Mongabay.co.id

Konflik Buaya dan Manusia Terus Terjadi di NTT. Apa Solusinya?

Seekor buaya di kandang penangkaran buaya di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah sedang melahap ayam yang diberikan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Konflik satwa liar antara buaya muara (Crododilus porosus) dan manusia kembali terjadi di Muara Noehaen, Desa Pakubaun, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Minggu pagi (31/5/2020). Pada lokasi itu terdapat sumber air yang selama ini dipergunakan masyarakat setempat.

Kepala BKSDA NTT, Timbul Batubara kepada Mongabay Indonesia, Senin (1/6/2020) menjelaskan berdasarkan kesaksian korban Simon Kabnani (60) warga Dusun 2 Desa Pakubaun, yang akan mengisi jerigen di sumber air Uff Noehaen sekitar pukul 06.00 WITA.

Saat korban jongkok untuk mengambil air, tiba-tiba buaya muncul dan langsung berusaha menerkam korban. Dalam keadaaan tersadar, korban segera menghindar namun terluka pada bagian lengan dan dada.

“Beberapa rekan korban yang sedang berkebun di sekitar lokasi kejadian langsung menyelamatkan korban dan melarikannya ke Puskesmas Pakubaun untuk mendapatkan perawatan,” jelas Timbul.

baca : Buaya Muara Bermunculan dan Tewaskan Warga di Maluku, Ada Apa?

 

Simon Kabnani (60), Warga Dusun 2, Desa Pakubaun, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, NTT yang diterkam buaya saat hendak mengambil air di mata air Uff Noehaen. Foto : BBKSDA NTT

 

Konflik manusia dan satwa liar, sebut Timbul, terjadi di saat manusia dan satwa liar menempati area yang sama atau menggunakan sumberdaya yang sama. Konflik manusia dan buaya muara, katanya, adalah konflik manusia dan satwa liar utama yang terjadi di provinsi NTT.

Kejadian ini bukan hanya menyebabkan korban luka dan kehilangan jiwa. Namun lebih dari itu juga sebutnya, menyebabkan terganggunya aktifitas nelayan, mengurangi kenyamanan kegiatan pariwisata, dan pada beberapa tempat mengakibatkan hilangnya ternak.

“BBKSDA NTT telah mengambil langkah-langkah dalam upaya meminimalisir kejadian konflik antara manusia dan buaya di Provinsi NTT,” tegasnya.

Pada 2013, BBKSDA NTT telah menginisiasi pembentukan Unit Penanganan Satwa (UPS) yang diformalkan melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Balai KSDA NTT pada 2014.

Anggota UPS dibekali kemampuan menangangi satwa liar terutama penanganan buaya dan minimum handling tools sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).

BBKSDA NTT pun, tandas Timbul, terus menerus mensosialisasikan kepada masyarakat baik melalui pertemuan dengan masyarakat pada desa-desa yang terdapat potensi konflik serta memasang papan-papan peringatan.

Menurutnya hal ini dilakukan agar masyarakat berhati-hati dalam beraktifitas terutama pada lokasi-lokasi perairan yang teridentifikasi terdapat buaya, membangun komunikasi dengan para pihak terkait, pemerintah desa dan tokoh adat atau masyarakat setempat.

Demikian pula di lokasi konflik di Muara Noehaen, terangnya, pada tahun 2018  pihaknya telah menempatkan papan peringatan tentang keberadaan buaya di lokasi tersebut.

“Ini kami lakukan agar masyarakat waspada dan berhati-hati dalam melakukan aktifitasnya mengingat Muara Noehaen dan sekitarnya adalah habitat buaya,” ungkapnya.

baca juga : Kematian Merry, Buaya Pemangsa Manusia, Pelajaran untuk Tidak Pelihara Satwa Liar

 

Buaya yang ditangkap warga di wilayah Manikin, Kelurahan Tarus, Kupang, NTT, Sabtu (5/1/2013). Foto : Salomo Haba/Pos Kupang

 

Lindungi Keberadaan Buaya

Terhadap peristiwa yang nyaris menelan korban di Desa Pakubaun, Kepala  BBKSDA NTT, telah menginstruksikan personil untuk turun ke tempat kejadian dan menjenguk korban sebagai wujud kepedulian terhadap korban konflik satwa liar.

Petugas juga katanya, telah meminta keterangan korban guna pengurusan santunan biaya pengobatan serta kembali mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas kesehariannya pada lokasi-lokasi yang teridentifikasi sebagai habitat buaya.

Beberapa saat yang lalu, BBKSDA NTT juga lanjut Timbul, telah merespon secara cepat terhadap peristiwa kemunculan buaya muara di Danau Supul, Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

“Kami telah menurunkan personil untuk melakukan cross check lapangan dan berkoordinasi dengan pemerintah desa serta tokoh adat setempat.Ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadinya konflik satwa liar dan masyarakat yang dapat menimbulkan korban pada manusia,” tuturnya.

