Mongabay.co.id

Begini Aksi Para Milenial di Laut Indonesia

Seorang penyelam sedang mengamatai terumbu karang kipas alias sea fan. Foto : Wisuda

 

Salah satu diskusi menggugah lain selama pandemi ini bertajuk Millenial and Corona, akronim dari coral reefs role in natural system. Dari peneliti muda hiu paus, upaya mengkoordinir ribuan penyelam dan pembersih laut, petualang di samudera Atlantik, sampai upaya menghentikan penambangan terumbu karang dan pasir.

Hal menarik lainnya, sebagian besar penggerak laut milenial ini adalah perempuan. Milenial identik dengan anak muda yang lahir sebagai digital native, lahir ketika internet sudah ada. Salah satu ciri khas milenial penggerak di laut ini adalah memanfaatkan internet untuk menggemakan aksi.

Webinar ini disiarkan di kanal Youtube Pengelolaan Ruang Laut, salah satu direktorat di Kementerian Perikanan dan Kelautan ini pada 10 Juni 2020. Bagian dari peringatan World Ocean Day dan Coral Triangle Day.

Swietania Puspa Lestari, pendiri Divers Clean Action membuat program riset, pembersihan laut, kampanye, dan pelatihan. “Partisipasi relawan di Indonesia dinilai baik, karena itu gerakan ini ditingkatkan ke Asia Tenggara,” serunya bersemangat. Saat ini disebut ada sekitar 1500 relawan, tak hanya penyelam, tetapi juga mereka yang bantu clean-up di pantai dan bawah laut. Fokus kegiatan di daerah pesisir, karena banyak sistem sampah yang belum teraplikasikan. “Kami juga kerjasama dengan perusahaan agar makin banyak yang didaur ulang,” lanjut perempuan muda ini.

Dari hasil clean-up, jenis sampah didominasi produk sekali pakai (single use) seperti kresek dan styrofoam yang ternyata sulit didaur ulang. “Plastik bisa jadi pembawa virus selama 3 hari. Kalau dibiarkan sampah terinfeksi, pengumpul sampah bisa kena, ini mengkhawatirkan. Mengurus sampah juga mengurus kesehatan,” ingat Swietania.

baca : Tekad Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Ilustrasi. Anak-anak bermain diantara tumpukan sampah di pesisir Pantai Muncar, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jatim, pada akhir Juni 2019. Sampah mulai bertebaran dan menumpuk pasca banjir besar dari Sungai Wagut dan bermuara di pesisir pantai Tratas pada 2004. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Organisasinya harus beradaptasi selama pandemi agar tetap kolaborasi dengan para pihak. Misalnya monitoring program online, dan prioritas sampah untuk didaur ulang. Saat ini di Papua sulit mengirim sampah anorganik ke Surabaya. Kena imbas pandemi dan buruknya, benda sekali pakai itu sulit didaur ulang di lokasi tanpa sarana.

Ia meyakinkan saat ini harus menghubungkan kesehatan dan lingkungan karena sudah banyak alat pelindung diri (APD) seperti masker masuk sungai dan jalan. Hal ini berisiko menginfeksi pengumpul sampah. Salah satu solusinya tidak menggunakan sekali pakai, malah kebalikannya kalau sehat pakai masker guna ulang, dan ini dinilai lebih bagus bagi kesehatan karena bisa dicuci.

“Belum ada penelitian, jika laut bisa jadi medium virus ini. Tapi pengaruhi kegiatan konservasi. Tetap kampanye dan akses informasi yang tepat,” ajaknya. Salah satu hal yang menambah sampah plastik saat pandemi adalah plastik kiloan untuk bungkus HP ketika melakukan pelayanan kesehatan. Ia menyarankan menggunakan kantong guna pakai karena bisa dicuci.

Dampak pandemi juga pada pariwisata pesisir dan laut, namun saat ini dinilai penting menyiapkan standarnya agar tak over eksploitasi ketika pandemi berakhir.

Dari kurva perubahan perilaku yang dianalisisnya, paling efektif menyebarkan inovator, karena mengubah peraturan perlu waktu lama. Selain itu, membagi optimisme. Ia mencontohkan di Anambas, Kepulauan Riau, masih ada relawan bekerja mengangkat fishing gears seperti jaring bekas. Tantangannya, pengagkutan sampah anorganik ini dari pulau ke lokasi daur ulang.

