Mongabay.co.id

Gaya Hidup Hijau Menyongsong Era Tatanan Kehidupan Baru

Dunia internasional termasuk Indonesia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada setiap tanggal 5 Juni. United Nations Environment Programme (UNEP) menetapkan tema peringatan tahun ini adalah “Time for Nature”. Tema ini mengajak siapa saja untuk mendedikasikan waktu dalam kehidupannya untuk peduli kepada alam dan lingkungan.

Peringatan tahun ini pun teramat istimewa di tengah suasana dunia yang diliputi pandemi COVID-19. WHO pun telah menyatakan virus corona dapat menjadi endemik seperti HIV. Virus ini diprediksi tidak akan pernah hilang meskipun antivirus ditemukan sekalipun.

Pihak WHO juga meminta dunia untuk bersiap diri untuk beradaptasi dan menyambut era “the new normal” atau tatanan kehidupan baru.

Perilaku kehidupan mulai dari individu, komunitas hingga entitas kenegaraan mesti lebih ramah lingkungan dengan gaya hidup hijau. Substansi new normal adalah penguatan protokol kesehatan melalui perilaku hidup sehat dan bersih yang merupakan bagian dari gaya hidup hijau.

Baca juga: New Normal: Momentum untuk Kembalikan Relasi Manusia dengan Alam

 

Relasi manusia dan alam yang baik akan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Ilustrasi foto: Seorang bocah di bonceng sepeda usai pulang sekolah dengan memakai masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang lalu. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Refleksi Pencapaian

Segala makanan, minuman, dan material untuk menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup semua bersumber dari alam. Sayangnya eksploitasi alam jauh lebih tinggi tanpa diimbangi upaya konservasi. Alhasil alam rusak dan muaranya turut mengancam kemanusiaan itu sendiri.

Dalam lamannya terkait Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020, UNEP telah menyampaikan pesan tentang strategisnya peran alam dan lingkungan. Alam adalah faktor penyumbang tingkat pencapaian setidaknya sembilan dari tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Pertama adalah menghilangkan Kemiskinan. Laporan PBB dalam The Sustainable Development Goals Report 2019 menyatakan bawah target mengurangi angka kemiskinan tidak akan tercapai. PBB memperkirakan masih akan ada 6% penduduk dunia yang berada di bawah garis kemiskinan pada 2030.

Sebanyak 55% penduduk dunia tidak memiliki jaminan sosial. Semakin miskin suatu wilayah, semakin besar pula kerentanan saat terjadi bencana. Data PBB menyatakan, 90% kematian akibat bencana terjadi di negara-negara miskin. Alam yang melindungi dan mensejahterakan manusia belum mampu terwujud untuk membantu mencapai tujuan ini.

Kedua adalah menghilangkan kelaparan. Data PBB menunjukkan jumlah penduduk yang kelaparan terus meningkat dari 784 juta di 2015 menjadi 821 juta di 2017. Ironisnya, dua pertiga atau 66% diantaranya bekerja di sektor produksi pangan atau pertanian.

Fakta menunjukkan petani masih terus termarjinalkan dan keberpihakan terhadapnya sangat rendah. Pandemi COVID-19 semakin melonjakkan jumlah penduduk yang kelaparan ini.

Ketiga adalah menyediakan air bersih dan sanitasi. Data PBB menunjukkan 785 juta penduduk dunia masih tidak memiliki akses ke fasilitas air minum yang layak di 2017. Sebanyak 2 dari 5 penduduk dunia tidak memiliki fasilitas cuci tangan yang layak menggunakan air dan sabun.

Sebanyak 673 juta orang masih BAB di ruang terbuka dan 700 juta penduduk di bumi terancam mengungsi akibat kekurangan air ekstrem. Fakta ini menunjukkan kegagalan dalam upaya menyediakan air bersih dan sanitasi.

Keempat adalah menyediakan energi yang bersih dan terjangkau. Sebanyak 90% penduduk dunia sudah memiliki akses ke energi listrik. Namun, tidak semua wilayah bisa terjangkau. Peluang terbesar untuk menyediakan listrik bagi mereka adalah dengan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT).

