Mongabay.co.id

Taman Nasional Aketajawe Tawarkan Terapi Hutan

Pengunjung Suaka Paruh Bengkok. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

 

 

 

 

Pepohonan hijau nan rimbun dengan kicauan burung silih berganti. Gemerik air sungai dan riuh air terjun menambah ketenangan dan kenyamanan kala berada di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL), Maluku Utara. Memasuki masa ‘new normal’ bisa jadi salah satu tempat alternatif terapi hutan (forest healing).

Dari keragaman hayati, baik tumbuhan maupun satwa, terutama jenis burung, memiliki potensi besar mengurangi bahkan bisa mengobati stres yang dialami termasuk saat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini.

Menyambut adaptasi kehidupan baru atau new normal yang sudah mulai digulirkan pemerintah, TNAL mengajak berbagai pihak mau memanfaatkan hutan, seperti di TNAL untuk mengobati stres atau terapi.

“Menikmati alam hutan, berdasarkan berbagai riset yang telah dilakukan bisa menghilangkan stres. Ini coba kami kembangkan dan perkenalkan karena TNAL memiliki semua itu,” kata T Heri Wibowo, Kepala TNAL dalam seminar online bertema Menjaga Lingkungan Hidup Maluku Utara di Masa COVID-19 menuju New Normal, pekan lalu.

Dia bilang, hutan TNAL yang masih bagus dengan tegakan pohon lebat dan keragaman satwa, akan memberikan kenyamanan luar biasa.

Terapi hutan salah satu metode mengobati stres dengan menikmati hutan dan berbagai satwa. Hutan, katanya, jadi tren dunia untuk pemulihan fisik dan mental.

 

Sungai Tajawi, sekaligus sebagai bendungan untuk pertanian warga sekitar Taman Nasional Ake Tajawe. Foto: Sofyan Ansar darii TNAL.

 

Dia mengutip beberapa riset yang sudah dipublikasikan di jurnal maupun media massa. Penelitian Matther P. White dalam jurnal Scientific Report volume 9 edisi 12 Juni 2019 menyatakan, tegakan pohon, ekosistem hutan, dan alam terbuka bisa memulihkan kesehatan fisik dan mental.

Dalam hasil riset itu diungkap analisis kondisi fisik dan kejiwaan hampir 20.000 responden di Inggris. Mattther dan tim menyimpulkan, daya tahan tubuh para responden terhadap serangan virus naik setelah mereka berjalan di alam terbuka, di taman, atau pantai selama 120 menit hingga 300 menit.

Istilah forest bathing serapan dari istilah Jepang shinrinyoku. Istilah ini dikenalkan oleh Qing Li, Presiden Kelompok Pengobatan dari Hutan di Tokyo, dalam bukunya Shinrin-Yoku: The Art and Science of Forest Bathing. Buku itu menyatakan, berjalan di bawah hutan dan menjumpai kehijauan alam adalah faktor penting dalam memerangi penyakit di tubuh dan pikiran.

Dengan aplikasi Smart Pulse, buatan Korea, menemukan stres fisik (physical stress) dan mental (mental stress) enam relawan diuji sebelum dan setelah berjalan di hutan. Hasilnya, ekosistem hutan mampu menurunkan stres rata-rata hingga 20 level.

Dari hasil riset yang telah dikembangkan itu, TNAL mencoba menawarkan sesuatu yang agak berbeda dari wisata biasa, terlebih potensi taman nasional ini mendukung soal ini.

 

Burung bidadari. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

 

Persiapan mau buka lagi

Sejak pademi COVID- 19, ada kebijakan nasional seluruh aktivitas wisata di taman nasional di Indonesia tutup,  begitu juga TNAL. Penutupan itu sejak 6 Maret hingga Juni ini. Kebijakan adaptasi kehidupan baru, TNAL juga ikut membuka wisata untuk masyarakat dengan memberlakukan protocol kesehatan ketat. Kini, pembukaan wisata di TNAL sedang dalam persiapan.

Dia bilang, COVID-19 berdampak di semua sektor, termasuk pariwisata di TNAL. “Ditutup sejak `6 Maret 2020, semenjak darurat kesehatan diberlakukan. TNAL ikut menutup juga tiga resor yang ada,” kata Heri.

Pandemi ini juga ikut berdampak pada kelompok binaan mereka terutama yang berada sekitar TNAL, seperti pemandu wisata dan penjual makanan.