“Corona tak akan berakhir, saat pasien terakhir. Namun ketika sampah infeksius berhasil diolah dengan baik. Karena ada potensi penularan dari sampah anorganik tercemar,” tutup Swietania. Pihaknya sedang mengampanyekan tentang ini melalui buku saku berjudul Bumi dan Covid-19. Salah satunya tips bagaimana mendaur ulang sampah sendiri.

baca juga : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Ilustrasi. Seorang aktivis OceansAsia memperlihatkan limbah masker medis di pesisir Hongkong. Foto : facebook Oceans Asia

 

Berpetualang sambil meneliti mikroplastik

Kirana Agustina dari Global Plastic Action Partnership (GPAP) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia punya cerita petualangan yang seru ketika mengikuti EXXpedition Round the World, sebuah pelayaran ilmiah dan semua kru kapal adalah perempuan. Mereka membawa misi penelitian dan menjelajahi Samudera Atlantik.

“Dulu saya tidak bangga dengan potensi Indonesia sebagai bangsa bahari, dan lokasi strategis segitiga karang untuk memimpin dunia dalam dunia maritim,” ingatnya. Kini sebaliknya.

Terlebih menurutnya harkat martabat laut makin terangkat karena banyak didorong melaui berbagai kebijakan global. Ia juga membawa pertanyaan dalam dirinya, bagaimana merespon ketika Indonesia penyumbang sampah laut nomor dua setelah China, bagaimana kebijakan yang harus didorong?

Salah satu tawarannya, citizen science mendorong keterlibatan publik ikut pengumpulan data ilmiah. “Dalam perjalanan ini, tiap tahun ada 10 perempuan terlibat untuk mengubah persepsi publik dan menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan terkait perilaku manusia,” jelas Kirana. Perjalanan dibagi 30 rute, melewati peta dunia kumpulan arus laut (gyre) karena jadi lokasi akumulasi sampah plastik. Terpetakan di lima zona yakni Samudera Pasifik, Samudera Hindia yang jadi lokasi feeding zone tuna. “Bayangkan sampah plastik terakumulasi di satu arus, potensi perikanan akan berdampak buruk,” sebutnya.

baca : Ancaman Mikroplastik Semakin Nyata di Kawasan Pesisir Indonesia. Seperti Apa?

 

Ilustrasi. Sampah mikroplastik. Foto : legacy.4ocean.com

 

Perjalanan Plymouth to Azores pada Oktober 2019 ini menghadapi badai Lorenzo kategori V, tapi tetap berlayar. Rutenya dari Plymouth, Inggris ke Pulau Sao Miguel, Kepulauan Azores, Portugal selama dua pekan ini. Dari temuan, sampah pastik terbanyak di gyre Atlantik. “Kita mengira seolah tak ada sampah di perairan negara maju, tapi saat diselidiki banyak bekas makanan dan minuman,” ujar Kirana.

Sampah mikroplatik ditemukan sudah masuk ekosistem laut. Pelet bahan baku pembuat plastik banyak di laut, menurutnya ini alarm. Laut yang biru jadi area mikroplastik, dimakan ikan, ikan kecil dimakan cumi, tuna, ikan besar, akhirnya masuk supply chain pangan laut.

Kirana heran, kenapa negara-negara Asia termasuk penyumbang sampah terbanyak dibanding negara maju. “Anak kelautan tak mau di sektor kelautan lagi, anak nelayan tak mau jadi nelayan lagi. Tapi tujuannya mewarisi bangsa bahari semoga menimbulkan rasa cinta,” cetusnya.

 

Tidak Ada Satu Solusi

Frengky Sihombing, pegiat Sea Soldier Sulawesi Utara juga membagi pengalamannya mengajak anak muda untuk mengubah mindset dalam perubahan lingkungan. Menikmati keindahan laut tanpa eksploitasi. Komunitasnya fokus pada bersih pantai terutama di darat, di dalam laut terutama di lamun dan terumbu karang, serta sampah di mangrove. “Banyak spot mangrove di sini, kita menanam dan monitoring mangrove jenis apa yang sesuai di daerah itu,” katanya.