Sayangnya EBT baru menyumbang 17,5% total konsumsi energi dunia. Kini masih ada 3 milyar penduduk bumi yang tidak memiliki akses ke energi yang bersih untuk memasak.

Kelima adalah mewujudkan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Eksploitasi sumber daya alam masih terus berlangsung. Dunia menggunakan 92 milyar ton bahan baku pada 2017 naik dari 54 milyar ton pada tahun 2000 dan diperkirakan akan terus naik ke 190 milyar ton bahan baku pada 2060.

Jejak penggunaan bahan baku (material footprint) masyarakat di negara maju 13 kali lipat lebih tinggi dibanding dengan negara miskin. Sebenarnya ada 100 negara yang aktif mempromosikan pola konsumsi dan produksi yang ramah alam. Namun tren “pemborosan yang berkelanjutan” masih tercermin dari data di depan.

Keenam adalah aksi iklim. Data ilmiah menunjukkan suhu bumi telah meningkat 1°Celcius di atas suhu bumi sebelum revolusi industri. Hingga kini 186 negara sudah meratifikasi Perjanjian/ Kesepakatan Paris. Namun aksi mereka memangkas emisi gas rumah kaca masih gagal memenuhi target.

Krisis iklim telah mencabut 1,3 milyar nyawa dalam periode 1998-2017. Untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, konsentrasi emisi karbon di bumi harus dipangkas 55% dari level tahun 2010 pada 2030 atau 10 tahun lagi. Setelah itu diharapkan dunia berhenti menghasilkan polusi iklim (zero net emissions) pada 2050.

Ketujuh adalah menyelamatkan kehidupan di air. Tingkat keasaam air laut telah naik 26% sejak masa sebelum revolusi industri di abad ke-18. Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi antara 100-150% hingga tahun 2100. Pemicunya karena laut menyerap 90% konsentrasi karbon dioksida di atmosfer yang memicu peningkatan keasaman air laut.

Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) juga memicu turunnya produksi bahan sulfur. Emisi sulfur dalam atmosfer berperan penting memantulkan energi dan radiasi matahari kembali ke angkasa sehingga bumi terhindar dari efek pemanasan global. Kondisi ini berdampak pada keselamatan dan perekonomian penduduk dunia.

Kedelapan adalah menyelamatkan kehidupan di darat. Keanekaragaman hayati terus menurun. Dalam 25 tahun terakhir, laju kepunahan naik 10%. Degradasi lahan terus terjadi dengan luas mencapai 20% wilayah bumi dan sekitar 1 milyar penduduk dunia merasakan dampaknya.

Kondisi ini justru terjadi saat luas wilayah yang dilindungi terus naik. Wilayah daratan (terrestrial areas) yang dilindungi naik 39% dalam periode 2000-2018. Sedangkan luas wilayah air tawar dan pegunungan yang dilindungi meningkat 42% dan 36% pada periode yang sama.

Terakhir adalah kerjasama untuk mencapai semua tujuan tersebut. Bantuan negara-negara maju atau Official Development Assistance (ODA) berfungsi penting dalam mendorong perubahan di negara-negara miskin dan berkembang. Data PBB menunjukkan, jumlah bantuan dari negara-negara maju untuk negara-negara miskin justru turun 3% di 2018 dari tahun sebelumnya.

Baca juga: Pasca Pandemi: Refleksi Hari Bumi di Tengah Wabah yang Melanda

 

Merawat dan memilihara alam, termasuk menanam tanaman pohon untuk melestarikan Bumi. Ilustrasi seorang anggota kelompok tani hutan yang sedang melakukan pembibitan pohon tanaman hutan di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Gaya Hidup Hijau

Rendahnya tingkat pencapaian tujuan SDGs di atas terjadi karena kompleksitas permasalahan.  Alam dan lingkungan terbukti dalam kuasa gaya hidup eksploitatif manusia, mulai dari individu, korporasi, hingga negara. Kunci mengurai permasalahannya tentu menuntut kontribusi dan sinergi lintas sektor.

