Mongabay.co.id

Kasus Sitorus, Cermin Karut Marut Tata Kelola Lahan Sawit di Riau

Sawit. Ekspansi sawit terus terjadi, hingga menciptakan beragam masalah dari deforestasi, konflik lahan sampai kebakaran, seperti yang didakwakan kepada PT TFDI di Riau. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada 16 Juni lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan, memutus bebas Soaduon  Sitorus  atas kasus pencurian buah sawit dari lahan yang diklaim milik Gindo Naibaho di Dusun Semaram, Indragiri Hilir, Riau. Amar putusan menyebut, kalau tuntutan kepada Soaduon tidak masuk pidana lantaran ada perebutan kebun sawit dua kelompok.

Dalam amar putusan, hakim menilai ada saling klaim dan saling memiliki atas obyek itu membuat perbuatan Sitorus bukan lagi dalam ranah hukum pidana.

“Karena tidak ada pidana, dia harus dilepaskan demi hukum,” kata M Rais Hasan, kuasa hukum Sitorus saat dihubungi Mongabay, Kamis pekan ini.

Baca juga: Panen Sawit di Lahan Sengketa, Soaduon Sitorus Terjerat Pasal Pencurian

Kedua pihak, katanya, sama-sama memiliki legalitas. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan memperlihatkan bukti berupa surat keterangan ganti rugi (SKGR). Sitorus pun memiliki dokumen yang jadi alat bukti kepemilikan lahan oleh keluarga Tarigan, keluarga yang memberi lahan sawit kepada Sitorus.

Fakta-fakta terungkap dari saksi JPU maupun saksi yang menguatkan Sitorus menyebutkan, Naibaho memiliki lahan 1.314 hektar. Ketika dikonfirmasi letak lahan, saksi-saksi pelapor justru tak bisa menunjukkan dengan pasti.

“Letak dan posisi lahan Naibaho itu tidak jelas. Itu kami ajukan jadi bukti di pengadilan,” kata Rais.

 

Karut marut tata kelola

Ketidakjelasan status dan saling klaim kepemilihan dalam kasus Sitorus dan Naibaho, memperlihatkan satu contoh karut marut tata kelola lahan sawit di Riau. Belum lagi soal perkebunan sawit hidup di lahan ilegal seperti taman nasional dan gambut.

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut, lebih 22 perusahaan sawit membeli tandan buah segar (TBS) bukan hanya dari perkebunan milik mereka, juga di kawasan terlarang, seperti di taman nasional.

Praktik seperti itu lantas tak langsung menginspirasi para cukong dan pemodal untuk ekspansi di wilayah-wilayah itu. “Kalau tidak ada yang beli, tentu orang tidak akan masuk (dalam kawasan),” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari dihubungi secara terpisah.

Aparatur negara pun seakan tidak memiliki taring atas praktik ini. kKgaduhan di tingkat tapak, katanya, membuat segala upaya mengubah jadi percuma.

Pada 2016-2017, saat Kapolda Riau mengeluarkan Surat Edaran untuk perusahaan sawit tidak zembeli sawit dari Taman Nasional Tesso Nilo.

“Ini dipakai oleh perusahaan untuk provokasi di tapak. ‘Ini, loh, kami tidak boleh membeli sawit kalian karena surat edaran.’ Selanjutnya kegaduhan terjadi,” kata Okto.

Akibat provokasi berujung kegaduhan itu, akhirnya surat edaran ini tidak lagi berlaku.

Selain perkebunan sawit dalam taman nasional dan gambut, Riau pun jadi tuan rumah ramah atas kebun sawit izin berantakan.

 

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Tahun 2015, DPRD Riau melalui panitia khusus yang dibentuk menemukan 1,8 juta hektar lahan perkebunan beroperasi ilegal. Dalam arti, katanya, belum memiliki hak guna usaha (HGU) namun sudah beroperasi, bekerja melebihi HGU sampai operasi dalam kawasan hutan.

“Sayangnya, itu belum dikoreksi betul dalam RTRW Riau,” kata Okto.

RTRW Okto digugat pada 2018 dan Mahkamah Agung mengabulkan hingga bisa jadi momen perbaikan.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, masalah legalitas lahan, seperti yang ujung konflik antar Sitorus dan Neibaho jadi masalah dasar yang mendesak diselesaikan guna mengurai kesemrawutan tata kelola perkebunan sawit di Riau.

Dengan legalitas jelas, masyarakat bukan hanya memiliki kedudukan kuat kalau sedang berkonflik dengan pihak lain termasuk perusahaan, juga bisa mengakses modal dan pasar.

“Kita tahu kalau legalitas bagi masyarakat ini sulit. Persyaratan macem-macem, tidak mungkin terpenuhi, apalagi kalau masalah tanah adat,” kata Teguh.

Data pemerintah memperlihatkan Riau memiliki kebun sawit terluas di Indonesia, hampir 3,4 juta hektar. Meskipun begitu, jadi ‘pusat’ kebun sawit tak selaras dengan kesejahteraan warganya.

