Mongabay.co.id

Bongku Bebas dari Penjara, Akankah Bebas pula Kelola Lahan Adat?

 

 

 

 

Bongku bin Jelodan tampak tersenyum. Dia melambaikan tangan pada penasehat hukum yang menunggu di ruang video conference, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A, Bengkalis, Riau. Memakai kaos tahanan kuning tua, Bongku menyalami Uli Amalia Situmorang dan Noval Setiawan. Dia lalu duduk di tengah kedua pengacaranya itu.

Setelah bertegur sapa dan mengabari kondisi selama dalam tahanan, Bongku lebih banyak menundukkan kepala kecuali saat menjawab pertanyaan pengacara publik LBH Pekanbaru.

Baca juga: Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

Bongku bebas. Bongku akan meninggalkan lapas. Hari itu, Bongku sengaja menunda menyelesaikan administrasi, sebelum bertemu pengacara yang setia mendampingi sejak dari tahanan Polsek Pinggir, Bengkalis.

Sebelumnya, pada 18 Mei 2020, Majelis Hakim PN Bengkalis menghukum Bongku setahun penjara, denda Rp200 juta karena menebang akasia-eukaliptus seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi.

Pasca putusan Bongku bersama penasehat hukum langsung banding pada 22 Mei 2020. Namun pada 5 Juni 2020, Bongku mencabut dan tak lanjut banding karena rindu istri, anak dan keluarganya.

Bongku mengutarakan, kebimbangan dan perasaan hati setelah membatalkan upaya banding. Satu sisi ingin segera bebas, sisi lain ingin terus berjuang dan menolak menyerah pada perusahaan yang melaporkannya.

Pada 3 Juni 2020, Juli, istri Bongku membawa anak bungsunya ke lapas. Mereka diantar Uka Sopian sebagai Bathin Beringin Sakai. Uka bawa selembar surat untuk ditandatangani Bongku. Isinya, mencabut kuasa pengacara dan menyatakan menerima keputusan Pengadilan Negeri Bengkalis.

Setelah Bongku goreskan tandatangan di atas materai, Uka dan Juli langsung menyambangi Kejaksaan Negeri Bengkalis. Kepala Seksi Pidana Umum, Iwan Roy Carles turut menyertakan tandatangan di sebelahnya. Setelah itu, Uka dan Juli menyerahkan surat bertulis tangan itu ke pengadilan.

Meski pada hari sama, penanggalan surat itu berbeda. Bongku, 8 Juni 2020 sementara Iwan Roy Carles 4 Juni 2020.

Kata Iwan, penanggalan pada tandatangan sudah benar pada hari Uka dan Juli menemui di Kejaksaan Negeri Bengkalis, sekitar pukul 17.00. Dia lihat tanggal terlebih dahulu. Hanya, dia tidak perhatikan tanggal pada tandatangan Bongku karena waktu itu sangat sibuk. Iwan baru tahu setelah Mongabay konfirmasi.

Ketika dihubungi, Uka menyebut, surat itu dibuat di rumahnya satu hari sebelum bertemu Bongku. Kalimat dalam surat itu dirancang bersama beberapa warga Sakai lain dan ditulis seseorang yang dia tidak mau sebut namanya. “Itu murni dari kami tanpa ada pengaruh perusahaan.”

Dua hari pasca pembatalan banding, Pengadilan Negeri Bengkalis mengirim akta pencabutan permintaan banding dan relaas pemberitahuan pencabutan permintaan banding ke Lapas Bengkalis.

Kasi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik Lapas Kelas II A Bengkalis Muhammad Hasan membacakan surat itu di hadapan Bongku untuk ditandatangani.

 

Konsesi PT Arara Abadi di Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis.  Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Keesokan hari, admin Instagram LBH Pekanbaru menerima direct message dari Rizki JP. Poliang, pengacara di Riau. Dia tanya status perkara Bongku, sekaligus menyertakan tangkapan layar halaman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Bengkalis, yang menetapkan pencabutan banding pada 5 Juni 2020.

Admin menjawab, bahwa, LBH Pekanbaru tidak pernah mencabut banding dan upaya hukum akan tetap jalan. Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru mengetahui kabar itu esok hari. Informasi itupun kemudia diketahui banyak orang terutama Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah dan orang-orang yang mendukung Bongku.

Pada Senin 8 Juni 2020, Juli dan Uka pun datang ke Kantor LBH Pekanbaru menyerahkan surat pencabutan kuasa dan pembatalan banding.

Andi Wijaya, mengatakan, pembebasan Bongku sesuai Permenkumham dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Bongku bebas karena asimilasi dan kondisi COVID-19 di Indonesia, bukan karena ada indikasi lain,” katanya. Bongku menjalani sisa tahanan luar sampai November 2020.

LBH Pekanbaru menghormati keputusan Bongku. Uli Amalia Situmorang terus di sebelah Bongku untuk membacakan tiap lembar surat sebelum ditandatangani. Selesai itu, Bongku dibawa ke klinik lapas untuk periksa kesehatan. Tensi darah sampai berat badan dicek beberapa kader kesehatan di sana.

Selanjutnya, seorang petugas lapas meminta Bongku mengemas barang-barang dan ganti baju. Tanpa bicara Bongku bergegas ke sel tahanan Blok C yang dihuni bersama 24 teman barunya.

Tak lama, Bongku keluar dari jeruji besi mengenakan batik yang sedikit longgar sambil menenteng plastik hitam. Selama jadi tahanan, Bongku hanya membawa lima helai celana dan tiga helai baju.

