Mongabay.co.id

Pahit Petani Kala Tengkulak Kuasai Niaga Kemenyan

 

 

 

 

Kemenyan banyak tumbuh di berbagai kabupaten di Sumatera Utara. Orang Batak pun banyak menekuni bertani kemenyan ini. Sayangnya, usaha potensial mendongkrak ekonomi warga sekaligus hutan terjaga ini menghadapi beragam kendala. Petani kemenyan terseok-seok.

Para petani sebagian besar masyarakat adat ini bertani kemenyan sekaligus mempertahankan warisan leluhur, dan menjaga keragaman hayati. Sisi lain, peninggalan leluhur yang tak ternilai ini, harus berhadapan dengan pemodal besar, yang menanami lahan dengan tanaman monokultur, menghancurkan kawasan hutan yang di dalamnya ada kemenyan.

Sejak dulu kala, kemenyan untuk ritual adat, pembuatan lipstik dan parfum pewangi serta sebagai obat-obatan.

Masyarakat di sekitar kawasan hutan, betul-betul menjaga agar tak ada perusakan hutan, kalau itu terjadi sama saja mengganggu kualitas getah kemenyan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut 2010, kategori perkebunan kemenyan rakyat, luas 33.916,85 hektar, dengan produksi 4.730,38 ton. Dengan rincian, tanaman kemenyan belum menghasilkan 1.119,20 hektar, menghasilkan 19.457,95 hektar, dan tidak menghasilkan 2.339,70 hektar.

Untuk 2011, luas tanaman kemenyan di Sumut 23.017,42 hektar, dengan total produksi 2011 seberat 4.978, 48 ton. Rinciannya, tanaman belum menghasilkan 1.277, 60 hektar,

menghasilkan 20.101 85 hektar, tidak menghasilkan 1.637,97 hektar. Pada 2017, luas tanaman kemenyan 22.912,13 hektar, dengan produksi 6.177,036 ton.

Adapun sebaran kemenyan di beberapa kabupaten dan kota, seperti, Humbahas, Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, dan Simalungun dan banyak lagi.

 

 

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, saat ini mereka berupaya mengembangkan ekonomi masyarakat adat melalui usaha kemenyan agar nilai tambah meningkat.

Dia contohkan, selama ini masyarakat adat hanya menjual getah ke penampung (tengkulak). Jadi, dirancang agar petani mengolah sendiri jadi bahan setengah jadi, untuk kirim ke pembeli utama yang bakal jadi bahan dasar kosmetik dan obat-obatan.

Mereka sedang berusaha mencari pasar atau bertemu langsung dengan pembeli utama, tanpa perantara. Dengan begitu, bisa memotong selisih harga tengkulak.

Kalau bisa mempertemukan antara petani kemenyan dengan pembeli utama, baik itu pabrikan atau siapapun pembeli akhir akan memutus rantai tata niaga.

“Itu sangat membantu sekali agar perputaran ekonomi petani kemenyan terus meningkat. Dengan sendirinya usaha-usaha masyarakat untuk melindungi hutan makin terjaga. Jika hutan baik, kemenyan pun akan baik pula dan mampu menghasilkan getah kualitas super,” katanya.

Roganda bilang, satu kemenyan perlu minimal 10 pohon alam untuk menghindari kerusakan getah yang bisa menurunkan nilai jual. Kalau bisnis kemenyan ini makin meningkat, sedikit banyak akan memancing kelompok-kelompok petani lain, beralih bertani kemenyan.

Kelompok-kelompok petani lain yang selama ini meminjamkan tanah mereka dengan sistem pinjam pakai ke perusahaan agrokultur, katanya, akan mengambil kembali lahan mereka, dan menanami dengan kemenyan.

Daerah persebaran hutan kemenyan, sekaligus aktif bertani terdapat di Humbang Hasundutan (Humbahas), terutama di Kecamatan Pollung, Parlilitan, Dolok Sanggul, dan Sijamapolang.

 

Kemenyan di Pandumaan Sipituhuta. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Di Tapanuli Utara juga memiliki hutan kemenyan cukup luas, seperti di Kecamatan Parmonangan, Sahae, dan Sipahutar. Untuk Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), ada di Kecamatan Borbor. Jadi, katanya, lintas kabupaten di Danau Toba itu hutan kemenyan sampai ke Pakpak Barat. Bisa terbilang, katanya, sebaran tidak terputus.

