Mongabay.co.id

Panen Sawit di Lahan Sengketa, Soaduon Sitorus Terjerat Pasal Pencurian

 

 

 

 

 

Gindo Equinaldo Naibaho melaporkan Soaduon Sitorus ke Polda Riau atas tuduhan pencurian buah sawit di Dusun Semaram, Desa Sekayan, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir, Riau. Gindo mengatasnamakan ahli waris dan 12 keluarga Naibaho yang merasa punya hak atas lahan. Kini, Sitorus menjalani persidangan dengan tuntutan satu tahun enam bulan penjara.

Sitorus menyuruh beberapa pekerja memanen sawit di Jalan Kelompok Tani Sukoharjo, RT 13 RW 04, Dusun Semaram. Sitorus menyuruh pekerjanya jual sawit ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Berkat Sawit Sejahtera (BSS) menggunakan delivery order (DO) CV Ginbers, sebanyak 12 ton atau dua truk.

Gara-gara itu, Sitorus dituntut Pasal 362 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, menyuruh melakukan pencurian.

Naibaho merasa itu lahan peninggalan ayahnya, Syarif Naibaho. Keluarga Naibaho beli lahan pada Sulaiman, penduduk lokal pada 2007 seluas 96 hektar. Bukti jual-beli lahan yang masih hutan dan semak belukar kala itu berupa surat keterangan ganti rugi (SKGR) yang terbit oleh Kepala Desa Keritang Darmawan Rasul, sebelum mekar jadi Desa Sekayan.

Pada 2008, keluarga Naibaho beli 25.000 butir kecambah sawit unggul di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesia Oil Palm Research Institute (IOPRI), Medan. Hargayanya Rp100 juta.

Setahun kemudian keluarga Naibaho mulai menanam seluas 22 hektar mengupah sejumlah warga lokal, kerabat hingga sopir. Ada lima orang waktu itu. Pola tanam sejajar dan lurus dari utara ke selatan maupun dari timur ke barat.

Sengketa muncul ketika Sulaiman juga jual lahan sama ke Buyung Tarigan dan Bancah Tarigan pada 2008. Bahkan, Darmawan Rasul juga menerbitkan SKGR buat Tarigan keluarga. Dalam persidangan yang dikutip Mongabay dari surat tuntutan jaksa, Darmawan Rasul merasa ditipu masyarakat saat itu.

Keluarga Tarigan juga membuka lahan dengan cara imas tumbang. Mereka mengupah Suhadi Afandi, Suwandi, Ponidi dan Suherman Tarigan—saksi dalam perkara ini—seluas 60 hektar. Sisanya, dikerjakan bersama-sama oleh keluarga Tarigan, pemilik lahan masing-masing.

Penanaman sawit mulai akhir 2008. Pola tanam sawit keluarga Tarigan berbeda dengan keluarga Naibaho. Memasuki tahun berikutnya, keluarga Naibaho mulai mengklaim lahan yang dikerjakan keluarga Tarigan sebagai miliknya.

Merasa tertipu juga, keluarga Tarigan lalu melaporkan Sulaiman ke Polres Indragiri Hilir. Perselisihan itu berakhir damai pada 7 Juli 2009. Sulaiman mencarikan lahan pengganti di Kanal VI, juga di Dusun Semaram. Karena lahan baru tak seluas yang dibeli, masih hutan dan semak belukar, Naibaho memberikesempatan keluarga Tarigan tinggal di lahan mereka sementara sampai lahan baru bersih dan dapat diduduki.

Keluarga Tarigan tetap bertahan di sana meski sudah mengolah lahan yang baru. Menurut keterangan Rahmalemna Tarigan, anak Tarigan, mereka tetap menduduki lahan 22 hektar karena Sulaiman tak kunjung mengganti sepenuhnya 96 hektar lahan yang terlanjur mereka beli.

Tak terima, pada 2012 dan 2015, Gindo Naibaho dan ayahnya pernah mendatangi anak-anak Tarigan dan meminta mereka meninggalkan rumah serta lahan itu.

Konflik terus muncul. Sengketa lahan itu tak kunjung selesai.

Syarif Naibaho, Buyung Tarigan dan Sulaiman, meninggal. Konflik berlanjut pada anak dan keluarga yang masih hidup.

Dalam pembelaan pribadi di persidangan, Sitorus menceritakan peristiwa mencekam pernah terjadi di Dusun Semaram. Di sinilah awalnya Sitorus terlibat dalam pusaran konflik dua keluarga itu hingga masuk penjara.

Sitorus, warga Dusun Portal, sebelahan dengan Dusun Semaram. Pada 11 April 2017, sekelompok petani dari dusun tetangga datang menangis mengadu nasib yang menimpa mereka. Empat hari sebelum itu, sekitar 80 orang membawa senjata tajam memaksa masyarakat meninggalkan rumah dan kebun mereka.

