Mongabay.co.id

Antara Corona dan Pandemi Influenza 1918 di Nusantara

Pekuburan Lemo, di Toraja. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, masih belum mengalami penurunan walau sudah mulai gaung hidup normal baru (new normal). Orang yang positif Corona masih tinggi.

Data resmi pemerintah, sampai 23 Juni 2020, positif Corona di Indonesia mencapai 47.896 orang, terjadi kenaikan dari hari sebelumnya sebesar 1.051 orang. Penderita sembuh ada kenaikan 506 orang, jadi 19.241 orang, dan meninggal dunia tambah 35 orang jadi 2.535 orang.

Pandemi seperti ini bukan kali pertama melanda nusantara ini. Sekitar 102 tahun lalu, negeri ini pernah dihantam pandemi influenza. Wabah itu dikenal dengan nama flu Spanyol (Influenza Ordonnantie). Serupa dengan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), flu ini diperkirakan berawal dari Tiongkok, dan membunuh paling banyak orang di Spanyol.

Awal 1918, flu ini melanda Eropa. Dengan cepat pada April 1918, dilaporkan ada di Singapura. Pada Juli 1918, pemerintah Hindia Belanda (kini Indonesia) di Batavia (Jakarta) melaporkan kejadian flu. Lalu pada November wilayah Banjarmasin juga melaporkan kasus serupa. Dan pada Desember Banyuwangi dan Surabaya ikut melaporkan serangan wabah itu.

Mengutip buku “Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda,” ketika flu ini menyerang akhir 1918, Karesidenan Surabaya bahkan membuat pernyataan pers dan menyampaikan kalau 1,5 juta orang telah tewas. Meski angka itu tak tepat, diperkirakan ada ratusan meregang nyawa karena wabah misterius itu.

Pada 1919, pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan mengenai upaya penanganan influenza. Salah satunya, mengenai peraturan karantina, direksi Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) memprotes. Hampir setahun, aturan itu kemudian disahkan akhir 1920. Berlaku pada 1 Januari 1921.

Peraturan mengenai penanganan flu ini dilaksanakan dengan cepat, karena peristiwa penting dari Makassar. Kepala Dinas Kesehatan melaporkan wabah flu itu menjangkiti masyarakat pada Oktober 1920, dan membunuh 112 orang. Wabah ini dengan cepat menyebar ke Distrik Kolono dan membunuh 101 orang.

Petugas kesehatan di Buton, menyampaikan, kalau penyakit ini pertama kali melanda daerah barat dan selatan Kendari dan diduga dari Rumbiya.

Di Toraja, wilayah pedalaman di Sulawesi Selatan, jaraknya sekitar 400 kilometer dari Makassar, dikabarkan pula kalau flu itu sudah menyerang beberapa warga. Dilaporkan sekitar 300 orang (10%) dari 3.000 penduduk Toraja, meninggal.

Pandemi flu ini membuat banyak rumah sakit kesulitan. Dari fasilitas hingga ketersediaan kamar. Historia mengutip Koloniaal Weekblad tahun 1919, menyatakan, kalau para dokter di Makassar bahkan harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien.

Historia juga mengutip, data lain dari Handelingen van Volksraad tahun 1918, pada November mencatat keganasan flu ini.

Dibandingkan dengan kematian kolera yang merenggut 9.956 orang, cacar 909 orang, dan pes 773 orang, jauh lebih kecil dibanding korban flu Spanyol di bulan sama mencapai 402.163 orang meninggal.

 

 

Kepanikan muncul hampir sama dengan keadaan saat ini, ketika berbagai negara-negara di dunia terkena wabah Corona. Ketidaktahuan, dan penanganan lamban, serta keterbatasan fasilitas maupun pengetahuan tenaga medis jadi wabah terus meluas.

Prayitno Wibowo, dkk, dalam “Yang Terlupakan Pandemi Ifluenza 1918 di Hindia Belanda,” menuliskan kalau obat-obatan yang tersedia masa itu hanya ada aspirin, pulvis doveri, dan aimphora. Obat-obatan ini dicetak ratusan ribu pil dan dibagikan ke masyarakat.

“Di samping obat-obatan medis, di Rembang, misal, di kalangan masyarakat beredar ramuan obat-obatan yang terbuat dari unsur-unsur tanaman. Temulawak salah satunya. Ramuan ini merupakan sarana untuk mencegah orang kedinginan dan memulihkan semangat fisik pasien flu. “Ini membuktikan, kedinginan dan tubuh lemah salah satu gejala influenza yang ditunjukkan setiap penderitanya,” tulis Prayitno dkk.

Di Toraja, keganasan flu ini dikenal masyarakat dengan istilah ra’ba biang. Sebuah ungkapan seperti melihat rumput tumbang ketika sudah disabet parang. Ra’ba biang, jadi kisah yang acapkali dituturkan para orang tua saat berkumpul bersama keluarga.

“Kalau mendengar itu, sepertinya mengerikan sekali. Kakek saya, meninggal 1971, dia cerita tentang itu pada saya,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Saya juga menelpon Palimmi (71). Dia penganut Kristen yang menganut tatacara hidup kepercayaan leluhur (aluk todolo). Dalam beberapa hajatan dia juga jadi seorang Tominaa (sebagai pelaksana ritual dalam Aluk Todolo).

“Dari cerita orang tua, itu waktu wabah ada juga dilakukan ritual, minta pengampunan pada dewata,” katanya.

“Belakangan, waktu besar-besar, cerita lain lagi muncul. Kalau waktu itu, wabah itu karena ada pesawat perang yang Amerika waktu lawan Jepang itu, menyebarkan racun. Itu sampai di Toraja,” katanya, seraya meragukan cerita itu.

Dia bilang, kematian orang di Toraja karena wabah itu sangat banyak. “Bapak saya, masih menete’ ke ibunya. Nenek saya itu, katanya sakit demam, terus satu hari saja langsung meninggal,” katanya.

Banyaknya kematian di Toraja membuat orang sampai saat ini acap kali bertanya. “Kalau ada yang meninggal, tidak ada upacara kematian lagi. Dibungkus saja, diletakkan dekat liang, terus ditinggal. Maka ada beberapa terngkorak tersebar di beberapa goa, tanpa peti, berserakan.”

Setelah flu Spanyol 1918, muncul virus SARS tahun 2002 dan flu burung pada 2005. Empat tahun kemudian, pada 2009 muncul flu babi yang jadi pandemi global.

Pada 2012, ada Middle East Respiratory Syndroe Coronavirus (MERS-CoV). Penghujung 2019, ada COVID-19. “Pandemi influenza itu sendiri tidak pernah benar-benar menghilang karena ternyata muncul pandemi yang baru menggantikan pandemi sebelumnya,” tulis Prayitno Wibowo, dkk.

 

Keterangan foto utama: Pekuburan Lemo, di Toraja. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version