“Justru yang di kesalkan sikap pemerintah daerah yang selama ini tidak mendukung pengembangan kemenyan,” kata Roganda.

Dia bilang, pemerintah daerah yang memiliki sebaran hutan kemenyan malah mau mengganti komoditi unggulan dari pertanian kemenyan ke pertanian lain. Kondisi ini, katanya, terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tak pro masyarakat adat, terutama petani kemenyan.

Kalau pemerintah daerah serius meningkatkan pendapatan asli daerah, katanya, justru sangat menguntungkan.

Dari perhitungan valuasi AMAN Tano Batak, pendapatan langsung daerah dan pendapatan tidak langsung, mencapai ratusan miliar rupiah. Dengan perincian, perhitungan pendapatan petani kemenyan per keluarga, rata-rata Rp3 juta per bulan, dengan kondisi hutan kemenyan masih bagus jauh dari monokultur.

“Jadi, hitung-hitungannya kenapa bisa mendapatkan ratusan miliar rupiah dari bisnis kemenyan ini, yaitu paling sedikit ada 100 keluarga bertani kemenyan, dikali Rp3 juta pendapatan per bulan perkampung, dikalikan ribuan kampung di seluruh kecamatan dan kabupaten di wilayah sekitar Danau Toba.”

Kalau terkelola baik, pendapatan asli daerah akan makin meningkat, mulai dari pajak penampung besar atau tengkulak, hingga transaksi ekonomi petani kemenyan itu sendiri.

Hutan adat di sekitar Danau Toba memiliki ekonomi tinggi, dan secara ritus dari hutan kemenyan, masih berlangsung sampai sekarang.

Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya, harus mempercepat realisasi penetapan hutan adat di sekitar Danau Toba, agar warga atau petani bisa tenang hidup dan mengelola hutan termasuk kemenyan mereka.

 

Pohon kemenyan di antara pepohonan alam yang lain. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa investor dari Amerika dan Eropa, katanya, sudah pernah datang ke kawasan Danau Toba, dan melihat hutan kemenyan. Sayangnya, menjual ke pembeli utama dengan mengekspor melalui pelabuhan, bukan pekerjaan mudah, banyak aturan menyulitkan petani.

Belum lagi, katanya, para tengkulak, sudah menguasai pasar puluhan tahun. Mereka memutus ruang gerak petani kemenyan untuk menjual produk ke pembeli utama. Kondisi ini, jadi permasalahan kebanyakan petani kemenyan saat ini.

Menurut Roganda, beberapa tahun lalu, ada warga Singapura datang ke Tapanuli Utara dan bertanya langsung ke petani harga perkilogram getah kemenyan. Petani menjawab, Rp200.000 per kg. Warga asing itu terkejut karena di Singapura membeli Rp2 juta per kg.

“Kalau rantai pemasaran yang selama ini dimonopoli tengkulak bisa dipotong, akan makin sejahtera petani kemenyan. Otomatis pendapatan kabupaten meningkat dong,” katanya.

Luasan hutan kemenyan di Danau Toba, sekitar 200.000 hektar. Di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, ada 6.000 hektar hutan kemenyan, belum lagi desa di Pollung, Parlilitan dengan luasan hutan kemenya lebih besar. Paling sedikit, katanya, 200.000 hektar kemenyan di kawasan Danau Toba jadi usaha petani kemenyan hingga kini.

Harga per kilogram getah kemenyan kualitas bagus Rp300 .000, getah kemenyan bukan unggulan Rp100.000-Rp200 .000 per kilogram. Panen raya bagi petani kemenyan setahun sekali antara Desember, Januari atau Februari, dengan periode antara dua hingga tiga bulan panen raya.

Meski panen raya lewat, tetapi setiap dua minggu sekali mereka bisa panen dari getah kemenyan.

Untuk pemasaran getah, selama ini petani hanya berhubungan dengan tengkulak di kampung dengan harga jual Rp300.000.

