Mongabay.co.id

Fenomena Embun Es Dieng Hadir di Bulan Juni, Akankah Masih Terjadi Lagi?

 

Tahun 2019 silam, kedatangan embun beku atau biasa disebut sebagai bun upas di Kawasan Dieng perbatasan antara Banjarnegara-Wonosobo, Jawa Tengah terjadi pada Mei. Waktu itu, warga menyatakan bahwa embun beku datang lebih cepat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi tahun 2020, fenomena embun beku datang pada saat kemarau yakni pada Juni. Sebab, berdasarkan data dari Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Banjarnegara, kemarau di wilayah Dieng dan Banjarnegara telah mulai pada 1 Juni lalu.

Fenomena embun beku kembali terjadi di dataran tinggi Dieng pada Jumat dan Sabtu (12-13/6). Embun beku terjadi saat suhu setempat sekitar minus 2 derajat Celcius. “Pada Jumat dan Sabtu, embun beku kembali datang di kawasan Dieng. Tepatnya di lapangan wilayah Candi Arjuna, Dieng,”ungkap Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Obyek Wisaya Dieng, Aryadi Darwanto, saat dihubungi Mongabay pada Minggu (14/6).

Sebagai petugas yang setiap harinya di Dieng, Aryadi cukup hafal dengan fenomena embun beku (bun upas). Ia mengungkapkan bahwa sebelum muncul embun beku, mulai Kamis sore sudah terasa dingin. “Biasanya, kalau tidak ada hujan, maka potensi embun beku akan terjadi. Apalagi, jika pada jam 21.00 WIB atau 22.00 WIB, suhu sudah turun menjadi 10-12 derajat celcius. Dengan kondisi semacam itu, maka potensi embun beku akan muncul,” kata Aryadi.

Ternyata benar saja, bahwa pada Jumat mulai jam 04.00 WIB, embun beku mulai tampak di rerumputan lapangan di Kawasan Candi Arjuna. “Pada Jumat, embun beku terlihat memutih di lapangan setempat. Hal itu terjadi lagi pada Sabtu atau sehari setelahnya. Tetapi pada Minggu pagi, tidak terjadi lagi, karena suhunya lebih hangat. Jadi, selama Jumat dan Sabtu, suhu di kawasan tersebut mencapai minus 2 derajat Celcius. Nah, embun upas itu bisa terbentuk kalau suhu di bawah 0 derajat Celcius,” jelas Aryadi.

baca : Mengapa Embun Beku Dieng Muncul Lebih Dini?

 

Embun beku (bun upas) mulai terjadi di kawasan Dieng, Jawa Tengah, pada Jumat (12/6/2020). Embun beku yang muncul skalanya masih kecil di sekitar lapangan Kompleks Candi Arjuna. Foto : istimewa

 

Sebagai petugas di kawasan wisata, Aryadi mengungkapkan bahwa sampai sekarang tempat wisata khususnya di Kompleks Candi Arjuna Dieng masih ditutup. Sehingga, memang tidak banyak wisatawan yang datang, sebab kawasan wisata masih ditutup. “Coba, kalau kawasan wisata sudah dibuka, pasti akan sangat banyak wisatawan yang berkunjung untuk melihat fenomena embun beku tersebut. Meski demikian, masih tetap ada pengunjung yang hadir, tetapi tidak bisa masuk ke kawasan candi, karena memang belum dibuka,” ungkapnya.

Aryadi mengungkapkan berdasarkan pengalamannya pada tahun-tahun sebelumnya, maka embun beku diperkirakan masih akan muncul lagi. Bun upas itu bisa muncul, jika suhu di bawah titik beku yang kemudian membuat embun pagi membeku. Kawasan yang paling sering ada fenomena bun upas adalah di wilayah candi, karena daerahnya datar dan terlindungi dari perbukitan di sekitarnya. Sehingga kalau tidak ada angin, maka embun beku awet karena suhunya tetap dingin. “Syarat terjadinya embun beku adalah terang atau tidak ada hujan, tidak ada angin yang kencang, serta suhu di bawah titik beku. Dan gejalanya bisa dirasakan sejak sore hingga malam hari. Tetapi, kadang sudah mengalami abnormal, karena adanya angin yang cukup kencang, sehingga membuat embun beku tidak terbentuk,” kata dia.

