Mongabay.co.id

LBH: Omnibus Law Perparah Kerusakan di Laut dan Pesisir

 

Rencana pemerintah memberlakukan Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law, khususnya di sektor kelautan dan pesisir, dikhawatirkan akan semakin memperparah krisis lingkungan hidup dan menjauhkan masyarakat dari ruang kelolanya.

Dalam diskusi daring yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, pada Rabu (10/6/2020) terungkap sejumlah persoalan yang akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan, Lampung dan Jawa Tengah.

Menurut Edy Kurniawan, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, kehadiran UU Cipta Kerja ini secara akumulatif dapat dilihat sebagai upaya pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir.

“Dalam RUU ini terdapat upaya liberalisasi pengelolaan tata ruang laut dan pemanfaatan sumber daya pesisir kelautan dan perikanan. Indikatornya seperti upaya pengaburan definisi nelayan kecil,” katanya.

Menurutnya pendefinisian nelayan kecil di dalam RUU cipta kerja ini yang tidak memiliki kriteria yang jelas. Jika dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam definisinya jelas, yaitu nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal di bawah 10 GT, maka di RUU Cipta Kerja definisi nelayan tanpa dijelaskan kriteria ukuran kapal.

Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting karena terkait perlakuan khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari pemerintah. Mereka juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan.

“Dengan adanya pengaburan izin nelayan kecil maka nelayan besar juga bisa menikmati subsidi atau perlakuan khusus tersebut,” ujar Edy.

baca : Penyederhanaan Peraturan Pengelolaan Laut dalam Omnibus Law, Salah Kaprah?

 

Ilustrasi. Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar, Sulawesi Selatan. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Edy juga menyoroti penyederhanaan izin dan kewajiban setiap nelayan untuk mengurus izin, di mana setiap orang yang akan mengakses sumber daya kelautan wajib mengantongi izin berusaha.

“Frasa izin berusaha memberi kesan laut semata-mata sebagai lahan ekonomi tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya dan religius yang telah berkembang secara turun temurun di masyarakat pesisir.”

Di berbagai daerah pesisir, lanjut Edy, masyarakat memiliki perlakuan tersendiri terhadap lingkungan laut dan pesisir melalui ritual-ritual. Misalnya, di Pulau Lae-lae Makassar terdapat ritual tolak bala yang diselenggarakan tiap bulan. Di pesisir Mariso Makassar, setiap malam Jumat nelayan memiliki tradisi memberi penghormatan terhadap kuburan ikan paus di tanah timbun dengan keyakinan bahwa ikan paus itu sebagai penyelamat mereka ketika mencari nafkah di lautan.

“Di Sulsel, 90 persen nelayan merupakan nelayan tradisional yang telah hidup secara turun temurun di wilayah pesisir yang berdampingan dengan laut dan wilayah pesisir, melakukan penangkapan ikan dengan alat tradisional atau alat seadanya, yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan adanya frasa perizinan ini tentu selain melanggar hak ekonomi juga melanggar hak-hak sosial dan budaya masyarakat.”

Edy juga melihat keberadaan omnibus law ini juga menjadi legitimasi ketimpangan alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam hal ini, RUU ini dinilai memperkuat posisi rencana zonasi yang telah ada di Perda Sulsel No.2/2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), yang sangat timpang secara alokasi ruang, karena nelayan lokal tidak tampil sebagai aktor utama dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Indikatornya, adanya upaya integrasi ruang laut darat udara dan perut bumi ke dalam UU penataan ruang seperti dijelaskan dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja ini.

“Konsekuensinya adalah omnibus law ini mencoba memisahkan antara norma laut yang perlu dijaga dan diperhatikan, karena dalam penetapan Perda Zonasi punya kajian-kajian spesifik, misalnya bagaimana melindungi mangrove, lamun karena dan biota laut lainnya.”

baca juga : Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Ilustrasi. Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Suma Indra, aktivis LBH Lampung, memiliki kekhawatiran yang sama terhadap muatan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam kaitannya dengan ruang partisipasi dan kritis masyarakat.

“Dengan adanya omnibus law ini perjuangan yang dilakukan masyarakat melawan usaha-usaha korporasi mengeruk sumber daya alam akan mendapatkan kendala yang sangat besar,” katanya.

Di Lampung sendiri saat ini terdapat sejumlah kasus terkait ruang kelola laut dan pesisir. Paling menonjol adalah kasus penambangan pasir yang dilakukan oleh PT. Sejati 555 yang berujung pada pembakaran kapal yang dilakukan oleh warga yang menolak aktivitas perusahaan tersebut.

“Hari ini sudah ada tersangka kemudian 15 masyarakat dipanggil Polda. Dengan situasi sekarang saja masih sulit dilakukan apalagi kemudian memunculkan omnibus law dengan beberapa kriteria misalnya terkait masalah Amdal, di mana beberapa usaha dikecualikan atau hanya dengan pernyataan terhadap pengurusan lingkungan hidup. Ini akan memperburuk kondisi kawan-kawan nelayan khususnya terhadap pengelolaan wilayah pesisir,” kata Suma.

