Mongabay.co.id

Nasib Nelayan di Tengah Pembangunan Waterfront City Majene

Aktivitas nelayan di tengah pengerjaan tanggul di Cilallang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Suara angin terdengar menderu, sore itu. Ombak bergulung-gulung. Tampak laut akan pasang. Anak-anak bermain di sela kapal-kapal parkir di pinggir pantai. Dekat mereka, dua satu eksavator terus mengeruk dan mengangkut timbunan tanah. Mereka sedang reklamasi pantai. Nelayan lalu lalang di sekitar.

Saya berdiri di atas tanggul beton di Kampung Cilallang, Kecamatan Bangga, bagian dari pembangunan mega proyek Waterfront City (WFC) Majene, Sulawesi Barat, dua tahun terakhir. Sebagian besar sudah rampung.

Pada 7 Juni, Ridwan Tajuddin, warga Cilallang, terkena badai ketika pulang memancing. Petir menyambar kapal sampai moncongnya bolong. Bersyukur, mereka selamat berkat bantuan nelayan asal Lero.

Rumah Ridwan semi permanen. Usianya 32 tahun, punya dua anak. Di rumah itu, Ridwan tinggal bersama isteri dan keluarganya.

Depan rumah Ridwan, jalan selebar lima meter meliuk. Samping jalan itu ada daratan reklamasi ditanggul beton. Di belakang rumah, bentangan tebing menjulang. Di atas, berdiri rumah jabatan (rujab) Bupati Majene.

Ridwan salah satu orang dari kelompok nelayan yang menolak WFC dibangun di Cilallang. “Banyak menolak, tapi takut. Takut bicara. Takut diintimidasi,” katanya.

Warga juga takut, program bantuan diputus bila menolak.

Bagi Ridwan, tanggul itu membawa masalah. Tanggul menghalang bila kapal ingin perbaikan di darat. Mustahil mengecat dan merawat kapal di genangan air laut. Apalagi, mengangkat kapal seukuran bis itu.

Selain itu, ombak juga lebih kuat. “Anak-anak tidak bisa mi mandi di pinggir laut, karena banyak batu gajah (material pembangunan tanggul), banyak ditumbuhi tiram itu. Banyak terluka kakinya semenjak dikerja ini tanggul.”

Cilallang berbatasan dengan pantai. Rumah-rumah dibangun menghadap laut, agar pemilik gampang mengawasi kapal yang sandar di pantai.

Kampung ini adalah daratan baru. Pada 1990-an, warga menimbun pantai buat jadi lahan mukim.

Puluhan tahun, warga menyambung hidup di Cilallang, dari laut yang kaya. Hasil laut menjamin dapur mereka tetap berasap, anak bisa sekolah, dan perbaikan rumah berkala.

Di Cilalllang, jalanan jadi pekarangan dan arena bermain anak-anak. Di tepinya warga menggelar pasar ikan. Hingga malam, orang-orang tumpah ruah di jalan seakan tak mengenal istirahat.

 

Permukiman nelayan di Cilallang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Suasana itu bisa hilang kala WFC jadi. Jalanan itu akan sesak kendaraan. Anak-anak kehilangan arena bermain yang aman.

Pembangunan WFC Majene di lahan seluas 17,89 hektar, melintasi dua kecamatan, Banggae Timur dan Banggae. WFC akan jadi kompleks wisata berkonsep kota tepian usungan pemerintah kabupaten lewat tangan Fahmi Massiara, sang bupati.

Dalam pengerjaannya, WFC dibagi tiga segmen: pertama, di Pangaliali-Cilallang (luas 6,5 hektar dan panjang 1,5 km), kedua, di Labuang-Parappe (3,3 hektar dan panjang 2,3 km). Ketiga, di Lembang (Baurung) dan Pantai Dato (4,7 hektar dan panjang 1,3 km).

Sebagian tempat di segmen satu dan dua, ditambah ruas jalan yang kelak jadi jalan kabupaten.

Namun, menambah ruas jalan di tepi laut berarti menambah daratan. Maka 4.51 hektar pesisir, tempat terumbu karang dan lamun—dua biota penting—hidup, dan akses nelayan di Banggae Timur dan Banggae terreklamasi, sampingnya ditanggul. Di segmen tiga, Pantai Dato, cukup dipugar. Sarana wisata ditambah.

Pada segmen dua, di Kampung Parappe, ada penimbunan terumbu karang untuk jalan baru yang menyambungkan jalan provinsi. Saya menyusuri jalan itu. Sisinya menjulang tebing dengan bekas terkikis ombak. Lokasi ini dekat dengan laut dalam.