Aryadi menambahkan pada tahun 2020 sekarang, suda tiga kali embun beku menerjang Dieng. “Dua kali terjadi pada Juni ini, dan awal tahun, tepatnya pada 18 Januari, karena waktu itu suhu sekitar 0 derajat Celcius. Namun, itu sebuah anomali, apalagi waktu itu sepertinya ada badai yang membuat wilayah Dieng yang seharusnya hujan, menjadi kering dalam beberapa hari,”ungkapnya.

baca juga : Embun Beku Dieng Sudah Mulai Turun, Mungkinkah Skalanya Meluas Saat Puncak Kemarau?

 

Lapangan di sekitar kompleks Candi Arjuna yang kerap menjadi tempat kemunculan embun beku. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono mengatakan bahwa embun beku yang datang pada Juni merupakan hal yang wajar. Sebab, berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun, pada umumnya embun beku datang mulai Juni, Juli, hingga Agustus. “Kalau embun beku terjadi pada bulan Juni, adalah sesuatu yang wajar. Artinya tidak maju seperti tahun sebelumnya, karena waktu itu pada Mei telah ada embun beku yang cukup tebal,” katanya.

Kades mengungkapkan embun beku yang terjadi pada Jumat dan Sabtu lalu skalanya masih kecil, sebab masih berada di sekitar kawasan Candi Arjuna. Apalagi, bun upas belum sampai ke tanaman kentang. Sehingga sampai sekarang tidak ada dampak yang dirasakan oleh petani. “Meski demikian, fenomena itu mengingatkan petani untuk bersiaga. Misalnya, menyiapkan penutup tanaman kentang dari plastik. Hal itu dibuat untuk melindungi tanaman kentang jika ada embun beku lagi,”ujarnya.

Sebetulnya, lanjut Kades, ada upaya lain supaya embun beku tidak mengganggu tanaman kentang, yakni dengan penyemprotan air. “Tetapi, penyemprotan dilaksanakan pada jam 04.00 WIB atau dinihari saat muncul embun beku. Sehingga embun beku tidak terlalu lama dan mencair. Namun demikian, upaya semacam ini sangat jarang dilaksanakan. Sebab, membutuhkan tenaga dan biaya ekstra yang tidak sedikit. Paling umum dilakukan adalah dengan menutupi tanaman kentang,” katanya.

Saat ini, lanjut Slamet, umur tanaman kentang berkisar antara 30-100 hari. Sehingga tanaman kentang yang telah berumur masa panen, sekitar 90-100 hari, maka tidak terlalu terpengaruh dengan adanya embun beku. “Tetapi kalau tanaman kentang masih berumur sebulan, misalnya, jelas akan puso. Daun tanaman kentang seperti terbakar dan tidak ada umbi kentangnya,”jelasnya.

perlu dibaca : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

 

Kawasan candi di Dieng, Jateng, dengan rerumputan yang dipenuhi embun beku (bun upas). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi secara terpisah, Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan bahwa fenomena embun beku terpicu masuknya musim kemarau. “Musim kemarau di wilayah Dieng dan Banjarnegara pada umumnya mulai pada 1 Juni lalu. Musim kemarau ditandai dengan menguatnya angin timuran. Pada musim kemarau, dataran tinggi Dieng dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) yakni mulai Mei hingga Agustus, terbentuknya upa air menjadi berkurang,” katanya.

Apalagi, menurut Setyoajie, ada intrusi atau masuknya aliran massa udara di wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS) ke wilayah Indonesia termasuk Jateng yang didominasi angin timuran yaitu massa udara dingin dan kering yang berasal dari Benua Australia.

“Dengan adanya intrusi tersebut, maka menyebabkan berkurangnya uap air. Pembentukan awan juga menurun atau bahkan tidak ada pembentukan awan. Inilah yang mengakibatkan outgoing solar radiation dari gelombang panjang permukaan bumi menjadi tinggi. Sebab, tidak ada awan yang menahan. Adanya outgoing solar radiation yang tinggi menyebabkan suhu turun drastis. Karena itulah, Dieng menjadi salah satu wilayah yang suhunya turun drastis dan mencapai di bawah titik beku. Jika suhu di bawah 0 derajat Celcius, maka muncul embun yang menjadi es atau membeku,”paparnya.

Jika sering terjadi intrusi dan ada kemunculan siklon tropis, maka potensi embun beku di Dieng masih akan tetap terjadi di kemudian hari. Apalagi, saat sekarang telah memasuki musim kemarau. Dieng sebagai dataran tinggi dengan ketinggian di atas 2.000 mdpl, tetap potensial menjadi lokasi munculnya embun beku.

menarik dibaca : Berburu Embun Beku di Lautan Pasir Gunung Bromo

 

Embun beku atau bun upas menyelimuti rerumputan di sekitar kawasan Candi Arjuna, Dieng pada Agustus 2018 lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version