Pemberian akses yang sama terhadap nelayan besar sama dengan nelayan-nelayan kecil juga dinilai hanya akan memunculkan konflik baru di masyarakat.

“Selain itu, dengan adanya omnibus law ini, tren pemerintah terhadap investasi yang semakin besar itu justru mempertegas bahwa upaya-upaya masyarakat nelayan melawan kejahatan lingkungan akan menjadi sangat sulit dilakukan, karena memang seolah-olah frame negara hari ini dibenturkan dengan model investasi, sedangkan hak-hak nelayan tidak diakomodir oleh negara,” katanya.

perlu dibaca : Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Ilustrasi. Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Nico Wauran, aktivis LBH Semarang, menyoroti berbagai pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah provinsi dan sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Salah satu dampak yang telah dirasakan selama ini adalah pencemaran laut akibat banyaknya pabrik-pabrik dibangun di wilayah pesisir. Dalam hal ini laut dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah.

“Ketika pesisir ini semakin banyak industri maka akan semakin parah kondisinya, karena semakin banyak kegiatan-kegiatan yang menyasar di wilayah laut, industri, infrastruktur, pariwisata. Ketika UU ini disahkan, laut dan pesisir akan semakin rusak, pencemaan dan tak adanya ikan serta penggusuran pesisir semakin nyata.”

Ia juga menyoroti tak adanya definisi yang jelas terhadap nelayan kecil sehingga berpotensi menimbulkan konflik.

“Nelayan kecil yang hanya bisa mengakses hingga 2 mil akan terganggu dengan kehadiran nelayan-nelayan besar, apalagi dengan tidak adanya pengawasan, ini akan semakin sering terjadi nantinya dengan adanya omnibus law ini. Belum lagi ketika suatu lokasi ditetapkan sebagai kawasan industri atau kawasan PLTU atau pariwisata, masyarakat akan semakin terbatasi.”

Selain itu, nelayan dan masyarakat akan semakin terdampak karena dalam omnibus law ini tidak ada ruang partisipasi dan pengawasan. Termasuk penyederhanaan perizinan, proses izin berusaha, dan Amdal yang hanya diperuntukkan untuk usaha risiko tinggi.

“Padahal Amdal adalah ruang partisipasi masyarakat di mana kasus-kasus selama ini sudah ada kasus yang meski memiliki Amdal namun tetap terjadi konflik. Misalnya proyek normalisasi Banjir Kanal Timur di Tambakrejo (Semarang), meski Amdalnya ada namun ternyata masih ada masyarakat yang tergusur dan hidup terlunta-lunta, dan harus tinggal di hunian sementara ukuran 2×3 m.”

Begitu juga dengan pembangunan PLTU di wilayah pesisir yang meski memiliki Amdal namun masih berdampak bagi masyarakat.

“Ketika ini diserahkan melalui RUU Cipta Kerja, maka partisipasi masyarakat semakin terkurangi. Selain itu, perizinan ditarik ke pusat, semakin sulit nelayan tinggal di daerah mengakses perizinan, ataupun mencoba berpartisipasi menyuarakan pendapat akan semakin sulit dengan ditariknya kewenangan daerah,” ujarnya.

baca juga : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Ilustrasi. Taufik (40 tahun), warga Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang utara, Jateng, pada Maret 2018, harus menahan dingin ketika berdoa di salah satu makam kerabatnya di pemakaman setempat yang terendam banjir rob. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Momentum Strategis Perikanan Tangkap

Sebelumnya, Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan bahwa saat ini perikanan tangkap Indonesia berada pada momentum sangat strategis, yang secara ekonomi dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha. Sehingga membutuhkan investasi yang serius dan upaya pengembangan potensi ekonomi yang luar biasa.

“Dengan kondisi negara yang sangat butuh seperti sekarang ini, harusnya bisa didorong sebagai kerangka strategis untuk berkembang ke depan. Namun kita juga tak ingin ini bablas, makanya instrumen-instrumen pendataan harus dikawal bersama,” katanya.

Meski demikian, ia menyadari adanya kekhawatiran berbagai pihak terkait dampak Omnibus Law ini. Misalnya terkait perizinan yang nantinya seluruhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.

“Ini menjadi salah satu concern kami, karena memang diperlukan kontrol mencegah terjadinya salah kelola dalam tata kelola kelautan dan perikanan.”

Menurutnya, meski segala bentuk perizinan ditarik ke pemerintah pusat namun kerangka yang menuju ke instrumen-instrumen tersebut masih berada di KKP. Tantangannya kemudian, bagaimana sistem perizinan tersebut terhubung secara otomatis dengan data-data yang ada, sehingga tidak menghambat dari segi proses.

“Dengan simplifikasi perizinan, semula ada SIUP, SIPI, SIKPI kemudian menjadi untuk satu instrumen saja, kita perlu memastikan kepatuhan terhadap perundang-undangan ini semakin intensif.”

 

Exit mobile version