Mongabay.co.id

Kala Subsidi ke Industri Biodiesel, Minim buat Petani Sawit

Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia dinilai memberikan perhatian dan kemudahan kepada taipan sawit, bukan petani kecil. Teranyar, pemerintah menggulirkan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) buat industri biodiesel (B30) melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) Rp2,78 triliun.

Keputusan pemerintah yang cenderung memanjakan para perusahaan sawit ini dianggap tidak adil oleh para petani sawit.

“Pemain di industri biodiesel itu rata-rata taipan sawit. Kalau dikalkulasikan uang yang mereka miliki itu 60% APBN kita,” kata Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam konferensi pers Persatuan Organisasi Petani Kelapa Sawit (Popsi) baru-baru ini.

Perusahaan yang memajukan industri biodiesel, katanya, adalah perusahaan-perusahaan besar sawit itu sendiri. Jadi, pasokan utama bahan baku biodiesel itu dari kabun mereka.

“Sekarang negara mau bantu mereka lagi, wong mereka orang kaya kok.”

Sejak 2015-2019, katanya, negara selalu subsidi para taipan sawit. Tidak tanggung-tanggung, 85% dana terkumpul lewat BPDPKS mencapai Rp38 triliun teralokasi untuk industri biodiesel.

Dia mencontohkan, perusahaan seperti Musim Mas memiliki pasokan sawit dari kebun mereka dan kebun lain. Ada juga PT Wilmar menguasai 2,3 juta kiloliter biodiesel, bahan baku mereka pun dari kebun dan kebun-kebun yang berafiliasi dengan Wilmar.

Dengan demikian, subsidi pemerintah kepada para pemain di industri biodiesel ini dipandang tidak lain untuk memperkaya para taipan.

Berdasarkan data Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia pada 2018 disebutkan kalau kekayaan 29 konglomerat bisnis sawit di Indonesia diperkirakan setara 67% APBN 2017.

 

Suratno Warsito, adalah petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat. Bersama anggota Koperasi Rimba Harapan, mereka berusaha benahi tata kelola kabun sawit. Foto: dokumen Suratno Warsito

 

Yang paling tidak adil di sini, katanya, ada andil para petani sawit dari sumber dana subsidi itu. Dengan kata lain, petani ikut memberikan andil membiayai para taipan dalam usaha B30 mereka.

“Pemerintah harus jeli melihat situasi dengan keadaan sekarang di mana harga minyak bumi jauh di bawah harga sawit, hingga subsidi B30 jauh lebih besar ketimbang penyaluran langsung ke petani sawit,” kata Tolen Kateren, Ketua Umum Sawit Masa Depanku (Samade).

Padahal, katanya, kontribusi petani kepada produk sawit dalam negeri tak kalah besar. Dari kebun, luasan petani 41% dari total kebun sawit di Indonesia dan 36% dari besaran produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia dihasilkan dari para petani.

“Sekarang ini, porsi B30 (dalam pendanaan BPDPKS) 80% dan yang lain seperti peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana, peningkatan sumber daya manusia petani dan riset hanya 20%, apakah ini adil?”

Kecemburuan para petani sawit dalam juga karena kenaikan pungutan CPO atau dana sawit US$5/ton jadi US$55/ton. Ia ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

“Pungutan ini banyak dinikmati industri biodiesel,” kata Sulaiman Andi Loeloe, Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dalam kesempatan sama.

Henry Marpaung, Sekretaris Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (JaPSBI) pun menilai hal sama. Seharusnya, dana BPDPKS buat petani langsung, mengingat petani juga memiliki kontribusi terhadap dana itu.

“Kontribusi rakyat itu harusnya kembali ke rakyat, kalau kontribusi 30%, ya 30% dari Rp2,87 triliun itu untuk rakyat,” katanya.

Petani, katanya, seharusnya jangan hanya jadi remah-remah atau pihak yang tidak dianggap dalam penganggaran BPDPKS.

“Kami pikir kami sudah diuntungkan dalam skema BPDPKS ini, ternyata belum.”

 

Kebun sawit skala besar milik perusahaan. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Seharusnya untuk petani kecil

Popsi menilai, seharusnya petani-petani kecil yang mendapatkan manfaat dari dana di BPDPKS. Apalagi, dampak pandemi COVID-19 turut memukul perekonomian para petani sawit.