Hal paling sederhana adalah level individu. Upaya perbaikan alam dan lingkungan mesti dilakukan mulai dari sekarang dan dari hal terkecil. Hal terkecil tersebut justru menjadi sisi fundamental, yaitu upaya membudayakan gaya hidup hijau.

Kondisi Pandemi COVID-19 mengajarkan bahwa pembatasan aktifitas manusia telah memperbaiki kualitas lingkungan secara nyata, seperti kualitas udara, iklim, persampahan, polusi suara dan lainnya. Era tatanan kehidupan baru yang akan dihadapi ke depan mesti mempertahankan spirit dan budaya ramah lingkungan selama pandemi ini.

Gaya hidup manusia selama ini menurut FAO telah menyebabkan sedikitnya 1,3 milyar ton makanan terbuang percuma. Padahal 1 dari 7 orang di dunia masih terkena bencana kelaparan dan lebih dari 20 ribu anak balita meninggal setiap hari karena kelaparan.

Dampak dari limbah makanan selain merugikan secara finansial juga berdampak buruk bagi lingkungan. Semakin banyak sisa makanan yang terbuang berarti juga semakin besar pemborosan terhadap penggunaan bahan kimia, sumberdaya air, serta bahan bakar. Semakin besar makanan terbuang ke tempat pembuangan sampah juga akan membuat kontribusi yang signifikan terhadap pemanasan global.

Hasil studi BPS (2018) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) masih berkisar pada angka 0,49 (dari angka mutlak 1). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita baru setengah-setangah berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Peduli atau ramah lingkungan harus  terus diupayakan termasuk konsumsi pangan. Sangat penting mendorong perilaku dan gaya hidup manusia agar efisien dan ramah lingkungan.

 

Generasi Hijau Anak “Gaul”

Masa depan lingkungan berada di pundak generasi sekarang. Tahun 2020-2030 diprediksikan ada Bonus Demografi. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada  periode itu akan mencapai 70% atau sekitar 180 juta orang. BKKBN memproyeksikan dari 100 penduduk produktif tersebut, 44 orang diantaranya adalah usia muda.

Bonus Demografi adalah berkah sekaligus berpotensi musibah bagi lingkungan ke depan. Semua tergantung pada kualitas manusianya. Generasi muda yang peduli lingkungan adalah berkah bagi pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, generasi muda yang acuh tak acuh bahkan cenderung merusak tentu akan membawa musibah bagi degradasi lingkungan mendatang.

Strategi menghadirkan generasi peduli lingkungan dapat diupayakan melalui sektor pendidikan dan sosial budaya. Pendidikan lingkungan hidup mesti hadir di sekolah atau perguruan tinggi, baik normatif maupun aplikatif. Program sekolah ramah lingkungan (adiwiyata) atau kampus ramah lingkungan layak dikembangkan lebih intensif.

Keluarga dan lingkungan masyarakat penting menciptakan suasana kondusif dan membuka kesempatan bagi anak muda untuk berkiprah dalam aksi lingkungan. Sudah saatnya anak muda diberikan porsi tugas rumah untuk menyapu, mengelola sampah, menanam, atau merawat taman.

Anak muda memiliki gaya dan cita rasa tersendiri. Pendekatannya pun harus sesuai secara sosial budaya. Model kegiatan yang santai dan gaul penting diupayakan dalam implementasinya. Anak muda juga dapat diajak dalam program-program kerja bakti di kampung. Karang Taruna, Remaja Masjid, atau komunitas lain dapat menjadi media organisasi yang baik untuk menerapkannya.

Peduli lingkungan sebagai bagian bukti anak gaul harus diangkat menjadi stigma bersama. Anak muda mesti sadar bahwa gaya hidup hijau atau peduli lingkungan menjadi bagian penciri kehidupan gaul era tatanan kehidupan baru kini.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

 

Exit mobile version