Baca juga: Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan

Data Yayasan Madani Berkelanjutan dari Statistik Kesejahteraan Masyarakat Riau 2018, enam dari tujuh kabupaten dengan luas perkebunan sawit terbesar di Riau, yaitu, Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rokan Hilir, ternyata memiliki kesejahteraan rendah.

Kabupaten-kabupaten itu 65% komoditas perkebunan adalah sawit dan lebih 70% pertanian di sana lahan sawit. Kalau melihat dari daya beli masyarakat, 50% pengeluaran justru untuk makanan.

“Ada rawan pangan dan rawan bencana di kabupaten dengan perkebunan sawit terluas di Riau. Ini terjadi dari tahun ke tahun. Nggak ada koreksi, padahal di dalam rencana pembangunan daerah dijabarkan masalah ini,” katanya.

 

Banyak terjadi di Indonesia

Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (Cifor) dalam kesempatan berbeda menyebut, apa yang terjadi di Riau merupakan gambaran umum Indonesia. Tidak hanya masalah perkebunan sawit, pengelolaan kehutanan pun demikian.

“Yang jadi persoalan adalah kemampuan kita untuk memperbaiki lebih kecil daripada masalahnya yang besar,” katanya.

Saat ini, katanya, ada 3,5 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia. Penyelesaian luasan ini sangat kompleks, intervensi pemerintah dalam bentuk perhutanan sosial pun masih belum sepenuhnya bisa jadi jawaban atas masalah ini.

“Kalau mau dikasih ke masyarakat, masyarakat yang mana? Siapa yang kelola? Kadang yang memiliki kemampuan justru cukong, bukan masyarakat miskin yang memang membutuhkan,” katanya.

Menurut dia, masalah kehutanan, termasuk sawit, di Indonesia adalah masalah yang kompleks. Banyaknya aktor yang bermain membuatnya sulit untuk diurai, apalagi dengan keterbatasan pendanaan yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah untuk pengelolaan kawasan hutan.

Di Riau, lanjut Herry, pengelolaan kawasan hutan sebesar 9 juta hektar hanya diberikan anggaran Rp15 miliar. Kondisi ini jelas tidak cukup, dengan rincian hanya ada alokasi Rp2.000 untuk pengelolaan satu hektar. “Dua ribu rupiah untuk apa? Kasarnya paling untuk Pak Ogah, kan?

 

 

Perlu kepemimpinan

Masalah kompleks kehutanan dan perkebunan sawit di Riau itu, kata Teguh, berasal dari pemimpin minim yang memiliki visi memajukan Riau. Beberapa pemimpin daerah baik di provinsi atau kabupaten bahkan beberapa kali berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Tidak ada leadership di Riau yang visi membangun Riau. Dari sejarah ekstraksi sumber daya di Riau, itu dibongkar habis, tapi apakah sejahtera? Berganti komoditas hingga sekarang sawit, situasi pun tetap sama,” kata Teguh.

Tidak ada kepemimpinan kuat pun jadi salah satu alasan implementasi regulasi-regulasi pusat di daerah lemah. Teguh menyoroti implementasi Inpres Moratorium Izin di kawasan hutan sejak 2011.

“Ada mandat agar daerah me-review tata ruang dan menyesuaikan dengan peta indikatif (penundaan pemberian izin baru-red), tapi apa itu dilakukan? Tidak. Kementerian Dalam Negeri pun tidak bersuara dan tata ruang tetap diproses.”

Dia menilai, perlu perubahan radikal oleh pemimpin-pemimpin daerah untuk berani membela kepentingan masyarakat dan lingkungan seperti diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28A. Ia berbunyi, ‘Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.’

Leadership ini harus dari atas, karena kalau dari bawah, dari masyarakat yang melakukan perubahan, nanti diberi stigma pemberontak.”

 

Kerjakan porsi masing-masing

Pemerintah, harus menjadi pemimpin terhadap perbaikan tata kelola di kawasan hutan dan perkebunan. Meskipun demikian, kata Herry, masyarakat, organisasi masyarakat sipil maupun akademisi tidak perlu menunggu sosok dirigen yang tepat.

“Pemerintah, memang harus menjadi koordinator, harus jadi fasilitator, tapi kita pun masing-masing harus kerjakan yang terbaik. Karena kalau tunggu pemerintah restorasi atau perbaiki tiap jengkal tidak akan mampu.”

Dia menilai keterbatasan pemerintah juga harus ditopang oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki sumber daya ataupun dana mumpuni. Cifor, misal, juga mengerjakan apa yang mereka bisa di lapangan, terutama restorasi kawasan dan perbaikan lingkungan masyarakat.

“Kami kerjakan di salah satu desa, dari situ kita connect ke desa lain, pasti ada sambutan. Inisiatif dari bawah dengan pemerintah pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik,” kata Herry.

Dia menganalogikan, setiap pekerjaan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil atau pemerintah secara parsial sebagai narasi kecil. “Nanti, narasi-narasi kecil ini bisa kita rajut, harapannya menghasilkan narasi besar.”

 

Keterangan foto utama:  Ilustrasi. Riau, provinsi dengan kebun sawit terluas di Indonesia, tetapi tak sejalan dengan kesejahateraan warganya. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version