Mongabay.co.id

Bakal Ada Pusat Konservasi Anoa di Bumi Anoa

Foto: Kamarudin

 

 

 

 

Anoa, begitu nama satwa endemik Sulawesi ini. Sejak 2007, baik anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) maupun anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) masuk satwa terancam punah (endangered).

Sulawesi Tenggara, salah satu kantong anoa. Provinsi ini pun dikenal dengan sebutan Bumi Anoa. Sayangnya, hidup satwa ini terancam karena berbagai penyebab, dari habitat aterus tergerus, sampai perburuan.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara, berupaya cari cara melindungi satwa ini. Mereka pun berencana membangun lokasi konservasi anoa. Lokasi konservasi anoa ini seperti wahana wisata dan kebun binatang, terletak di hutan konservasi.

La Ode Kaida, Kepala Seksi Konervasi Wilayah BKSDA Sultra, mengatakan, ancaman kepunahan anoa terdorong karena beberapa faktor, seperti kerusakan habitat maupun anoa jadi satwa buruan. Anoa juga seringkali jadi satwa peliharaan.

Anoa peliharaan masyarakat tidak jarang ditemukan dalam kondisi sangat memprihatinkan dan tidak sesuai prinsip-prinsip kesejahteraan satwa.

“Seperti kandang terlalu kecil, pakan tidak sesuai kebutuhan, kurang nutrisi hingga satwa rentan terserang penyakit, tidak jarang menyebabkan kematian,” katanya.

Melihat permasalahan itu, pembangunan pusat konservasi anoa sangat mendesak di Sultra. Pusat konservasi itu, katanya, jadi sebagai suatu unit manajemen spesies untuk kepentingan konservasi dan kesejahteraan hidupan liar yang memiliki banyak fungsi.

“Antara lain, tempat penyelamatan, rehabilitasi, dan pengembangbiakan guna peningkatan populasi dan pengawetan jenis hidupan liar,” kata La Ode.

Konservasi anoa ini bakal berpusat di Konawe Selatan mengingat bagian tenggara dan Pulau Buton merupakan sub populasi tersendiri di Sulawesi.

 

Dokter hewan sudah melakukan langkah medis dengan membersihkan kotoran di area luka anoa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pembangunan Pusat Konservasi Anoa oleh BKSDA Sultar ini, katanya, bentuk dukungan bagi capaian IKK Konservasi Genetik– peningkatan populasi satwa prioritas yang terancam punah.

Menurut La Ode, dengan ada pusat konservasi anoa, populasi bisa meningkat. Selain itu, sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat akan terus diberikan hingga penurunan perburuan dan perdagangan liar.

Deforestasi atau kerusakan hutan di Sultra, terjadi antara lain karena bisnis ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan.

La Ode tidak menyangkal bisnis ekstraktif berkontribusi terhadap ancaman kepunahan anoa di Sultra. Tidak jarang, katanya, tambang maupun perkebunan masuk dalam kawasan hutan yang jadi pusat kehidupan anoa.

Banyak laporan anoa ditemukan dalam pertambangan. Sayangnya, berakhir dengan penangkapan dan dikonsumsi para pekerja. Untuk itu, katanya, perlu edukasi kepada para pemilik usaha.

“Ke depan bagaimana kami dengan dinas terkait bisa berkoordinasi guna edukasi para pelaku usaha.”

Saharudin, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, bisnis ekstraktif memperluas bukaan hutan. Pertambangan, misal, sebagai ancaman nyata habitat anoa.

“Anoa memiliki daya jelajah luas. Deforestasi jadi ancaman serius.”

Walhi Sultra, katanya, merekomendasikan kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, pertama mengkaji ulang rencana pembangunan tak berkelanjutan yang menghancurkan ruang hidup satwa endemik Sulawesi itu. “Segera pemulihan kawasan hutan.” Selain itu, pembukaan hutan dengan cara membakar tidak jarang terjadi juga mengancam keberadaan anoa.

 

Salah satu satwa endemik di kawasan ini adalah anoa atau kerap disebut sapi liar. Intensitas perburuan satwa langka ini makin meningkat karena dianggap hama dan untuk konsumsi. Kepala anoa biasa dibuat pajangan di rumah. Foto: Kompat

 

Edukasi anak

Saya duduk di pelataran taman kota, di Kantor Walikota Kendari, dari kejauhan mobil patroli BKSDA Sultra, melintas. Di dalam bak mobil patroli ada anak anoa berumur satu tahun. Belakangan diberi nama Erin. Anoa betina selama beberapa hari menjalani perawatan di penangkaran sementara BKSDA Sultra. Erin korban perburuan.

