Mongabay.co.id

Era Kenormalan Baru dan Prinsip Fundamental Ekowisata

 

Pandemi corona [COVID-19] tak pelak menghancurkan tatanan kehidupan kita. Berbagai aspek terdampak virus mematikan ini, tak terkecuali sektor pariwisata.

Buntut badai corona, pasar pariwisata, mulai level lokal hingga global, kolaps. Mengacu data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf], hingga pekan kedua April 2020 lalu, sebanyak 180 destinasi dan 232 desa wisata di Indonesia ditutup selama pandemi.

Sejak merebaknya corona, Januari silam, industri pariwisata Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekurangnya USD 1,5 miliar atau setara Rp21 triliun. Badan Pusat Statistik [BPS] mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara pada Januari-Februari 2020 hanya 2,16 juta orang, atau turun 11,8 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Target kunjungan wisatawan mancanegara [wisman] ke Indonesia tahun ini dipastikan tidak sesuai harapan. Sebelumnya, Indonesia menargetkan pada 2020 ini sebanyak 17 juta kunjungan. Tahun 2019, jumlah wisman yang datang sebanyak 16,1 juta, meningkat dari 2018 yang berjumlah 15,81 juta kunjungan.

Tentu saja, industri pariwisata diupayakan bangkit. Kendati demikian, ketika memasuki era yang disebut kenormalan baru [new normal], pariwisata -seperti juga sektor industri lainnya- mesti mengadopsi beberapa hal terkini, khususnya aspek kesehatan, keamanan, dan keselamatan.

Baca: Nasib Ekowisata di Masa Pandemi Corona

 

Panorama pedesaan di Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di awal kemunculannya, istilah ekowisata kerap merujuk perjalanan wisata alam ke kawasan asri. Foto: Djoko Subinarto

 

Keuntungan ekowisata

Dalam rilis media, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf] memprediksi bahwa produk ekowisata akan lebih diminati masyarakat pascapandemi. Untuk itu, Kemenparekraf akan lebih berkonsentrasi pada pengembangan ecotourism, selain juga wellnes tourism.

Menilik sejarahnya, ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Kenton Miller, tahun 1978 [Rahemtulla & Wellstead, 2001]. Istilah ini merujuk perjalanan wisata alam ke kawasan yang relatif masih asri dengan titik berat pada aspek pendidikan. Kenton Miller kemudian dijuluki “The Father of Ecotourism”.

Mengutip pendapat From [2004], Janianton Damanik dan Helmut Weber dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, menyebutkan bahwa konsep ekowisata sekarang ini paling tidak mencangkup tiga pemahaman.

Pertama, perjalanan outdoor di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Para wisatawan biasanya menggunakan sumber daya hemat energi, bangunan kayu, bahan daur ulang dan mata air alami. Kegiatan ini tidak mengorbankan flora dan fauna, juga tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan, misalnya, mendirikan bangunan yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat sekitar.

Kedua, ekowisata adalah wisata yang mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat di kawasan wisata itu. Prinsipnya, akomodasi yang tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional.

Selain itu, makanan yang ditawarkan juga bukan makanan bahan baku impor, semuanya berbasis produk lokal. Termasuk dalam hal jasa pemandu wisata lokal, sehingga wisata ini benar-benar memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal.

Ketiga, ekowisata menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Dalam konteks ini, para wisatawan yang datang, belajar banyak dari masyarakat setempat, bukan sebaliknya menggurui mereka. Wisatawan tidak menuntut masyarakat lokal menciptakan pertunjukan dan hiburan ekstra, tetapi mendorong mereka diberi peluang menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah dimiliki masyarakat setempat.

Baca: Kultur Bersepeda dan Transportasi Era New Normal

 

Warga Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, melakukan Ngemban Taun. Aktivitas ekowisata memungkinkan wisatawan menyaksikan upacara dan pertunjukan khas yang dimiliki masyarakat lokal. Foto: Djoko Subinarto

 

Ekowisata, harus mendatangkan manfaat berlipat, di satu sisi meningkatkan pendapatan ekonomi, di sisi lain memberi kontribusi pelestarian alam-lingkungan dan tradisi budaya penduduk lokal.

Kendati demikian, manfaat berlipat ini baru bisa dicapai jika ekowisata yang dijalankan memperhatikan beberapa prinsip fundamental berikut.

Pertama, sebelum menetapkan sebuah kawasan sebagai areal ekowisata, lakukan riset mendalam serta studi kelayakan, yang diikuti pemberdayaan manusia yang nantinya terlibat pengembangan ekowisata.

Kedua, selalu memastikan ekowisata yang dijalankan tidak akan pernah melahirkan degradasi alam-lingkungan dan perusakan budaya setempat.

Ketiga, aktivitas ekowisata harus bisa menghormati dan menjaga nilai-nilai intrinsik alam-lingkungan setempat.

Keempat, pendapatan dari ekowisata harus memberi kontribusi bagi pelestarian alam-lingkungan sekitar, pengembangan ilmu dan kebudayaan penduduk setempat, serta industri pariwisata keseluruhan.

Kelima, ekowisata dikatakan berhasil bila perekonomian penduduk lokal tidak melulu bersandar pada industri pariwisata sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Mengingat, bisnis pariwisata sedikit-banyak dipengaruhi kestabilan politik, sosial dan finansial, baik regional maupun global. Industri ini juga rentan terpengaruh bencana alam, wabah penyakit, dan kekerasan politik.

Baca juga: Ekowisata Desa Rongkong, Upaya Warga Merawat Alam

 

Warga di depan rumah adat Desa Cikondang, Pangalengan, Jawa Barat. Ekowisata memungkinkan wisatawan belajar banyak tentang nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Foto: Djoko Subinarto

 

Prinsip-prinsip di atas harus dijadikan acuan dan pegangan dalam setiap aktivitas ekowisata. Jika salah satu prinsip diabaikan, yang terjadi bukan keuntungan dan kelestarian, melainkan kerugian dan kerusakan.

Hal ini pernah dialami Taman Nasional Annapurna, Nepal, tatkala ekowisata yang dijalankan berhasil menyedot 60.000 wisatawan per tahun. Namun akhirnya, malah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa erosi tanah, rusak dan lenyapnya sejumlah tanaman, serta maraknya perdagangan satwa ilegal.

Prinsip fundamental ekowisata mesti dipatuhi, sehingga setiap aktivitas yang dijalankan mampu menjadi mata pencaharian masyarakat, sekaligus melindungi alam serta lingkungan sekitar.

Kita berharap, badai corona segera berlalu dan destinasi ekowisata negeri ini semakin diminati wisatawan. Tentu saja, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan garansi keamanan.

 

*Djoko Subinartokolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version