Mongabay.co.id

Marcellus Adi Riyanto: Dedikasi Dokter Hewan untuk Badak Sumatera

 

 

Kamera jebak dipasang untuk memantau beberapa ekor badak sumatera tersisa di dunia, sebagaimana yang ada di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Sumatera. Pengelola satwa liar cenderung fokus terhadap badak betina di pusat penangkaran di Kalimantan Timur, dan berharap dia dapat membantu memastikan masa depan spesies terancam punah ini.

Seperti banyak upaya untuk melindungi badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis] di Indonesia, program-program ini bisa terlaksana karena Marcellus Adi Riyanto, ahli konservasi dan dokter hewan Indonesia yang meninggal pada 27 April 2020 di Kalimantan.

“Kontribusi Marcel untuk penelitian dan konservasi badak sumatera sangat besar,” kata Den Danang Wibowo, staf di Aliansi Lestari Rimba Terpadu [AleRT], koalisi konservasi berorientasi masyarakat yang didirikan Marcellus. “Informasi tentang badak sumatera yang telah diterima oleh kita sampai saat ini adalah salah satu mahakarya dia.”

Marcellus berada di barisan depan penelitian veteriner dan reproduksi spesies ini di penangkaran di Indonesia. Sebagai mahasiswa kedokteran hewan di Institut Pertanian Bogor, Marcellus terpesona badak saat meneliti untuk tesisnya di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Dia lulus tahun 1983 dan memenuhi panggilan hatinya untuk bergabung dengan Yayasan Mitra Rhino, organisasi pertama negara yang didedikasikan untuk satwa ini.

 

Marcellus Adi Riyanto yang mendidikasikan hidupnya untuk kelestarian badak sumatera. Foto: Dok. ALeRT

 

Marcellus datang sebagai dokter hewan di Sumatran Rhino Sanctuary [SRS], Way Kambas, akhir 90-an, menurut International Rhino Foundation- Indonesia koordinator, Sectionov, yang merupakan kolega Marcellus satu dekade. Sementara menjabat sebagai dokter hewan, Marcellus mendukung inisiatif konservasi satwa liar berbasis masyarakat. Pada tahun 2000, Marcellus menjadi manajer pertama di fasilitas penangkaran itu. Dia melakukan survei taman badak, dan menyajikan serangkaian perbincangan mengenai konservasi.

Dia mengkatalisasi pengetahuan Indonesia tentang spesies tersebut, tidak hanya melalui studinya sendiri tetapi juga dengan memberdayakan siswa yang berkunjung untuk menambah pengetahuan mereka, tentang makanan, perilaku dan topik tambahan lainnya, kata Sectionov.

“Beliau seorang pekerja keras, sangat mencintai badak, hal itu juga yang menginspirasi saya,” kata Sectionov, sembari mengingat koleksi besar T-shirt badak, mainan, dan pernak-pernik badak milik Marcellus.

“Pada saat itu, tidak banyak dokter hewan ingin menghabiskan hidup di hutan untuk satwa liar. Sebagian besar bekerja dengan hewan peliharaan. Marcel coba mengubah paradigma dengan konservasi badak. Saat ini, banyak dokter hewan bekerja dengan satwa liar di Indonesia. Marcel memberi contoh baik untuk generasi muda dokter hewan.”

 

Marcellus bersama staf ALeRT di Way Kambas. Marcellus meninggalkan pekerjaanya di SRS pada 2009, kemudian mendirikan organisasi sendiri, Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), yang dengan organisasi tersebut, ia terus bekerja di Way Kambas. Foto: Dok. ALeRT

 

Pada 2009, Marcellus meninggalkan posisinya di SRS dan kemudian mendirikan ALeRT. Sebagai presiden dan manajer program hibah utang-untuk-alam untuk Way Kambas, ia mengawasi pemulihan hutan dan pemantauan badak di taman nasional.

“Marcel sabar, suka membantu, terbuka dan memberikan banyak masukan untuk timnya,” kata Wibowo, seraya menambahkan bahwa bosnya mengajarinya pentingnya optimisme dan melayani orang lain. “Dia adalah sosok ayah bagi kami.”

Karena kepemimpinannya di SRS, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan WWF Indonesia meminta Marcellus merencanakan tempat penagkaran lain di Kalimantan Timur, setelah adanya penemuan kembali badak Sumatera 2016 di sana.

Dia mengarahkan pengawasan penyakit dan lebih banyak lagi untuk badak di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Di sana, ia bekerja sama dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, WWF, sekolah dan entitas lainnya, hingga penyelesaian suaka 500 hektar, di mana pemerintah bermaksud membiakkan badak liar yang telah ditangkap. ALeRT mengambil alih pengelolaannya dari WWF tahun lalu.

“Saya melihatnya sebagai orang yang memiliki tekad,” kata Claire Oelrichs, pendiri dan presiden Lembaga Penyelamatan Spesies Langka Indonesia, yang bermitra dengan Marcellus selama bertahun dalam berbagai proyek di Way Kambas. “Dia mendirikan ALeRT dari sekelompok orang lokal yang berkumpul di sebuah restoran sampai menjadi sebuah organisasi yang diminta Indonesia untuk menjalankan proyek penangkaran badak.”

 

Marcellus melintasi sungai di Way Kambas. Pegiat konservasi Indonesia berduka, kehilangan seorang pejuang badak Sumatera yang efektif dan inovatif. Foto: Dok. ALeRT

 

Dalam beberapa bulan terakhir, Marcellus membantu Penyelamatan badak sumatera -upaya global terkoordinasi untuk menyelamatkan spesies dari kepunahan – dengan merencanakan SRS baru di Aceh Timur, Aceh, di ujung utara Sumatera. Juga, aplikasi pengenalan wajah berbasis artificial intelligence untuk penghitungan yang lebih baik, pelacakan, menentukan jenis kelamin dan menilai reproduksi badak, termasuk mengumpulkan foto-foto hewan melalui pemakaian perangkat lunak, berlanjut hari ini. “Usaha-usaha itu untuk menghormati perjuangannya,” kata Wibowo.

Marcellus jatuh sakit dan meninggal lima hari setelah ulang tahunnya yang ke-55. “Penyebab kematian tidak jelas; ia dites negatif untuk COVID-19,” kata temannya Dicky Tri Sutanto, seorang anggota staf Way Kambas sejak 2005. Dicky mengatakan, terlepas dari prestasi signifikan Marcellus, ia selalu tetap membumi. “Sampai hari terakhir … dia masih orang yang sama,” kata Dicky.

Oelrichs mengingat, “Dedikasinya terhadap badak sumatera seumur hidupnya. Dia rendah hati, namun juga banyak bekerja di dunia internasional. Dia adalah orang yang ceria, periang, sangat disukai dan lebih kreatif dibandingkan kebanyakan ilmuwan. ”

Tetapi apa yang membuatnya sebagai seorang konservasionis luar biasa, kata rekan-rekannya, adalah fokusnya yang ekstrim.

“Saya berani bertaruh dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan badak ketimbang istrinya,” kata Sectionov. “Sampai dia meninggal, dia secara konsisten bekerja untuk badak sumatera.”

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Marcellus Adi Riyanto: The Indonesian vet who lived for the Sumatran rhino. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version