Tengkulak kampung menjual ke penampung lebih besar di kabupaten, dan tengkulak kabupaten bisa mengirim ke Semarang, atau dari Medan ke Semarang. Sebaliknya, dari Medan ke Jakarta, ekspor ke berbagai negara mulai dari Singapura, Amerika Serikat dan negara eropa lain.

Roganda menyatakan, dengan begitu bagus prospek bisnis kemenyan ini, akan sangat menguntungkan kalau banyak investor masuk di sektor ini. Kalau berjalan lancar, bukan tidak tak mungkin, petani kemenyan bisa menjual langsung ke pembeli utama tanpa melalui tengkulak.

Dengan begitu, katanya, mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Secara otomatis, pendapatan asli daerah di kabupaten, kecamatan dan desa juga akan meningkat.

AMAN Tano Batak pernah berdebat dengan Dinas Kehutanan, yang masih punya pandangan hutan kemenyan tertata dan hutan kemenyan tidak tertata. Kalau melihat data Dinas Kehutanan Sumatera Utara, hutan kemenyan di Tapanuli hanya ribuan hektar, karena mereka terjebak istilah hutan kemenyan tertata dan hutan kemenyan tak tertata.

Bagi masyarakat adat atau petani kemenyan, tidak mengenal istilah itu. Bagi mereka, hutan kemenyan merupakan pohon yang aktif dikelola sampai sekarang.

“Jadi, tidak ada ada istilah hutan tanaman tertata atau tidak tertata. Bagi pemerintah, hutan kemenyan di Tapanuli hanya ribuan hektar. Itu sering dibantah AMAN Tano Batak, ” kata Roganda.

Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati mengatakan, membangun ekonomi sekarang ini harus betul-betul bagi kepentingan generasi mendatang, bukan kepentingan jangka pendek. Jadi, katanya, harus ada niat baik dari otoritas membangun ekonomi jangka panjang.

 

Getah kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Soal isu konservasi dan masyarakat adat Sumut, konservasi tak bisa berlangsung tanpa ada aspek-aspek penguatan ekonomi pada komunitas dengan ekonomi masyarakat berbasis konservasi.

Riki mengatakan, mempertemukan investor dengan pihak-pihak yang memerlukan investasi tidak gampang. Salah satu syarat investasi, katanya, orang harus yakin bisnis ini bisa berlangsung baik, karena investasi bukan hibah.

Meski begitu, katanya, ada beberapa investor membuka diri untuk investasi seperti bisnis masyarakat adat seperti kemenyan ini.

“Jadi jika ditanya apakah ada investor akan melirik bisnis masyarakat adat seperti petani kemenyan ini? Jawabannya, ada, namun untuk mendapatkan tidak gampang, karena belum semua pihak memiliki kemampuan investasi.”

 

Usul perusahaan daerah

Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan, mengatakan, secara ekonomi bisnis petani kemenyan ini dianggap sangat menguntungkan. Untuk meningkatkan ekonomi petani kemenyan dan pendapatan asli daerah Humbang Hasundutan, katanya, pemda antara lain mengusulkan perusahaan daerah untuk membantu ekonomi petani kemenyan.

Kalau selama ini mereka bergerak sendiri dengan pasar dikuasai tengkulak, ke depan bisa terbantu hingga petani bisa memperbaiki taraf ekonomi.

Perputaran bisnis kemenyan di Humbang Hasundutan pertahun, katanya, bisa Rp200 miliar. Angka ini sangat fantastis, hingga harus dikembangkan secara serius melalui pembentukan perusahaan daerah.

Dosmar mengatakan, sejalan dengan perancangan perusahaan daerah yang menangani bisnis kemenyan ini, selanjutna mereka lakukanakan mendata petani , pohon kemenyan dan berapa banyak keluarga yang fokus bisnis kemenyan.

“Ini tengah pendataan. Saat ini, kita mendukung peningkatan ekonomi para petani kemenyan di Humbang Hasundutan, Salah satu bentuk dan bukti adalah penyusunan peraturan daerah, bagaimana konsep pembentukan perusahaan daerah ini,” kata Dosmar.

 

Keterangan foto utama: Sebelum disadap, pohon kemenyan dibersihkan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version