Pembangunan WFC bakal memperburuk lingkungan. Survei ASNP di segmen satu-dua, pada Agustus-September 2019 menemukan kalau padang lamun banyak tertimbun. Tepi laut mulai berlumpur sampai paha orang dewasa dan mengancam kelestarian terumbu karang maupun ikan-ikan karang.

Anehnya, data persebaran lamun dan ikan karang di dokumen analisis dampak lingkungan (andal) hanya di beberapa titik, tak lengkap. Menurut ASNP, data andal dengan kerusakan yang ditemukan di lapangan berbeda.

“Di andal harusnya menyebut,” kata Dicky Zulkarnain, tim riset ASNP. “Kami menganggap ini sebagai penguat mereka agar terlihat lokasi itu wajar untuk direklamasi.”

WFC bakal mengubah paras pesisir Kota Majene, jadi landas beton dan arena wisata. Ragam sarana dibangun. Ada anjungan (pusat WFC)— mesjid apung, museum, taman, tempat istirahat, hotel sampai kawasan wisata. WFC juga terintegrasi dengan program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

“Kalau jadi ini, cantik sekali. Itulah yang terakumulasi jadi WFC,” kata Fahmi.

 

Ridwan Tajuddin berdiri di atas kapalnya . Foto: Agus Mawan./ Mongabay Indonesia

 

***

Saya menemui Fahmi di Rujab, pada 10 Juni,. Bunyi dentuman sendok eksavator dari Cilallang merambat ke Rujab, begitu jelas terdengar.

Fahmi bilang, sekitar 125 km pesisir di Majene sudah terpetak-petak sesuai karakter. Ada kawasan manggrove, nelayan, juga buat wisata. WFC, dia bilang pas buat Majene yang sudah sesak.

“Terutama di bawah ini (Cilallang). Sudah sesak dengan permukiman, jalan juga sudah sempit, masyarakat juga tidak terkontrol interaksinya. Di situ kan, pertambahan penduduk meningkat. Dalam satu rumah bisa tiga keluarga, bisa konfliknya itu tiap hari.”

Penduduk di Banggae, mencapai 40.646 jiwa, dari 163.896 total di Majene pada 2015 dengan kepadatan 1616 jiwa perkm persegi.

Pada awal penyusunan konsep WFC Majene, dia berkonsultasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian menyambut, asal pengajuan tak memakai embel WFC. “Dia bilang, jangan pakai istilah itu, pakai protect.”

Mengapa proteksi? “Jadi kementerian itu menyetujui untuk proteksi kawasan dari abrasi, ombak besar, dan lain-lain. Jadi, memang dari udara, kita lihat di bawah itu, memang terancam,” kata Fahmi.

Setidaknya, ada tiga kata kunci mengapa WFC terbangun: wisata. penataan kota dan proteksi. Permukiman pesisir di Banggae dan Banggae Timur, memang rawan abrasi. Soal penataan kota, Fahmi mengidamkan pesisir Kota Majene serupa Parepare, di Sulawesi Selatan.

“Tapi kerjaannya juga lamban, karena anggarannya.”

WFC menyedot anggaran pendapatan dan belanja daerah maupun APBN miliaran rupiah. APBD untuk jalan dan sarana, sedang tanggul dari APBN.

Nelayan mulai cemas. Tanggul membuat ombak terpantul ke laut lebih besar, menghempas kapal nelayan yang parkir. Kapal mereka bisa hancur bertabrakkan dengan kapal lain.

Sekarang, nelayan Cilallang sandar kapal di pantai, dengan ikatan tali.

Fahmi biang, akan bangun kolam besar di Cilallang, depan tanggul. Kolam itu memiliki dinding beton selebar lima meterdan menjorok 100 meter ke laut dengan lebar 500 meter. ‘Kolam’ itu, Fahmi bilang bisa buat tambatan kapal.

Kini, tambatan belum ada, pengerjaan tanggul terus berlanjut. Selama pembangunan tanggul, Aliansi Selamatkan Nelayan dan Pesisir (ASNP) Sulbar menemukan dampak proyek di beberapa tempat.

Agustus 2019, kelompok penolak WFC pun bersimpul. Kantong-kantong perlawanan muncul. Nelayan bersama ASNP Sulbar turun jalan. Tuntutan mereka jelas: hentikan pembangunan WFC.

Pada 23 Agustus 2019, mereka berdemonstrasi di Kantor Bupati Majene dengan 10 tuntutan, termasuk pertanggungjawaban pemerintah atas kerugian nelayan sejak jalan dan tanggul dibangun. Kala itu, bupati dan wakil sedang keluar kota.

Demonstrasi itu pun berujung penyegelan lokasi reklamasi di Cilallang. Pengerjaan berhenti. Pemerintah merespon penyegelan dengan meminta polisi mengawasi mereka.