Pemerintah Desa Supul dan tokoh adat setempat menurut Agustinus, menyampaikan bahwa keberadaan buaya di Danau Supul sejak dahulu dan selama ini tidak pernah mengganggu manusia dan hewan ternak milik warga yang digembalakan di sekitar danau.

Untuk itu sebutnya, pemerintah desa dan tokoh adat berharap tidak dilakukan evakuasi atau pemindahan buaya tersebut ke kandang transit BBKSDA NTT di Kota Kupang.

“Merespon keinginan tersebut maka tanggal 19 Mei 2020 kepala BBKSDA NTT telah menginisiasi adanya kesepakatan penanganan buaya di Danau Supul antara BBKSDA NTT dengan Pemerintah Desa Supul,” ungkapnya.

perlu dibaca : Ini Tempat Hidup Puluhan Ekor Buaya, Seperti Apa?

 

Petugas BBKSDA NTT mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) dari Tabun, Desa Soliu, Kecamatan Amfoang Barat Laut, Kabupaten Kupang, NTT. Foto : BBKSDA NTT

 

BBKSDA NTT, ujar Timbul, membuat papan peringatan/himbauan keberadaan buaya di Danau Supul pada beberapa titik lokasi sebagai media sosialisasi kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam beraktifitas di sekitaran danau.

Kedua pihak  lanjutnya, saling membangun komunikasi intensif dalam rangka pemantauan keberadaan buaya di Danau Supul. Serta bersepakat untuk menjaga dan melindungi keberadaan buaya di Danau Supul.

“Kami juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam beraktifitas di sekitaran danau guna menghindari potensi konflik antara buaya dan manusia,” jelasnya.

Pemerintah Desa Supul sebut Agustinus, merencanakan akan memagari Danau Supul. Masyarakat diminta berhati-hati dalam beraktifitas terutama pada lokasi yang diketahui sebagai habitat buaya.

“Jika ini dilakukan maka akan terwujud harmoni dan konflik manusia dan buaya di Provinsi NTT tidak terjadi lagi,” ucapnya.

 

Ada Unsur Pembiaran

Deputi WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga kepada Mongabay Indonesia, Senin (8/6/2020) mengatakan berdasarkan pemberitaan media pada 31 Mei 2020, Ketua Pemuda Desa Pakubaun Damianus Kanaf menyatakan sudah tiga orang yang diserang buaya di tempat tersebut.

Korban pertama pada tahun 2018 mengalami luka parah dan korban kedua terjadi  pada Januari 2020 mengakibatkan meninggal dunia  seorang laki-laki umur 20 tahun.

Kanaf menuturkan, perlu ada perhatian Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemprov NTT  agar segera turun tangan sehingga jangan ada lagi korban berikut karena, ketika masyarakat pergi mengambil air selalu terlihat buaya  yang menghuni muara tersebut.

“Kasus ini sudah mereka laporkan ke pemerintah desa dan kecamatan tetapi tidak ditindaklanjuti sampai saat ini. Sejak awal jatuhnya korban gigitan buaya, ada unsur pembiaran dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh masyarakat di Desa Pakubaun,” sebutnya.

menarik dibaca : Resi Kiriman Aksesoris Komputer, Ternyata Isi Buaya dan Biawak

 

Petugas BBKSDA NTT sedang memasang papan informasi dan peringatan soal buaya muara.Foto : BBKSDA NTT

 

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya konflik antara buaya dan manusia tegas Yuven yakni adanya indikasi yang mengancam habitat buaya mulai dari aktivitas manusia serta potensi kerusakan lingkungan yang membuat buaya untuk mencari habitat lain.

“Tata kelola wilayah yang buruk di sekitar  habitat buaya juga menjadi ancaman bagi keberadaan buaya,” tegasnya.

Dari pantauan WALHI NTT terlihat maraknya penataan ruang terutama di wilayah pesisir termasuk muara, tanpa memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dimaksudkan, kata Yuven, juga termasuk dengan identifikasi mayoritas satwa yang menempati suatu wilayah.

Seperti yang terjadi di muara Uff Noehaen, kejadian yang terjadi sebutnya, merupakan dampak turunan dari buruknya penataan wilayah habitat buaya dan akses manusia atas Sumber Daya Alam (SDA).

WALHI NTT meminta agar dilakukan pemetaan wilayah yang jelas antara habitat buaya dan tempat tinggal manusia serta titik-titik akses manusia ke pesisir

“Perlu membuat rambu-rambu peringatan serta sekat pembatas bagi masyarakat di titik-titik yang sering dilalui oleh masyarakat,” sarannya.

Secara teknis tambah Yuven, harus ada kebijakan daerah yang melindungi habitat ini sebagai perlindungan ruang hidup satwa, menjaga satwa dari kepunahan, dan mengurangi konflik dengan manusia.

“Pastikan bahwa tidak ada aktifitas yang mengancam habitat buaya. Serta melakukan pendidikan lingkungan bagi masyarakat yang berdampingan dengan habitat buaya,” tegasnya.

***

 

Foto utama : Ilustrasi. Seekor buaya di kandang penangkaran buaya di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah sedang melahap ayam yang diberikan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version