Mongabay.co.id

Aturan Ketat Pelepasan Satwa Liar Selama Pandemi, Seperti Apa?

Orangutan sumatera yang hidup di Ketambe saat ini sedng disurvei kembali, data sebelumnya menunjukkan 50 individu. Foto atas (survei populasi orangutan) dan bawah (orangutan): Junaidi Hanafiah

 

 

Direktur Jenderal KSDAE, KLHK, membuat surat edaran baru tentang Petunjuk Teknis Pelepasliaran Satwa Liar di masa pandemi COVID-19, pada 20 Mei 2020 lalu.

Surat Nomor: 8/KSDAE/KKH/KSA.2/5/2020 itu menjelaskan, terkait kondisi virus corona yang belum bisa dipastikan kapan berakhir, tindakan pencegahan penularan harus dilakukan mengikuti protokol yang telah ditetapkan pemerintah serta prosedur pada fasilitas UPT KSDAE dan mitra kerja.

Terutama, untuk yang melakukan penyelamatan satwa, rehabilitasi dan pelepasliaran, seperti lembaga konservasi khusus, unit konservasi satwa lainnya serta kandang transit satwa yang dikelola UPT KSDAE.

Dalam surat yang ditandatangani Direktur Jenderal KSDAE, Wiratno, dijelaskan bahwa penutupan lembaga konservasi khusus dan unit konservasi satwa lainnya bagi voluntir serta ditundanya pelepasliaran akibat pandemi menjadi beban lembaga konservasi khusus dan lainnya. Utamanya, dalam hal pembiayaan pakan satwa yang berasal dari konflik, sitaan penegakan hukum, titipan, penyerahan masyarakat, serta hasil rehabilitasi.

“Pencegahan tetap berpedoman pada surat edaran KSDAE Nomor: SE.4/KSDAE/KKH/KSA/4/2020. Pelepasliaran dapat dilakukan dengan mengikuti pencegahan penularan COVID-9, menghindari kerumunan manusia, serta jumlah petugas tidak banyak,” tambahnya.

Baca: Nasib Primata di Tengah Pandemi COVID-19

 

Orangutan sumatera yang hidupnya memang di hutan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Wiratno menjelaskan, satwa yang dapat dilepasliarkan adalah hasil tangkapan atau sitaan langsung penegakan hukum dan hasil rehabilitasi yang telah melalui proses pemeriksaan lengkap.

“Sementara, satwa penyerahan masyarakat tidak bisa dilakukan, harus mengikuti tahapan pemeriksaan medis dan rehabilitasi,” ujarnya.

Dijelaskan juga, satwa yang akan dilepasliarkan harus mendapat rekomendasi Dirjen KSDAE atau Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati setelah dokumen persyaratan terpenuhi. Termasuk, surat keterangan sehat fisik maupun laboratiris yang dikeluarkan dokter hewan yang ditunjuk Kepala UPT KSDAE setempat.

Baca: Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

 

Evakuasi orangutan dilakukan untuk menyelamatkan satwa dilindungi ini dari konflik atau habitatnya yang rusak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ikuti protokol kesehatan

Ketua Yayasan Human and Orangutan Conflict Response Unit [HOCRU] – Orangutan Information Centre [OIC], Panut Hadisiswoyo mengungkapkan, untuk penanganan konflik satwa liar dengan manusia atau penyitaan tidak bermasalah, meskipun COVID-19 merebak.

“Namun, tetap mengikuti protokol kesehatan dan penanganan satwa liar. Saat ini, HOCRU-OIC menangani koflik satwa liar dengan manusia di Kapal Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh,” jelasnya.

Panut mengatakan, tim yang mengevakuasi orangutan memang dibatasi. Hanya dokter dan tim khusus yang boleh menyentuh orangutan, dan semua tim harus menggunakan sarung tangan beserta masker saat bekerja.

“Selain itu, kesehatan tim juga diperiksa sehingga tidak menularkan penyakit ke orangutan. Hal ini memang telah berlangsung lama, jauh sebelum corona menyerang penduduk dunia,” tuturnya.

Baca juga: Fokus Cegah Corona, Pusat Rehabilitasi Orangutan BOSF Ditutup Sementara

 

Bukan hanya perburuan, ancaman kehidupan yang dihadapi orangutan saat ini adalah rusaknya habitat yang dijadikan perkebunan dan tambang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tim Komunikasi Yayasan Ekosistem Lestari -Sumatran Orangutan Conservation Programme [YEL-SOCP], Castri Delfi Saragih mengatakan, program konservasi orangutan di pusat karantina orangutan sumatera di Sibolangit, Sumatera Utara, memang terganggu.

“Kegiatan di pusat karantina sangat dibatasi. Pelepasliaran orangutan ke alam liar yang sudah menjalani karantina dan perawatan juga terkendala,” ujarnya.

Castri menjelaskan, saat ini ada sekitar dua orangutan sumatera di pusat karantina yang seharusnya sudah dibawa ke Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh untuk persiapan pelepasliaran.

“Pandemi ini menyebabkan pelepasannya tertunda,” ujarnya.

Baca: Cagar Alam Jantho, Rumah Menyenangkan Orangutan Sumatera

 

Diana, orangutan yang dilepasliarkan di Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, pada 22 Desember 2017. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ricko Laino Jaya, dokter hewan yang sudah lama bergelut dalam penyelamatan orangutan sumatera, pada 9 Juni 2020 mengatakan, jika dilihat DNA yang hampir sama antara orangutan dan manusia, maka potensi orangutan tertular COVID-19 lebih besar.

“Bahkan selama ini, petugas atau orang lain yang ingin dekat orangutan harus bebas berbagai penyakit seperti HIV dan hepatitis. Termasuk juga TBC,” sebut Ricko yang tengah menyelesaikan S3 di University of Birmingham, Inggris.

Ricko yang pernah bekerja di HOCRU-OIC menyatakan, saat ini telah ditemukan satwa tertular corona, meski DNA-nya tidak semirip antara orangutan maupun manusia.

“Ini harus menjadi perhatian semua dokter agar tidak ada orangutan tertular virus yang belum ditemukan vaksinnya,” terangnya. Menurut Ricko, sejumlah dokter hewan di Indonesia dan Malaysia yang menangani orangutan terus melakukan pemantauan agar hal ini tidak terjadi.

Orangutan memiliki DNA sekitar 97 persen yang sama dengan manusia. Kemiripan ini dikhawatirkan membuat orangutan mudah tertular COVID-19 dari manusia.

 

 

Exit mobile version