Mongabay.co.id

Tanam Mangrove Gunakan Anyaman Daun Lontar, Solusi Pengganti Polybag Plastik

 

Mulyadi duduk berjongkok, dengan cekatan ia memasukkan bibit mangrove ke dalam sebuah wadah yang terbuat anyaman daun lontar berukuran sekitar 5×10 cm. Warga setempat menyebutnya leko’tala, biasanya digunakan untuk wadah bahan makanan, oleh Mulyadi dijadikan sebagai ‘polybag organik’ untuk menanam mangrove.

Tak lama kemudian, bibit-bibit yang telah ditanam dalam leko’tala tersebut ditanam satu persatu di hamparan pesisir pantai. Butuh waktu beberapa menit menggali dengan linggis dan tangan, sebelum akhirnya bibit mangrove tersebut tertanam dengan kuat.

Sore itu, Selasa (9/6/2020), Mulyadi bersama belasan warga Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, bergotong royong menanam mangrove.

“Kalau di sekitar Puntondo ini memang biasanya kami menanam tanpa melepas polybag-nya supaya bibitnya lebih kuat tertanam. Selama ini kami gunakan polybag berbahan plastik, cuma sekarang diganti dengan wadah dari daun lontar ini,” katanya.

baca : Berkolaborasi Selamatkan Mangrove di Sulawesi

 

Sebagai pengganti plastik, menanam mangrove bisa menggunakan ‘polybag organik’ yang terbuat dari anyaman daun lontar. Solusi mengurangi limbah plastik di pesisir dan laut akibat aktivitas penanaman mangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dari 3.000 bibit yang direncanakan, hanya sekitar 1.000 bibit yang ditanam hari itu karena keterbatasan waktu dan tenaga. Kegiatan ini adalah bagian dari kerjasama WWF-Indonesia dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo Takalar.

Mulyadi memperkirakan wadah itu bisa bertahan hingga 8 bulan, waktu yang cukup bagi bibit mangrove untuk tertanam kuat, hingga akar mangrove mengoyak wadah dan tertanam lebih kuat.

“Mangrove itu 4 bulan sudah kuat tertanam, jadi kami perkirakan di usia 8 bulan itu mangrove-nya sudah tertanam bagus, wadah itu nantinya akan terkoyak dengan sendirinya,” jelasnya.

Menurut Idham Malik, perwakilan WWF-Indonesia di Sulawesi Selatan, penggunaan leko’tala sebagai wadah tanam mangrove ini adalah upaya WWF-Indonesia bekerjasama dengan warga Puntondo dalam rangka mengurangi polusi plastik di pesisir dan laut.

“Selama ini kan kebanyakan wadahnya menggunakan plastik yang justru menimbulkan masalah baru, yaitu limbah plastik. Kalau kita menanam hingga ribuan mangrove, bisa dibayangkan berapa banyak limbah plastik yang dihasilkannya,” ungkapnya.

Ide penggunaan wadah organik pengganti plastik ini sebenarnya bukan hal baru. Di beberapa daerah di Jawa ada yang menggunakan wadah berbahan serat bambu.

“Kami di WWF sudah sering melakukan penanaman, tetapi kan masih menggunakan polybag dari bahan plastik. Lahirlah ide menggunakan bahan organik. Suatu hari saya berdiskusi dengan Pak Mulyadi tentang hal ini, bahan apa kira-kira yang bisa digunakan, yang mudah diperoleh di Puntondo. Diusulkanlah leko’tala ini, yang bahannya banyak ditemukan di sini, baik itu di kebun ataupun di pinggir jalan,” jelas Idham.

baca juga : Tanam Mangrove demi Keanekaragaman Hayati di Desa Bulu Cindea

 

Wadah leko’tala ini bisa bertahan hingga 8 bulan, waktu yang cukup bagi bibit mangrove untuk tertanam kuat, hingga akar mangrove mengoyak wadah dan tertanam lebih kuat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Selain menggunakan wadah leko’tala ini, mereka juga menggunakan anyaman serat bambu sebanyak 1500 buah sebagai pembanding. Hanya saja anyaman serat bambu ini harus didatangkan dari Bulukumba dan Galesong Takalar.

“Dengan adanya wadah alternatif ini sebagai polybag yang berbahan non plastik kami berharap bisa menjadi inspirasi bagi para penggiat mangrove agar menggunakan wadah ramah lingkungan untuk pembibitan mangrove,” tambah Idham.

Tidak hanya ramah lingkungan, penggunaan polybag organik ini juga bisa memberi manfaat ekonomi, karena diproduksi oleh warga setempat. Sebuah leko’tala sendiri dijual dengan harga Rp2000. Dalam sehari setiap orang bisa mengerjakan hingga 50 buah.

“Bahan bakunya tak terbatas, yang terbatas hanya orang yang. Bisa mengerjakannya, yang sebagian perempuan yang berusia uzur,” kata Mulyadi.

