Mongabay.co.id

Sengketa dengan Perusahaan Sawit, Thawaf Aly Vonis Bebas

 

 

 

Thawaf Aly terlihat bahagia, duduk di bawah pohon nan rindang di depan PN Tanjung Jabung Timur, pada 16 Juni lalu. Hari itu, majelis hakim memvonis bebas Thawaf setelah terjerat hukum atas laporan perusahaan perkebunan sawit, PT. Erasakti Wira Forestama (EWF). Dia terjerat UU Perkebunan Pasal 55 huruf a Jo Pasal 107, dengan tuduhan menguasai dan mengerjakan tanah perkebunan tanpa izin.

Thawaf terjerat hukum karena mendampingi masyarakat Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Tanjung Jabung Timur, Jambi, yang berkonflik dengan perusahaan. Setelah menjalani 16 kali persidangan sejak Februari 2020, Thawaf bisa tersenyum lega.

“Kami senang sekali dengan putusan hakim hari ini. Kebebasan saya, akan jadi semangat baru untuk memperjuangkan kebenaran. Semangat juga buat teman-teman lain yang dikriminalisasi oleh perusahaan yang lain,” kata Thawaf dalam pertemuan daring, hari itu.

Baca juga: Kasus Sitorus,Cermin Karut Marut Tata Kelola Sawit di Riau

Sengketa lahan masyarakat Desa Merbau, Kecamatan Mendahara terjadi sejak 2006. Berawal dari izin PT Sawit Mas Perkasa (SMP) sebagai mitra mitra petani perkebunan plasma sawit berdasarkan keputusan No. 389/2006. SMP mengklaim membeli tanah masyarakat seluas 406 hektar dan menjual kepada PT. Indonusa Agromulia pada 2012.

“Ini sudah dibentuk Tim IX yang menyelesaikan sengketa tanah itu. Masyarakat menang atas ini. Indonusa menjual lagi perusahaan ke PT Kurnia Tunggal yang berganti nama menjadi EWF. Ada 47 orang yang tidak menjual lahan mereka seluas 72 hektar,” katanya.

Thawaf terjerat hukum karena membela hak 46 warga.

Mandah, warga Desa Merbau yang tidak menjual lahan ke perusahaan mendirikan pondok di lahan itu. Thawaf dan warga menyurati Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tanjung Jabung Timur, agar tidak menerbitkan sertifikat hak guna usaha (HGU) kepada EWF sebelum ada penyelesaian konflik.

BPN Tanjabtim memediasi pihak bersengketa pada Juli-Agustus 2018. Sayangnya, Tim Mediasi BPN tidak menemukan titik temu dan menyarankan para pihak menempuh jalur hukum. Hingga pada 20 Agustus 2019, perusahaan melaporkan Thawaf.

“Sertifikat HGU EWF diterbitkan BPN Tanjatim pada 30 Juli 2018, padahal 9 Mei 2018, kami telah menyurati BPN Tanjung Jabung Timur untuk tak menerbitkan sertifikat HGU EWF. Sampai Agustus 2018 proses mediasi antara masyarakat dan perusahaan difasilitasi BPN Tanjatim, berlangsung.”

Yudi Kurnia, kuasa hukum Organisasi Bantuan Hukum Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, kasus Thawaf hanya korban pengalihan isu terhadap pelanggaran perusahaan dalam mendapatkan HGU.

Baca juga: Panen Sawit di Lahan Sengketa, Soaduon Sitorus Terjerat Pasal Pencurian

“Di dalam dakwaan pasal primer 39 UU Perkebunan dan 167 KUHP, ini kan terlihat mengada-ngada, Pasal 167 itu kan pekarangan, lahan siapa yang merupakan pekarangan?”

Perusahaan sawit ini ada di tiga kabupaten, yaitu, Batanghari, Muarajambi dan Tanjung Jabung Timur. Berdasarkan data KPA Jambi di berbagai tempat itu, EWF bersengketa lahan dengan petani.

 

Warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Tanjung Jabung Timur, Jambi, yang bersengketa lahan dengan perusahaan sawit. Foto: KPA

 

Konflik di Jambi

Jambi menempati urutan lima teratas atas konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dalam masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), kurun waktu tiga bulan setidaknya ada tiga konflik lahan terjadi di Jambi, yakni, PT WKS dan masyarakat Desa Lubuk Madrasa , Tebo, dan PT LAJ (Sinar Mas Group) pada Junawal Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI Tebo ditangkap di rumah orang tuanya saat silaturahmi Idul Fitri di Simpang Niam, 25 Mei lalu.

Sarwadi Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Jambi mengecam penangkapan itu. Dia bilang, penangkapan Junawal sebagai akumulasi emosional dari LAJ.

“Junawal dikriminalisasi karena dituduh terlibat dalam kasus pembakaran lima alat berat milik LAJ pada 14 Mei 2019. Junawal hanya membela perampasan tanah, penggusuran kebun dan kampung.”

Kurun lima tahun terakhir, 2015-2019, KPA mencatat, sedikitnya ada 1.298 kriminalisasi pejuang agraria saat berkonflik dengan perusahaan swasta dan negara. Situasi ini, jadi bahan evaluasi agar penanganan konflik agraria ke depan menghentikan pelibatan aparat militer. Pelibatan aparat, sering berujung kekerasan terhadap petani.

Selama lima tahun terakhir, KPA mencatat institusi yang terlibat dalam kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi kasus agraria ini, yakni, polri, TNI dan perusahaan.

Roni Septiawan, dari KPA mengatakan, kriminalisasi kepada masyarakat tidak akan menyelesaikan konflik bahkan makin memanas.

”BPN dan DPR perlu mengecek seluruh izin perusahaan. Ada 16,3 juta hektar perkebunan sawit di seluruh Indonesia. Yang berkonflik harus dicabut izinnya. Setelah dicabut ini diberikan kepada warga yang membutuhkan tanah untuk hidup.”

 

Keterangan foto utama: Thawaf Aly, dan tim kuasa hukum. Foto: KPA

Exit mobile version