“Kita sudah sampaikan pada kepolisian tolong diawasilah, jangan menganggu program yang sudah direncanakan dengan matang oleh pemerintah,” kata Djazuli Muchtar, Asisten II Pemkab Majene, kepada Tribuntimur.

Penyegelan itu juga berbuah intimidasi. “Baik dari pengawas proyek bahkan kepala lingkungan (semacam kepala kampung-red) sendiri,” kata Muhlis Mustaman, Koordinator ASNP.

“Model intimidasinya menggertak.”

Oktober 2019, ASNP melaporkan dugaan maladministrasi proses pembangunan WFC ke Ombudsman Sulbar.

 

Tanggul WFC di Cilallang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Pada 17 Maret 2020, ada rapat para pihak. Lukman, Wakil Bupati Majene, hadir. Ombudsman memaparkan tiga temuan maladministrasi itu. Kala itu, Lukman berkilah kalau WFC bukan reklamasi, hanya penimbunan pembangunan tanggul.

Ombudsman mendapati Dinas Kelautan dan Perikanan Sulbar menyerahkan surat pengantar kesesuaian lokasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulbar (DPMPTSP), tanpa menyesuaikan titik koordinat.

Ombudsman juga meminta keterangan Balai Wilayah Sungai Palu terkait pembangunan tanggul laut.

Ombudsman menanyakan mengapa tim ahli Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sulbar yang menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) WFC, padahal memakai anggaran Pemkab Majene. Temuan inilah hingga kini kabur. Ombudsman masih menunggu jawaban DLHK Sulbar.

Sampai sekarang, belum ada perkembangan.

April 2020, ketika pandemi Virus Corona menyita perhatian, pembangunan WFC berlanjut. Bagi Fahmi, penolakan itu sepihak. “Bagaimana mau nolak-nolak. Coba lihat itu di Makassar, sudah mau habis pinggir pantai. Ini kan, kita mau lihat Kota Majene…, coba lihat tuh Pantai Losari, gimana?”

Bagaimana dengan kecemasan nelayan? “Tambah enak nanti,” kata Fahmi.

Menurut dia, pengetahuan awam nelayan membuat mereka gusar lalu menolak. “Baru saya sudah gambarkan, begini… begini…. Ah… baru dia tahu.”

Yusri M, Kordinator Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Sulawesi bilang, kalau nelayan menolak itu wajar. Karena nelayan memikirkan keamanan kapal kala parkir bukan pada tambatan kapal. Bila kapal rusak tentu petaka bagi mereka.

“WFC menurut kami, itu cuman satu aspek positifnya, indah saja. Selebihnya nggak ada.

 

 

***

Sejak moncong kapal pecah, Ridwan tak melaut. Kapal yang menemaninya sejak lima tahun tak lagi berguna. Bagian linggi rusak. Ridwan hanya sandarkan kapal itu di balik tanggul.

Hari itu, Ridwan tampak membongkar kapal. Dengan linggis, gergaji, dan palu, satu persatu badan kapal jadi beberapa potongan kayu. “Ini tunggu bantuan pemerintah, kalau tidak ada. Begitumi,” katanya.

Untuk sementara, Ridwan ikut kapal rekannya mencari uang.

Tiga km dari rumah Ridwan, di Parappe, saya bertemu nelayan Abdul Rifai. Dia dan nelayan Parappe tak kuasa menolak WFC. “Biar kita melarang, tapi kalau pemerintah mau?”

Di Parappe, nelayan menambatkan kapal di balik tanggul—yang belum ditimbun—berdekatan dengan laut dalam yang berombak ganas. Pemerintah janjikan bangun pemecah ombak.

“Bisa-bisa kita mati. Perahu juga rusak. Karena dalam. Kedalaman tiga meter airnya. Apalagi daerahnya di sini daerah ombak toh.”

Bagi ASNP, keliru bila WFC untuk memproteksi nelayan. WFC jelas bertujuan wisata dan merias kota dan membuka lapangan kerja itu bonus.

Celakanya, kata Muhlis, pemerintah kurang mempertimbangkan ruang hidup nelayan. Apalagi tanggul menghalang akses kerja mereka.

WFC, katanya, merugikan nelayan, hanya pengusaha akan meraup untung bila berkaca di beberapa daerah yang mengembangkan kota tepian.

Dia bilang, melindungi nelayan itu, antara lain, dengan menjunjung tinggi hak-hak nelayan, hak berpendapat dan menjamin asuransi.

“Perencana, pemrakarsa dan pemerintah, mungkin tidak tahu kalau nelayan bukan hanya profesi, juga warisan leluhur.”

 

 

Keterangan foto utama:  Aktivitas nelayan di tengah pengerjaan tanggul di Cilallang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version