Bila melawan, masyarakat diancam akan dibunuh dan rumah dibakar. Segerombolan orang itu juga memanen buah sawit dengan paksa bahkan mendirikan tenda di halaman rumah warga.

Hari itu, juga Sitorus cari tahu masalahnya. Setelah dapat sedikit informasi dari keterangan beberapa warga, esok harinya Sitorus bertemu dengan keluarga Tarigan dan berencana melaporkan peristiwa itu ke Polsek terdekat. Keluarga Tarigan kurang yakin dengan usaha itu karena beberapa hari sebelumnya mereka juga sudah melapor.

 

Ilustrasi. Hutan di Indonesia, termasuk di Riau, banyak jadi kebun sawit dan terjadi jual beli kawasan hutan. Masalah pun makin luas, tak hanya persoalan lingkungan juga konflik lahan antara warga.  Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Belum ada respon dari kepolisian, keluarga Tarigan justru dapat kekerasan. Karena menolak kebun dipanen, mereka pun dikeroyok, dianiaya, diarak dan dipaksa menandatangani pernyataan pindah dan meninggalkan kebun maupun rumah. Tempat tinggal mereka kemudian dibakar.

Sitorus menyaksikan langsung peristiwa itu. Mengaku bagian dari keluarga Tarigan, Sitorus berupaya meredam kekerasan dengan beberapa penyelamatan di tengah kerumunan massa agar korban tidak bertambah banyak. Selanjutnya, Sitorus mendampingi warga melapor ke Polsek Kemuning sembari kasih bantuan kemanusiaan.

Dia juga mendampingi proses mediasi warga di Polres Indragiri Hilir hingga mendampingi beberapa petani yang dilaporkan Naibaho dalam pemeriksaan oleh Peyidik Polda Riau. Sampai akhirnya Semaram kembali aman, keluarga Tarigan dan masyarakat kembali menjalankan aktivitas.

Tarigan bersama keluarga kemudian menghibahkan tiga hektar kebun sawit ke Sitorus pada 9 Juni 2017. Lahan itu bagian dari 22 hektar yang dikuasai keluarga Tarigan. Sejak itu, Sitorus mulai menikmati hasil panen sampai mendekam dipenjara dan menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tembilahan.

Pada medio Juni 2019, Naibaho kembali datang dengan 12 persil SKGR untuk membuktikan kebun sawit 22 hektar yang dikuasai keluarga Tarigan adalah peninggalan ayahnya.

Menurut hasil pemeriksaan Sitorus di lapangan, bukti surat yang ditunjukkan Naibaho bukan lahan yang jadi sengketa saat ini. Lokasi terpencar delapan titik dan tidak satupun menerangkan nama Syarif Naibaho sebagai pembeli dan Sulaiman sebagai penjual. Nama-nama sempadan dalam SKGR juga tidak ditemukan di lahan yang terus-terusan hendak direbut Naibaho.

Sebaliknya, Sitorus yakin lahan itu milik keluarga Tarigan setelah verifikasi ke beberapa orang, pemeriksaan fisik di lapangan hingga menggunakan citra satelit.

Pada Oktober 2019, Polda Riau kemudian pasang plang larangan memanen kelapa sawit pada 22 hektar kebun yang terus menuai konflik itu. Sitorus sempat mengklarifikasi ke Polda Riau, plang itu dipasang untuk sementara waktu sampai sengketa kepemilikan lahan selesai dan tidak menimbulkan korban kembali.

Dalam pembelaan Muhammad Rais Hasan, kuasa hukum Sitorus, saling klaim kepemilikan lahan ini sebenarnya masalah perdata. Tuduhan pencurian terhadap Sitorus dianggap tidak tepat karena belum ada penyelesaian hukum kepemilikan lahan 22 hektar yang sah. Bila tuduhan itu dibenarkan, secara tidak langsung dan sepihak Naibaho dinyatakan sebagai pemilik sah atas lahan itu.

Lagi pula, kata Rais, Sitorus menyuruh pekerja panen sawit diketahui dan disaksikan keluarga Tarigan yang juga menguasai lahan di sana.

Rais mengingatkan Surat Kejaksaan Agung 22 Januari 2013, penanganan tindak pidana terkait tanah harus dikesampingkan sampai ada putusan peradilan perdata menetapkan pemilik tanah yang sah.

Naibaho mengaku, belum pernah melayangkan gugatan perdata atas sengketa kepemilikan lahan yang sudah menurun ke generasi dua keluarga itu.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Buah sawit negeri ini kerap disebut-sebut sebagai komoditas andalam devisa negara. Untuk mendapatkan buah ini, masih penuh masalah, dari kerusakan hutan, lingkungan sampai konflik lahan. Meskipun berbagai aturan sudah mulai pemerintah bikin tetapi tata kelola kebun sawit masih karut marut.  Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version