sutera, pemerintah membebaskan hutan lindung untuk budidaya. “Proyek ulat sutera ini turut andil dalam perusakan hutan lindung. Dimana jadi hulu hulu sungai yang mengalir ke Desa Tembo’E.”

“Kalau di Desa Kaladi itu 90% hutan lindung, kalau di Binturu dan Bukit Sutera itu, seluruh dulu hutan lindung,” kata Hasrul.

 

Banjir di Kelurahan Suli, Luwu. Foto: Adiyatma Syibil

 

Jadikan Latimojong zona konservasi

Sekitar 2014, ketika program hutan kemasyarakatan (HKM) atau perhutanan sosial mulai, Luwu, memilih Desa Kaladi jadi salah satu titik utama.

Lahan-lahan hutan lindung malah ditebang. Bagi warga, program perhutanan sosial itu bentuk izin mengelola lahan yang dulu hutan. “Warga selalu bilang pada kami, ketika sosialiasi. Bahwa mereka memiliki izin, itu sah.”

“Bagi saya, tidak ada yang salah dengan HKM, tapi pemahaman dan sosialisasi bagaimana model perhutanan sosial itu yang tidak sampai ke masyarakat.”

Sekarang hulu DAS, baik Sungai Suli dan Larompong, jadi buruan alias primadona. Beberapa orang mengklaim, kalau tanah-tanah di Kaladi, misal, dimiliki beberapa orang kaya di Luwu. “Kalau kami tanya ke warga, siapa yang punya lahan itu. Ya warga bilang para pendatang. Untuk menyebut namanya, mereka tidak akan mau atau tidak akan berani.”

Karut marut tata kelola perlindungan hulu, acap kali menimbulkan konflik, antara organisasi lingkungan dan warga. Sementara, pejabat daerah setingkat camat dan lurah, tak pernah melakukan upaya penghentian deforestasi. “Jika ingin selamat, Latimojong memang seharusnya jadi kawasan konservasi, atau jadi taman nasional,” kata Ngakan Oka, Guru Besar Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Prof Oka, begitu sapaan akrabnya, bilang, perubahaan status kawasan jadi konservasi akan memberikan proteksi tinggi demi keselamatan lingkungan. “Latimojong adalah kawasan dengan keanekaragaman hayati spesifik. Pegunungan ini juga yang menyediakan air bersih dan menghidupi ratusan ribu penduduk di sekitar kawasan. Saya kira saatnya kita memikirkan masa depan lingkungan kita ke depan,” katanya.

 

Tembok Sekolah madrasah di Suli yang roboh. Foto: Ina Usman

 

***

Bencana pada 6 Mei 2020, adalah banjir sehari setelah perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Ia bak sebuah hantaman. “Ini berarti alam mengingatkan kita akan tata kelola itu,” kata Adiyatma Syibili, warga di Kecamatan Suli.

Bagi Ade, warga yang lahir dan besar di Kampung Kombong, banjir adalah perayaan senang-senang masa kecil. Berburu ayam yang tenggelam di kebun kakao, atau berlarian bersama teman. “Tapi, kemarin (6 Juni 2020-red), banjir itu besar sekali. Bukan lagi kesenangan, tapi petaka,” katanya.

Bagaimana banjir saban tahun bisa terjadi? Pernyataan itu menghinggapi benak banyak warga di Suli, Suli Barat, Larompong, dan Larompong Selatan. Mereka hanya mampu mengira, soal curah hujan dan pembukaan hutan di hulu sungai.

Lebih dari itu, ketika banjir membawa tanah, lumpur itu mengendap di pesisir pantai, sungai menjadi dangkal karena sedimentasi.

Beberapa spesies ikan yang dulu jadi primadona warga di batang sungai mulai lenyap. Tak ada lagi kakap air tawar (bahasa setempat kalera) yang melompat. Tak ada lagi bandeng tawar (bahasa setempat kampulang) yang menabrak saat warga berenang.

Tahun 2016, proyek pelurusan Sungai Suli berjalan. Sekitar jembatan utama yang menghubungkan jalan provinsi, tebingnya di lapisi tumpukan batu dengan dengan kawat (bronjong). Titik lain di Dusun Kombong, sungai dikeruk dan sisa material ditumpuk di pinggiran tebing sungai hingga menyerupai tanggul tanpa kawat pengaman.

Alhasil, ketika sungai meluap, tanggul pasir dari sisa material dasar sungai jebol. Air yang melimpah dan membawa material pasir menghantam rumah di sekitar sempadan dan menjebol dinding.

Sekitar 100 meter, dari tanggul pasir itu, sungai yang awal selebar 15 meter, jadi 50 meter. Kebun-kebun warga di sisi sungai dikeruk. Aliran baru sungai terbentuk, dan jadi batang sungai itu terbelah dua.

Saat debit air tinggi, dua batang sungai buatan itu menyatu dan membuat air bergemuruh membentur tanggul.

Ironisnya, pemilik kebun di sempadan, tak memperoleh ganti rugi. Padahal, sebelum sungai buatan itu dilaksanakan, kebun di sekitar tumbuh kakao dan rumpun bambu nan subur.

“Sekarang, biar sejengkal tidak ada lagi kebun itu. Orang-orang datang, bilang kalau membuat lurus sungai akan mengurai banjir. Demi kemaslahatan banyak orang. Begitu mereka bilang ke saya, dan akhirnya saya relakan kebun itu,” kata salah seorang warga pemilik kebun.

“Sekarang, hujan. Tetap banjir. Rumah saya terendam,” katanya.

Di grup-grup media sosial ramai tudingan. Beberapa orang juga mengunggah foto Bupati, Basmin Mattayang dan Syukur Bijak, Wakil Bupati Luwu mengunjungi tempat banjir. Mereka menyapa warga dan memberi semangat.

Tim Badan Penanggulan Bencana Daerah Luwu, mencatat, banjir di empat kecamatan merendam 3.434 rumah, serta enam keluarga mengungsi. Tak ada korban jiwa. Tim ini juga menaksir kerugian sampai Rp10 miliar.

Aminuddin Alwi, Sekretaris BPBD Luwu, via telepn hanya memberikan jawaban singkat. “Maaf untuk sementara, kami persiapan distribusi air bersih dan mie instan.”

 

 

Keterangan foto utama:  Banjir di Kelurahan Suli. Foto: Adiyatma Syibil

 

Exit mobile version