Edi Mulyono, Kepala Lapas Kelas II A Bengkalis mengatakan, beri asimilasi di tempat tinggal atau rumah pada Bongku berdasarkan Surat Keputusan No. WA.4.PAS.3.PK.01.04.04-1556, Rabu 10 Juni 2020. Keputusan itu bagian dari upaya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran COVID-19.

Asimilasi diberikan setelah Bongku menjalani masa tahanan lebih kurang delapan bulan sejak 3 November 2019.

 

Salah satu rumah orang Sakai di Bengkalis. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

***

Sebelumnya, Bongku terjerat hukum karena dilaporkan perusahaan perkebunan kayu, Arara Abadi, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP). Dalam persidangan dia dinyatakan bersalah karena menebang setengah hektar akasia dan eukaliptus Arara Abadi tanpa izin.

Satu keputusan yang banyak menuai kritik, majelis dianggap tidak memahami substansi dan tujuan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang dipakai menghukum Bongku.

Dini hari, setelah Bongku dinyatakan bebas, seorang mahasiswa Sakai mengirim lima paragraf siaran pers perihal pembebasan Bongku. Intinya, mereka berterimakasih pada Arara Abadi yang telah bekerjasama dan mau berunding secara kekeluargaan.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sakai (HPPMS) Riau Wilayah Bengkalis Muhammad Sefriadi. Dia ikut menjemput Bongku. Uka Sopian juga menuturkan hal yang sama dalam siaran pers itu.

Menurut Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah—Walhi Nasional, YLBHI, Jikalahari, Walhi Riau, LBH Pekanbaru, Senarai dan Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat—pembebasan Bongku bukan karena kebaikan jaksa, hakim maupun Arara Abadi. Ia murni dan sesuai dengan Permenkumham No 10/2020.

Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau, mengatakan, pembebasan Bongku bukan karena kebaikan jaksa, hakim dan Arara Abadi. “Pak Bongku bebas sudah sesusuai dengan aturan bukan karena kabaikan siapapun,” katanya. Dia bilang, Bongku hanya bebas dalam proses hukum tetapi belum bebas mengelola kebun di tanah adat Sakai.

Konflik antara Arara Abadi dan masyarakat adat Suku Sakai sudah lama terjadi. Izin Arara Abadi terbit di atas lahan adat Sakai.

Pada 2016, Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan dan Perkebunan di Bengkalis, DPRD Bengkalis menyatakan, di Kecamatan Mandau dan Pinggir, ada sengketa lahan. Ia terjadi di lima desa, yakni, Desa Tasik Serai Timur, Melibur, Tasik Serai, Beringin dan Serai Wangi dengan Arara Abadi dan PT RAL.

Pansus merekomendasikan, meminta pemerintah Pemkab Bengkalis mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau SK Menhut RI izin Arara Abadi seluas 44.138 hektar dan meninggalkan tanah adat masyarakat persukuan Sakai seluas 7.500 hektar di Kecamatan Pinggir. Hingga kini, tak ada kejelasan dari rekomendasi itu.

Riko bilang, kalau tak ada jaminan legalitas hukum soal hak masyarakat adat, ke depan, konflik tanah antara Sakai dan Arara Abadi bisa muncul kasus Bongku Bongku baru.

Analisis Jikalahari, bukan hanya Bongku tinggal dalam konsesi Arara Abadi. Ada ribuan warga yang sudah hidup di sana sebelum perusahaan itu dapat izin. Mereka sudah ada sebelum Indonesia ada. “Lahan mereka telah dirampas, tinggal di rumah yang berlantai tanah, dinding dan atap bolong-bolong,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari, dalam rilis kepada media.

 

 

***

Hujan cukup deras ketika Uli Amalia Situmorang dan Bongku menunggu jemputan di teras Lapas Bengkalis, Jalan Pertanian. Dengan suara samar-samar, Bongku berkata,” mohon nanti bantu anak dan cucuku kalau aku sudah tak ada umur. Perjuangan ini akan tetap lanjut,” kata Bongku.

Bongku juga cerita, selama dalam penjara perlu uang. Bayar iuran air bersih Rp10.000 dan Rp50.000 tiap kali pindah kamar. Selama di Lapas Bongku, tiga kali pindah kamar. Meski iuran tiap bulan, air dibilang cukup susah dan terkadang tak mandi. Tidur juga berdempetan bahkan ada yang tak dapat tidur.

Bongku juga tak tahan kalau tidak jajan. Rincian biayanya, antara lain, rokok Rp30.000; mi goreng atau rebus Rp15.000, kopi pagi Rp10.000, siang dan malam Rp5.000. Makan dalam lapas, katanya, tak enak dan kurang mengenyangkan. Nasi sedikit dan ikan asin dipotong 10 ditambah sayur bening.

Kenangan itu Bongku tinggalkan sore itu. Pengacara LBH Pekanbaru mengantarnya langsung pada istri dan kerabat. Kapal roro yang menyeberangkan mereka dari Pulau Bengkalis bersandar di Dermaga Sungai Pakning pukul 17.00 lewat.

Juli, Uka, Muhammad Sefriadi dan beberapa kerabat sudah menunggu sedari pukul 6.00. Juli bilang, mereka hampir meninggalkan pelabuhan bila kapal itu tak membawa Bongku. Hanya saja Uka sedikit ngomel karena pengacara Bongku tak beritahu keluarga akan jemput, ditambah lagi mereka menunggu sangat lama.

Noval Setiawan awalnya tidak mengenal Uka. Dia menceritakan, proses Bongku keluar dari lapas. Mereka berpamitan.

 

 

Keterangan foto utama: BOngku bin Jelodan, (memegang muka) bersama tim pengacara LBH Pekanbaru, setelah bebas, menuju pulang ke kampung halaman. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version