Menurut La Ode, perlu terus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tak memburu anoa. Dia bilang, edukasi ke masyarakat penting juga dilakukan sejak dini, sejak usia sekolah dasar.

“Kita ini punya lambang wilayah dari kepala anoa. Nama Sultra ini dikenal sebagai Bumi Anoa, tetap secara tidak sadar, yang kita banggakan akan punah.” katanya.

Dengan ada pusat konservasi, katanya, anak-anak secara terbuka akan mengenal anoa. BKSDA akan berkoordinasi dengan pemerintah agar anak-anak usia dini dapat diajarkan soal menjaga dan melindungi anoa.

“Jadi, di pusat konservasi itu bisa kita bawa anak-anak sekolah, kita kenalkan dan kita ajarkan. Jadi pikiran menjaga dan melindungi anoa, dapat tertanam dalam pikiran mereka, pulang di rumah juga dapat dijelaskan kepada orang tua masing-masing. Kemudian peran media juga penting sekali.”

La Ode berpikir, kampanye menjaga dan melindungi anoa penting masuk dalam kurikulum belajar baik SD, SMP dan SMA. Begitu pula kampus-kampus di Sultra perlu ada pusat studi anoa. Apalagi, proses pengambilan data dan penelitian tidak sulit lagi kalau sudah ada pusat konservasi anoa itu.

Senada dengan La Ode, peneliti anoa di Sultra, juga menginginkan konservasi anoa. Popalayah, peneliti satwa perempuan asal Kabupaten Kolaka ini, mengatakan, anoa sebagai satwa endemik tergolong langka dan terancam punah.

Dalam kondisi sekarang, habitat anoa sudah terdesak berbagai kebutuhan lahan seiring dengan pembangunan dan perkembangan wilayah, seperti perkembangan desa di kawasan hutan juga perburuan dan lain-lain.

Guna penyelematan anoa endemik Sulawesi, katanya, saat ini sudah terbentuk sekitar 23 kawasan konservasi terdiri dari yujuh kawasan di Sulawesi Utara, enam Sulawesi Tengah, dua kawasan di Sulawesi Selatan dan delapan di Sultra.

Meskipun begitu, katanya, guna memaksimumkan peran konservasi sebagai kawasan pelestarian keragaman sumberdaya hayati, perlu dilengkapi dengan fasilitas memadai, misal, lokasi pengintaian dan peralataan pendugaan populasi, senjata bius untuk pengambilan sample atau sejenisnya atau keperluan analisis laboratorium.

“Juga peralatan penangkaran pada area tertentu di dalam kawasan konservasi,” tulis Popalayah, dalam naskah presentasi berjudul “Habitat dan Status Populasi Anoa.”

 

Anoa dataran rendah. Foto: akun Facebook Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Selain itu, katanya, perlu penyiapan sumber daya manusia profesional untuk mengelola kawasan perlindungan anoa, termasuk pembinaan kepada masyarakat agar peduli dan memilki rasa tanggung jawab penuh mempertahankan anoa.

Penegakan hukum pun harus berjalan bagi pelanggar. “Penerapan hukum harus diberlakukan, tanpa memperhatikan latar belakang atau predikat pelaku, termasuk aparat penegak hukum dan petugas pada kawasan lindung itu sendiri,” katanya.

Pengamatan tingkah laku dan reproduksi anoa juga mesti dilakukan. Pengamatan ini, katanya, sedapat mungkin terdokumentasi baik seperti foto maupun rekaman video. Data tingkah laku itu, katanya, bisa untuk mempelajari teknologi budidaya anoa. Koleksi dan analisa sampel darah, rambut atau bagian tumbuh anoa lain untuk keperluan analisis genetik dan biologis. Kalau memungkinkan pengamatan pertumbuhan anoa yang hidup liar.

“Saya pikir penting konservasi anoa berbentuk suatu tempat seperti laboratorium. Dalam kawasan konservasi dibuat semacam holding ground untuk kebutuhan satu pasang anoa ditambah anak-anaknya.”

Holding ground ini, katanya, sedapat mungkin ada jenis tanaman yang disukai anoa. Tempat ini, katanya, berfungsi memudahkan pengamatan tingkah laku dan laju pertumbuhan anoa. “Juga bagian dari upaya pengakaran anoa.”

 

Keterangan foto utama:  Anoa terluka setelah perawatan di Sultra. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version