Ada juga Erfa Canisthya, peneliti muda dari Conservation International (CI) Indonesia. Ia mengajak mengenal program Whale Shark Tracker, melacak hiu paus dengan bantuan satelit. Hiu paus yang dipasangi tag akan terlihat di peta digital, akan nampak lokasi yang dikunjungi dan arah pergerakannya. “Saat ini ada 40 yang sedang dilacak,” ia menunjukkan ke peta online.

Ia menunjuk individu hiu paus bernama Hula yang ditemukan di Papua Barat, kemudian berenang ke Arafura, Timor Leste, dan kembali ke Laut Banda.

Nexus, individu hiu paus lain ditemui di Teluk Candrawasih, berenang ke perairan Papua Nugini. Sementara Susi, paus betina pertama kali ditemui di Kaimana, individu ini dinilai senang berenang di perairan Fakfak. “Cara mendeteksi pergerakan mereka dengan memasang tag terhubung satelit di sirip dorsal yang tebal. Ada metode lain untuk pasang tag di spesies pari manta,” papar Erfa. Pemantauan ini bermanfaat untuk menganalisis pola pergerakan, kedalaman, temperatur air laut, semua bisa terekam dan jadi informasi ilmiah untuk perlindungan habitat dan pengembangan wisata laut.

baca : Ada Atraksi Wisata Hiu Paus dalam Dewi Bahari

 

Hiu paus yang diberi nama Susi berenang di sekitar bagan setelah dipasangi tag satelit. Foto : Abraham Sianipar/Conservation International

 

“Hiu paus juga makan dari bocoran tangkapan jaring,” tunjuk perempuan muda ini memperlihatkan gambar indah hiu paus persis di bawah perahu. Jenis ini dinyatakan terancam punah pada 2016. Di Indonesia sudah mendapat status dilindungi penuh. Erfa menyebut, hiu paus lebih banyak ditemui individu jantan belum dewasa. Masih banyak misteri lain yang misal proses kawin dan melahirkannya.

Pari manta juga banyak dipantau dan dari analisis, dinilai 2000 kali lebih berharga saat hidup dibanding mati. Temuan daerah melahirkan dan pembesaran anakan pari manta di antaranya di Legung Wayag, Raja Ampat. Lokasi akhirnya jadi favorit wisatawan penyelam dan snorkeling. Laut Sawu dan sekitarnya juga terkenal menjadi rute migrasi untuk paus dan dan lumba-lumba.

Cerita menarik lain disampaikan Dinah Yunitawati dari Banda Aware dan The Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) Women Leaders Forum. Sejak 2018, ia bersama tim melakukan konservasi di Kepulauan Banda, Maluku. Salah satu lumbung ikan nasional, seperti ikan tuna. Masalah laut di sana adalah penambangan terumbu karang dan pasir pantai untuk membangun rumah dan fasilitas umum.

“Akar permasalahannya karena di Banda tak ada bahan bangunan, mendatangkan dari kota terdekat sulit, penyeberangan jarang. Cara termudah dinilai mengambil karang dan pasir depan rumah secara gratis,” urai Dinah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah kampanye penggunaan bambu untuk bangun rumah karena materialnya tersedia di salah satu pulau sekitar.

Pihaknya mengajak pelatihan pemanenan dan pengawetan bambu. Juga teknik konstruksi bangunan dan desain. Salah satu percontohan adalah perpustakaan dari bambu di Tanah Rata. Perpus ini jadi area pelatihan, kursus, dan saat pandemi juga jadi lokasi isolasi mandiri. “Fokusnya perempuan pesisir, saat mereka punya skill baru bisa mengubah kebiasaan seperti menambang karang,” lanjutnya. Harapannya perubahan jangka panjang. Jumlah hasil tambang karang dan pasir belum bisa dimonitor, program baru berjalan 3 tahun.

Sedangkan Agustin Capriati, peneliti dan konservasionis muda CTC mengajak mengenal Blue Hope Spot, lokasi yang memiliki resiliensi tinggi dan biota karismatik seperti manta dan mola-mola. Salah satu daerah yang baru diluncurkan adalah Nusa Penida.

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seorang penyelam di bawah perairan Desa Jemeluk, Karang asem, Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Exit mobile version