Mongabay.co.id

Omnibus Law dan Ancaman bagi Hutan dan Sumberdaya Alam Papua

Pemerintah dan DPR RI sedang giat mendorong RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) untuk segera dibahas dan disahkan. RUU Ciptaker ini sebenarnya bagian janji reformasi birokrasi  Presiden Joko Widodo saat terpilih untuk kedua kalinya. Saat itu, Presiden mengeluhkan banyaknya peraturan investasi yang prosesnya berbelit-belit, – dan menginginkan adanya penyederhanaan hukum di bidang ekonomi, melalui omnibus law.

Jika UU Ciptaker kelak disetujui dan disetujui, maka omnibus law ini bakal merubah banyak substansi dari 79 Undang-Undang yang telah ada.

Di sektor perlindungan lingkungan hidup misalnya, omnibus law bakal menghapus pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan, menghapus izin lingkungan dan kriteria amdal, mempermudah proses berbagai perizinan, serta menghilangkan  keterlibatan pemerintah melakukan pengawasan dam penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan.

Seluruh proses pun dikendalikan Pemerintah Pusat, yang kedepannya menjadi pemain inti dalam menentukan proses investasi.

Di sisi lain, omnibus law akan menghilangkan partisipatif masyarakat yang terlibat memutuskan pelaksanaan sebuah proyek, menghilangkan kewajiban usaha dalam pemenuhan standar lingkungan, dan memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan yang sebelumnya sanksinya berupa pidana menjadi sanksi administratif.

Ia juga akan mengurangi hak atas informasi,  menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin, menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) kepada pelaku pencemaran, serta menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat.

Baca juga: Bisa Celakakan Lingkungan, Banyak Kalangan Protes RUU Omnibus Law

Untuk sektor perkebunan, ia akan merubah pengaturan ulang penetapan batasan luas maksimum dan minimum penggunaan lahan usaha perkebunan, menghapus syarat-syarat pertimbangan penetapan luas perkebunan, menghapus larangan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan, menghapus batasan jangka waktu kewajiban pengusahaan hak atas tanah sejak diperoleh, dan mempermudah peralihan perusahaan ke modal asing.

Undang-Undang ini juga bakal menghapus kewajiban pelaku usaha memfasilitasi perkebunan masyarakat minimal 20 persen, menghapus kewajiban pengusaha untuk melakukan pengelolaan amdal, analisis resiko dan pemantauan lingkungan.

Semangat serupa ditemui didalam Pasal yang merubah UU Kehutanan, omnibus law memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung dalam perizinan usaha, mempermudah perolehan izin di kawasan hutan lindung, dan menghapus kontribusi atas usaha yang diperoleh (dana reboisasai, dana jaminan kinerja).

Omnibus law juga akan menghidupkan kembali aturan penguasaan HGU selama 90 tahun. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan penguasaan HGU selama 90 tahun karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Pembersihan lahan untuk perkebunan sawit di tepi Sungai Digoel di Papua. Foto: Nanang Sujana/The Gecko Project 

 

Omnibus Law dan Tata Kelola Sumberdaya Alam Papua

Lalu bagaimana pengaruh RUU Cipta Kerja hasil atau omnibus law bagi masyarakat adat dan sumberdaya alam, khususnya yang di Papua?

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah melakukan inventarisir dampak yang bakal muncul dari disahkannya RUU Ciptaker. Fokus analisis diarahkan pada perubahan aturan yang ada dalam UU Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Kehutanan, serta aturan-aturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah.

Tanpa adanya omnibus law pun, sebenarnya aset alam Papua telah mulai dijarah secara diam-diam lewat pembagian berbagai bentuk penguasaan konsesi. Deregulasi hukum melalui omnibus law tidak lain hanya akan semakin mempermudah cara-cara penguasaan hak-hak masyarakat adat melalui mekanisme hukum.

Untuk saat ini, hanya Pulau Papua yang masih memiliki hutan alam dengan luasan terbesar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Keteguhan masyarakat adat di Papua memegang nilai-nilai kearifan lokal telah menjaga keberadaan hutan dan advokasi perlindungan hak-hak masyarakat adat pun menjadi benteng dari usaha kapital yang ingin menguasai sumberdaya alam yang melimpah.

Baca juga: Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

Yayasan Pusaka menemukan bahwa telah terjadi pengalihan 1.389.956 hektar hutan alam milik masyarakat adat, yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan besar sawit.

Mudahnya peralihan ini didukung regulasi yang tidak melindungi hak-hak masyarakat adat dan keterlibatan banyak pihak.

Lihat saja Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN Nomor 2/1999 yang memperbolehkan sebuah perusahaan mendapat Izin Usaha hingga mencapai 40.000 hektar untuk wilayah Papua. Angka ini lebih luas dua kali dari provinsi lain yang dibatasi 20.000 hektar.

Lemahnya pengawasan dan penegakkan aturan hukum menyebabkan beberapa group perusahaan dapat menguasai luasan lahan melebihi batas maksimal 100.000 hektar perolehan tanah yang diatur dalam permen ATR 2/1999.

Sebagai contoh PT Menara Group memiliki hak penguasaan lahan 270.095 hektar di Kabupaten Boven Digoel, PT Korindo Group memiliki luas lahan 148.637 hektar di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, ANJ Group memiliki lahan hampir mencapai 82.468 hektar di Kabupaten Sorong Selatan diluar kepemilikan lahan lain yang berada di sumatera. Hampir di semua areal konsesi tersebut, terjadi sengketa dengan masyarakat adat.

Beberapa perusahaan perkebunan diduga beroperasional tanpa adanya AMDAL, PT Bintuni Agro Prima Perkasa di Kabupaten Tambrauw, diduga melakukan aktivitas tanpa melengkapi analisa dampak lingkungan.

Konsekuensi pidana lingkungan hidup yang telah diatur dalam UU No 32 /2009 sebenarnya bisa diterapkan kepada usaha yang tidak dilengkapi perizinan lingkungan.  Namun ke depan dengan adanya omnibus law dengan mudah dapat diduga bahwa para pelaku usaha akan semakin tenang, dengan adanya kemudahan proses perizinan, dan sanksi pidana yang diringankan menjadi hanya sanksi administratif.

 

Hutan menjadi jantung kehidupan orang Papua. Gambar seorang perempuan Suku Kombai memegang ulat sagu. Foto: EcoNusa Foundation.

 

Praktik hukum yang terlalu berpihak kepada investasi kapital ini, – serta mengabaikan hak masyarakat adat, pada akhirnya akan memberi ancaman bagi keberadaan hutan alam dan sumber daya alam lain di Papua. Penghisapan kekayaan alam dan penyingkiran hak hidup masyarakat, akan meningkatkan eskalasi konflik.

Melalui omnibus law secara nyata pemerintah tengah memperparah bencana ekologis bagi kehidupan ke depan. Maraknya investasi justru tidak sebanding lurus dengan perbaikan ekonomi rakyat papua. Walaupun Papua telah memiliki UU Otonomi Khusus (UU Otsus), namun kehadiran berbagai UU sektoral dan omnibus law kedepannya bakal melumpuhkan penerapan UU Otsus.

Lantas bagaimana menyikapi hal ini? Salah satu cara terbaik adalah menolaknya.  Ada baiknya Presiden Joko Widodo segera menarik RUU Cipta Kerja, dan kembali mendengar suara rakyat. Presiden harus bertindak untuk memperkuat upaya perlindungan hak-hak masyarakat adat yang selama ini  selalu menjadi ekspolitasi pembangunan.

 

* Tigor Hutapea, penulis adalah staf Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version