 

Penanaman dan Pembibitan

Menurut Idham, upaya penanaman mangrove tersebut adalah rangkaian dari sejumlah kerjasama WWF-Indonesia dengan PPLH Puntondo. Kerjasama yang merupakan upaya konservasi berbasis masyarakat di wilayah pesisir ini telah dimulai sejak tahun 2018 silam.

Awalnya, PPLH Puntondu membantu dalam hal penyediaan 10.000 bibit untuk penanaman mangrove di Pallameang dan Tasiwalie, Kabupaten Pinrang pada Juni-Juli 2018. Saat itu, PPLH Puntondo membantu menyediakan bibit mangrove dengan harga murah, yakni Rp800/bibit.

“Saat itu kami terkendala dalam penyediaan bibit mangrove, sementara program rehabilitasi harus segera dimulai. Sebelumnya, kami mengandalkan pembibit mangrove daerah Suppa, Pinrang. Namun jumlah bibit yang tersedia tidak banyak dan harga lumayan tinggi.”

PPLH Puntondo kemudian membantu menyediakan sekitar 10.000 bibit mangrove jenis Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata.

“Pada 19 Maret 2018, saya berkunjung ke sana untuk memastikan tumbuhnya bibit mangrove. Kata Pak Mulyadi, bahwa bibit tersebut dapat ditanam pada Juni 2018. Sehingga, kami mengagendakan penanaman besar dengan melibatkan sekitar 100 pemuda pada bulan Juni tersebut,” jelas Idham.

perlu dibaca : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi

 

Pertumbuhan mangrove yang telah ditanam di Puntondo menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Survival Rate (SR) atau tingkat kelulushidupan bibit mangrove antara 60 – 70 persen. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sukses dengan kegiatan tersebut, WWF Indonesia kembali memesan lagi bibit mangrove jenis Rhizophora stylosa sebanyak 5.000 bibit untuk kegiatan konservasi mangrove di wilayah Suppa pada November 2018. Kegiatan tersebut melibatkan komunitas pemuda dari Garda Mangrove.

Di Puntondo sendiri, penanaman mangrove baru dilakukan pada 30 Juni 2019, dengan penanaman 2000 bibit mangrove, melibatkan Aquaculture Celebes Community (ACC) dan Garda Mangrove Pinrang-Pare.

Berikutnya, penanaman kembali dilakukan pada 14 Juli 2019, sebanyak 3000 bibit mangrove. Penanaman terus berlangsung pada 2019, yaitu pada 20 Oktober 2019, dengan penanaman 2500 bibit, pada 8 Desember 2019, dilanjutkan lagi penanaman 10.000 bibit mangrove.

Pada 2020, dilakukan penanaman mangrove pada 12 Februari 2020 sebanyak 5000 bibit mangrove, serta pada 2 Maret 2020, dilakukan penanaman 1000 bibit mangrove, hingga pada 9 Juni 2020 dilakukan penanaman 3000 bibit mangrove.

“Secara keseluruhan, bibit mangrove yang telah ditanam sebanyak 26.500 bibit, dengan jenis bibit Rhizophora stylosa,” kata Idham.

Idham mengakui pertumbuhan mangrove yang telah ditanam di Puntondo menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Survival Rate (SR) atau tingkat kelulushidupan bibit mangrove antara 60-70%. Pada satu lokasi penanaman mangrove, yaitu 10.000 mangrove, tingkat SR-nya hingga 80%.

“Pertumbuhan dan kelulushidupan yang baik ini dipengaruhi oleh kondisi perairan yang tenang, karena Puntondo merupakan kawasan teluk, sehingga tidak terdapat musim ombak yang dapat menghantam mangrove,” tambahnya.

Di samping itu, kondisi bibit mangrove masih dalam keadaan prima, sebab lokasi pembibitan berada tidak jauh dari lokasi penanaman mangrove.

“Dalam keadaan seperti itu, kondisi substrat antara lokasi pembibitan dan penanaman tidak berbeda, sehingga tidak terdapat kesulitan bagi bibit mangrove dalam melakukan adaptasi untuk tumbuh.”

baca : Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana

 

Aksi penanaman mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019) oleh puluhan mahasiswa dari Aquaculture Celebes Community (ACC), dan pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Pembibitan Ceriops dan Api-Api

Selain penanaman mangrove, WWF-Indonesia juga menginisiasi kerjasama dengan PPLH Puntondo untuk pembibitan mangrove jenis Ceriops dan Api-Api (Avicennia, SP). Pembibitan ini untuk mendorong kegiatan konservasi untuk jenis bibit selain Rhizophora (bakau), yang merupakan tumbuhan dominan pada setiap kegiatan penanaman mangrove.

“Harapannya, pembibitan jenis Ceriops dan Avicennia ini dapat berkontribusi dalam menyediakan stok bibit selain Rhizophora, sehingga menjadi tren baru dalam kegiatan penanaman mangrove ke depan,” jelas Idham.

Mereka juga akan mendorong kegiatan pembinaan kepada pemuda-pemuda desa. Pembinaan dalam bentuk memberi motivasi untuk terlibat dalam kegiatan konservasi, serta pelibatan pemuda-pemuda desa dalam kegiatan konservasi pesisir.

 

 

Exit mobile version