Meski demikian, katanya, ada dampak positif bagi alam karena ekosistem mendapatkan napas cukup untuk pulih dengan tak ada kunjungan.

Tahmid Wahab, Kepala Dinas Pariwisata Maluku Utara, mengamini pandemi berdampak ke berbagai sektor termasuk pariwisata.

“Benar-benar di titik nadir. Kunjungan wisatawan lokal dan internasional tidak ada. Dampaknya perhotelan dan restoran terancam gulung tikar,” katanya.

Pandemi Corona juga membuat kunjungan wisatawan ke TNAL mengalami penurunan tajam. Saat ini, kurva datar karena tidak ada kunjungan. Di Suaka Paruh Bengkok hingga Januari, ada kunjungan 800-1.000 orang. April dan Mei, tidak ada kunjungan wisatawan karena tutup.

“Dari masa pandemi ke new normal nanti kita lihat. Apalagi kondisi terakhir di Malut tren kasusnya naik.”

Dia berharap, healing forest bisa menyembuhkan pikiran yang tertekan oleh kondisi pandemi.

 

 

Aktivitas Suku O Hongana Manyawa memanfaatkan daun livistonia. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

 

Untuk menyambut adaptasi hidup baru dan pembukaan wisata TNAL, mereka sudah menyiapkan pemandu yang menerapkan protokol kesehatan ketat. Ada beberapa hal wajib diperhatikan khusus di TNAL. Pengunjung tetap dibatasi 50% dari biasa, termasuk di Resort Tayawi biasa 500 per hari hanya bisa 250 orang dengan tetap mengatur jarak dengan pakai masker serta syarat harus bebas COVID-19.

Masyarakat yang berwisata, hendaknya membawa hand sanitizer. TNAL juga akan menyediakan hand sanitizer dan sarana prasarana lain.

Petugas juga akan memasang tata cara dan poster yang bisa mengingatkan pengunjung. Untuk petugas TNAL juga harus pemeriksaan suhu tubuh. Untuk pengunjung yang keluar dan masuk juga gunakan jalan berbeda.

“Kita akan memberi contoh beberapa tempat di TNAL yang bisa jadi tempat healing forest. Misal, menikmati keindahan alam di air terjun Hafo dan hutan Bay Ruray. Bagi warga yang mau berwisata alam ke TNAL jika tidak menginap di resort, ada juga home stay yang dikelola masyarakat bisa disewa pengunjung.”

Untuk outbond di Ake Jawe jadi idola di Desa Foli Halmahera Timur. Di sana, ada rehabilitasi burung paruh bengkok hasil sitaan perdagangan ilegal.

Selain menikmati suara burung bidadari, hutan, sungai air terjun dan suaka paruh bengkok di TNAL juga susur goa karst yang memerlukan waktu sekitar lima sampai delapan jam.

Budaya masyarakat O Hongana Manyawa atau dikenal dengan Tugutil, juga merupakan daya tarik wisata potensial. Suku ini juga dikenal dengan pengetahuan dalam pemanfaatan kekayaan tanaman obat.

 

Air terjun Hafo. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

 

Kathy Monika, finalis Putri Indonesia asal Maluku Utara pernah berkunjung ke TNAL sangat terpesona dengan keindahan alam dan satwa.

Menurut dia, ada banyak destinasi mengagumkan. Tak hanya keindahan alam baik flora dan fauna, juga bangga dan senang bisa bertemu dan bercengkerama dengan masyarakat Suku O Hongana Manyawa di hutan TNAL. “Ini kekayaan yang dimiliki TNAL,” katanya dalam diskusi online itu.

Taman Nasional Aketajawe-Lolobata berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor : SK.397/Menhut-II/2004 tertanggal 18 Oktober 2004 seluas 167.300 hektar. Ia terdiri dari dua blok, Aketajawe (77.100 hektar) dan Blok Lolobata (90.200 hektar).

TNAL merupakan wilayah lindung yang mengkombinasikan dua kawasan inti yang terpisah yakni, Kelompok Hutan Lindung Aketajawe dan Kelompok Hutan Lolobata.

 

 

Keterangan foto utama:  Pengunjung Suaka Paruh Bengkok. Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

Hutan lebat di TNAL bisa jadi terapi hutan (forest healing). Foto: Sofyan Ansar dari TNAL

Exit mobile version