Mongabay.co.id

Sebuah Catatan di Hari Peringatan Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia

Bulan lalu, saya membaca artikel menarik dari Alek Karci Kuniawan, dengan judul Dengarkan Jeritan Bumi: Sebuah Refleksi Teologis atas Masalah Tanah dan Ruang Hidup di Mongabay Indonesia. Artikel itu memuat refleksi kritis dari aspek teologis terhadap konflik-konflik sosial penguasaan tanah di muka bumi –yang harusnya menjadi perhatian bagi kaum religius.

Bertepatan dengan Hari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia (World Day to Combat Desertification and Drought), yang diperingati 17 Juni ini, saya ingin melanjutkan pembahasan terkait problematika tanah tersebut. Namun pembahasannya akan lebih ke penurunan kualitas fisik tanah, tanpa menutup mata terhadap konflik sosial penguasaan tanah yang juga menjadi human factor dari terdegradasinya lahan di muka bumi.

Baca juga: Sebuah Refleksi Teologis atas Masalah Tanah dan Ruang Hidup

 

Kekeringan yang terjadi bukan hanya menghilangkan sumber mata air tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tanah untuk Kehidupan

Hari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia, merupakan hari yang diadakan setiap tahun oleh PBB untuk mempromosikan kesadaran publik akan upaya internasional dalam menangani desertifikasi (penggurunan) dan degradasi lahan.

Momentum ini untuk mengingatkan semua orang bahwa netralitas degradasi lahan dapat dicapai melalui: penyelesaian masalah, keterlibatan masyarakat yang kuat, dan kerja sama di semua tingkatan.

Ketika populasi menjadi lebih besar dan lebih padat, kebutuhan menyediakan makanan, pakan ternak, dan serat pakaian juga meningkat. Sementara itu, kesehatan dan produktivitas lahan sebagai penyedianya cenderung menurun. Baik karena faktor alami (natural factor) maupun karena faktor manusia (human factor).

Untuk memiliki lahan produktif yang cukup guna memenuhi tuntutan sepuluh milyar manusia pada tahun 2050, maka gaya hidup perlu diubah. Tapi sebelum lebih lanjut membahas hal tersebut, maka diperlukan kesadaran bahwa kita semua umat manusia di muka bumi ini, hidup dan bergantung pada tanah.

Pertama, secara langsung, sekitar 99 persen kalori yang yang kita makan dan nutrisi yang membuat tubuh kita sehat berasal dari tanah. Kedua, tanah yang sehat dan tangguh adalah pertahanan kunci melawan bencana seperti kekeringan dan banjir bandang.

Ketiga, kehilangan lahan produktif akan menciptakan persaingan yang semakin ketat dalam penguasaan tanah, khususnya dalam memenuhi permintaan barang dan jasa yang terus meningkat, dan peningkatan jasa ekosistem yang mendukung kehidupan.

Lahan yang diperuntukkan untuk kebutuhan bahan pangan, pakan ternak, dan serat juga harus bersaing dengan kota-kota yang berkembang dan industri bahan bakar. Hasil akhirnya adalah bahwa tanah dikonversi dan terdegradasi dengan laju yang tidak stabil, merusak produksi, ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Saat ini, lebih dari dua milyar hektar lahan yang sebelumnya produktif mengalami degradasi. Lebih dari 70 persen ekosistem alami telah diubah. Pada 2050, ini bisa mencapai 90 persen. Pada tahun 2030, – konsekuensi dari kebutuhan produksi pangan, dunia akan membutuhkan 300 juta hektar lahan tambahan.

Pada tahun 2030, industri fashion diperkirakan akan menggunakan 35 persen lebih banyak lahan (sebagai suplai kapas) – dengan luas sekitar 115 juta hektar, – setara dengan ukuran Kolombia (UNCCD: 2020) atau sekitar 2,4 kali luasnya daratan Sumatera.

Di Indonesia, luas lahan kritis di Indonesia saat ini disebut mencapai 14 juta hektar. Namun sayang, kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) buat melakukan rehabilitasi lahan masih terlampau rendah.

Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) Ida Bagus Putera Prathama menyatakan kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi lahan hanya mencapai 500.700 hektar, padahal lahan kritis tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (CNN Indonesia, 6/7/2018).

Baca juga: Kebakaran Hutan Bisa Memicu Munculnya Gurun, Bagaimana Antisipasinya?

 

Kebakaran lahan di Pulau Sumba. Kebakaran hutan dan lahan mendorong terjadinya penggurunan. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Laju Penggurunan dan Kekeringan

Sementara itu ancaman penggurunan sudah mulai terlihat di Indonesia, khususnya di dua daerah yakni Kabupaten Sabu Raijua dan Sumba Timur, di NTT. Di daerah itu, kemaraunya semakin panjang, dengan curah hujan yang rendah. Proses penggurunan itu terjadi didorong karena rendahnya curah hujan.

Faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya penggurunan di NTT, adalah eksploitasi air tanah dan pembukaan lahan tambang. Apalagi NTT merupakan daerah yang relatif kering, sehingga evakurasi air sudah melebihi hujan yang ada (Tempo.co, 15/5/2015).

Ketika gurun muncul secara otomatis selama perjalanan alami siklus hidup sebuah planet, maka itu bisa disebut fenomena alam; Namun, tak sedikit pula gurun muncul dikarenakan penipisan nutrisi.

Penyebabnya ialah eksploitasi berlebihan yang dilakukan atas tanah, ketidakadilan distribusi, dan faktor perubahan iklim. Penggurunan merupakan masalah ekologis dan lingkungan global yang signifikan dengan konsekuensi yang jauh mengenai kondisi sosial-ekonomi dan politik.

Ada sebab akibat yang berantai. Seperti hilangnya sebagian besar vegetasi. Ini didorong oleh sejumlah faktor, seperti kekeringan, perubahan iklim, pengolahan tanah untuk pertanian, dan deforestasi.

Vegetasi memainkan peran utama dalam menentukan komposisi biologi tanan. Penelitian telah menunjukkan bahwa, di banyak lingkungan, laju erosi dan limpasan menurun secara eksponensial dengan meningkatnya tutupan vegetasi.

Permukaan tanah kering yang tidak terlindungi terhembus oleh angin atau hanyut oleh banjir bandang, meninggalkan lapisan tanah lebih rendah, gersang, dan menjadi lapisan keras yang tidak produktif.

Baca juga: Peristiwa Langka, Salju Turun di Gurun Sahara

 

Kemarau dan kekeringan, lahan pertanian pun terancam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masa Depan Dunia dan Solusi

Beberapa dekade mendatang akan menjadi yang paling kritis dalam memulihkan lahan untuk masa depan yang berkelanjutan. Masalahnya besarnya adalah buatan manusia, yang berarti manusia juga bagian dari solusi. Maka pengelolaan lahan yang berkelanjutan adalah urusan semua orang.

Bersama-sama, kita dapat memulihkan produktivitas lebih dari 2 milyar hektar lahan terdegradasi dan meningkatkan mata pencaharian lebih dari 1,3 milyar orang di seluruh dunia.

Degradasi lahan, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati saling terkait erat, dan semakin memengaruhi kesejahteraan manusia. Mengatasi masalah ini bersama adalah kunci untuk mencapai banyak Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Berdasarkan perhitungan UNCCD, satu dekade degradasi lahan dapat menciptakan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, tetapi satu dekade pemulihan lahan dapat membawa banyak manfaat.

Dengan perubahan perilaku masyarakat dan entitas perusahaan, dan penerapan perencanaan publik yang lebih efisien dan praktik berkelanjutan, mungkin ada cukup lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Jika setiap konsumen membeli produk yang tidak merusak lahan, pemasok akan mengurangi aliran produk-produk ini dan mengirimkan sinyal kuat kepada produsen.

Sementara itu dalam kebijakan publik, perlu dilakukan beberapa hal pencegahan terjadinya degradasi lahan meliputi.

Pertama, mengintegrasikan pengelolaan tanah dan air untuk melindungi tanah dari erosi, salinisasi, dan bentuk degradasi lainnya. Kedua, Melindungi tutupan vegetatif, yang dapat menjadi instrumen utama untuk konservasi tanah terhadap erosi angin dan air.

Ketiga, mengintegrasikan penggunaan lahan untuk peternakan dan pertanian di mana kondisinya menguntungkan dan memungkinkan siklus nutrisi yang lebih efisien dalam sistem pertanian. Keempat, menerapkan kombinasi praktik tradisional dengan teknologi penggunaan lahan yang dapat diterima dan diadaptasi secara lokal.

Kelima, memberi komunitas lokal kemampuan untuk mencegah penggurunan dan untuk mengelola sumber daya lahan kering secara efektif. Keenam, menciptakan mata pencaharian alternatif yang tidak menguras lahan dan sumber daya alam, namun memberikan pendapatan yang berkelanjutan.

 

Referensi

Geeson, Nichola et al, 2002. Mediterranean desertification: a mosaic of processes and responses. John Wiley & Sons: New York.

Millennium Ecosystem Assessment, 2005. Ecosystems and Human Well-being: Desertification Synthesis. World Resources Institute, Washington: DC

2020 Desertification and Drought Day, diakses dari laman resmi UNCCD pada 14 Juni 2020

Beberapa Daerah di NTT Terancam Menjadi Gurun, Tempo.co, 5 Mei 2015

Lahan Kritis Indonesia 14 juta Ha, Pemerintah Kewalahan, CNN Indonesia, 6 Juli 2018

 

* Tri Wahyuni, penulis adalah pemerhati masalah lingkungan hidup; Peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version