Darto mendesak, dana BPDPKS diberikan langsung kepada petani melalui Kementerian Desa, terlebih di tengah krisis ini.

Saat ini, petani hanya mendapat bantuan langsung tunai (BLT) sebagai bentuk bantuan pemerintah untuk mengatasi krisis di tengah terpaan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

“BLT ini kan hanya tiga bulan, dampak COVID-19 mungkin sampai akhir tahun. Kalau BLT dikasih Maret, akan berakhir Juni, selanjutnya seperti apa? Apalagi sekarang harga TBS )tandan buah segar-red) sedang turun.”

Kondisi tambah berat kala pandemi, harga buah sawit level petani pun tak membaik. Di lapangan, harga TBS beragam, namun beberapa petani di Riau, hanya bisa menjual Rp700 ke tengkulak. Harga ini, katanya, jelas merugikan, karena petani hanya memiliki pendapatan Rp1.856.000 setahun.

“Itu tidak akan cukup untuk biaya hidup, kalau harga di bawah Rp1.000, jelas petani akan frustasi,” kata Darto.

Petani, katanya, biasa memupuk kebun mereka tiga kali dalam setahun atau 400 kg dalam sebulan. Rendahnya harga TBS membuat mereka mengurangi pengeluaran untuk pemupukan, hingga hanya sekali bahkan tidak sama sekali.

Sebagai tindak lanjut BPDPKS dan penggunaan dana untuk subsidi industri biodiesel, Popsi akan kirim surat ke Kementerian Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian dan BPDPKS.

“Kita akan kritik ini, sesuai UUD 1945 Pasal 33 dan UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan,” kata Gamal Nasir, pembina Popsi.

 

Beda pendapat

Polemik perihal penggunaan dana BPDPKS ini juga membuat petani silang pendapat. Hari sama acara Popsi, Apkasindo juga memberikan pernyataan.

Berbeda dengan Sulaiman, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mendukung keberlanjutan dan penggunaan dana ekspor sawit di bawah BPDPKS.

“Dana pungutan sangat bermanfaat untuk petani sawit. Saya ingin sampaikan, petani sawit justru mensyukuri manfaat dana pungutan ekspor,” kata Gulat.

Kalau ada pihak yang memberikan keterangan berbeda adalah bukti mereka bukanlah petani sawit hingga tidak merasakan manfaat dana BPDPKS. Dalam perhitungannya, pungutan ekspor justru berdampak pada harga TBS petani sawit.

Apkasindo menghitung, diskon yang diterima antara Rp90-Rp110 per kilogram TBS untuk setiap pungutan US$50 per ton CPO.

“Petani tidak keberatan sepanjang dana untuk membangun sektor sawit. Petani sawit sangat merasakan manfaatnya. BPDPKS adalah kemajuan bagi bangsa,” katanya.

 

Tata kelola buruk

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) secara khusus mengkaji kinerja BPDPKS. Publikasi ini menyebut, tata kelola BPDPKS yang buruk berimbas para petani sawit yang kurang sejahtera.

“Kurang ada transparansi pengelolaan dana. Klaim mereka yang menyatakan seolah-olah kehadiran mereka sejak awal sudah mengintervensi harga TBS nyatanya tidak terlihat. Belum terlihat kalau perusahaan itu beli TBS dari petani dengan harga tinggi,” ucap Marselinus Andri dari SPKS.

BPDPKS, katanya, makin memperkuat legitimasi dukungan negara terhadap para taipan sawit. Dalam kajian ini dikatakan BPDPKS melanggar prinsip good governance karena antara dewan pengawas dan komite pengarah diisi oleh orang-orang yang sama dan merupakan utusan industri biodiesel.

Sedangkan petani sawit yang seharusnya sebagai penerima manfaat tak pernah diajak berkonsultasi serius terkait upaya memperkuat perkebunan rakyat.

“Belum lagi dengan realisasi dukungan sarana dan prasarana di 2018 sangat rendah, hanya 0,8%,” kata Marselinus.

 

 

Keterangan foto utama: Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

Exit mobile version