Mongabay.co.id

Menjaga Prinsip Keberlanjutan dalam Pemanfaatan Lobster

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan aturan tata kelola budi daya lobster secara berkelanjutan agar pemanfaatan lobster diarahkan bisa dilakukan dengan mengadopsi prinsip berkelanjutan. Dengan tata kelola, diharapkan budi daya bisa berjalan seimbang antara produksi dan keberlanjutan.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, pengelolaan lobster harus dilakukan dengan hati-hati, karena Indonesia diketahui memiliki sumber daya lobster yang melimpah di hampir seluruh wilayah perairan laut.

“Itu berpotensi meraup nilai ekonomi besar melalui pengembangan budi daya yang berkelanjutan,” ungkapnya pekan lalu di Jakarta.

Pengaturan tata kelola lobster sendiri, diatur dalam Keputusan Dirjen Perikanan Budi daya No.178/2020 dan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah NKRI.

baca : Pusat Studi Maritim : Peraturan Baru Ungkap Kedok Pemerintah dalam Eksploitasi Lobster

 

Benih lobster. Foto : KKP

 

Menurut Slamet, pemberlakuan tata kelola pemanfaatan lobster memiliki tujuan agar pemanfaatan potensi sumber daya lobster yang dilaksanakan melalui kegiatan budi daya perikanan, bisa menjadi pemanfaatan yang terukur dan berkelanjutan.

Dia menjelaskan, ada dua tanggung jawab utama yang sedang diemban oleh masyarakat perikanan Indonesia saat ini, utamanya untuk pemanfaatan lobster. Pertama, adalah bagaimana memanfaatkan lobster untuk kepentingan ekonomi nasional dan juga masyarakat.

“Tapi, di sisi lain kita juga bertanggung jawab dalam menjamin sumber daya lobster tetap lestari. Dan aturan ini saya kira bagian dari upaya untuk mewujudkan dua hal ini. Ekonominya kita manfaatkan melalui budi daya, sumber dayanya kita tetap jaga dan lestarikan, yakni dengan restocking,” ucapnya.

Dalam aturan tata kelola yang sudah diterbitkan, terdapat empat substansi utama pengelolaan lobster. Yaitu ketentuan pendaftaran dan penetapan sebagai pembudidaya lobster, ketentuan mengenai persetujuan pembudidayaan lobster di luar wilayah sumber benih, dan ketentuan mengenai kewajiban pelepasliaran hasil pembudidayaan.

“Juga ketentuan mengenai pembudidayaan oleh eksportir benih lobster. Keempatnya sebagai bagian penting tata kelola pembudidayaan Lobster yang lebih terukur dan bertanggung jawab,” tuturnya.

baca juga : Pasca Revisi Aturan Ekspor, Puluhan Ribu Benih Lobster Selundupan Dilepas di Perairan Banyuwangi

 

Lobster hasil penangkapan di laut. Foto : KKP

 

Slamet mengatakan, agar tata kelola bisa berjalan seperti yang diharapkan, semua mekanisme yang diatur dalam ketentuan menjadi kewenangan yang ada di KKP. Dengan demikian, saat melaksanakan pengawasan dan pengendalian itu akan lebih mudah dilakukan.

Kebijakan tersebut diterapkan, karena Pemerintah Indonesia bertekad akan memanfaatkan dengan baik segala potensi yang ada dalam sumber daya lobster, dan di saat yang sama tidak ingin melupakan ancaman penurunan populasi akibat pemanfaatan yang masif.

“Lobster ini merupakan spesies yang spesifik, di mana kita belum mampu untuk memijahkannya. Sehingga pengaturannya harus lebih ketat,” tegasnya.

 

Pelibatan Masyarakat

Melalui tata kelola yang sudah diatur sekarang, semua pihak yang ingin memanfaatkan lobster melalui budi daya perikanan harus bisa mematuhi dan memenuhi mekanisme yang sudah ditetapkan. Dengan tata kelola, masyarakat lokal akan menjadi pihak yang paling banyak dilibatkan untuk kegiatan budi daya lobster di Tanah Air.

Menurut Slamet, masyarakat lokal harus bisa memanfaatkan dengan sangat baik kegiatan bisnis budi daya lobster, karena akan memberi banyak manfaat. Adapun, peran masyarakat tak cuma sebagai mitra saja, namun juga sebagai pekerja ataupun pihak yang berinvestasi untuk pengembangan budi daya lobster di Indonesia.

perlu dibaca : Momentum Tepat untuk Evaluasi Pemanfaatan Lobster 

 

Seekor lobster yang dibesarkan dalam kolam. Foto : KKP

 

Terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar menjelaskan, pemanfaatan benih lobster untuk sekarang harus dilakukan dengan mengacu pada Permen KP No.12/2020. Peraturan terbaru itu dinilai memiliki sudut pandang yang lebih luas dalam melihat potensi sumber daya ikan dibandingkan dengan peraturan sebelumnya.

“Peraturan ini mengajak kita untuk melihat potensi sumber daya ikan dari sisi keberlanjutan sumber daya itu sendiri dan kesejahteraan manusia. Menjaga dua hal tersebut adalah tujuan pengelolaan perikanan,” ujarnya.

Sebagai peraturan tertinggi di lingkup KKP, peraturan turunan untuk mengatur petunjuk teknis diterbitkan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap melalui Keputusan Dirjen PT No.48/KEP-DJPT/2020 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Benih Bening Lobster di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI).

Pedoman tersebut disusun untuk memastikan bening benih lobster (BBL) bisa dimanfaatkan dalam batas kemampuan lobster di kawasan tersebut beregenerasi dan memiliki ketertelusuran (traceability) yang baik.

Zulficar menambahkan, beberapa hal yang diatur dalam petunjuk teknis, di antaranya adalah penetapan kuota penangkapan BBL, penetapan nelayan penangkap dan wilayah penangkapannya, pendaftaran eksportir dan waktu pengeluarannya, pelaporan dan pendataan hasil tangkap BBL, serta penetapan harga patokan terendah BBL di tingkat nelayan.

Khusus kepada nelayan yang ingin menangkap BBL, dia mengingatkan bahwa mereka harus bisa memenuhi sejumlah kriteria yang sudah ditetapkan oleh KKP. Kriteria itu, mencakup alat penangkapan yang ramah lingkungan, menjadi anggota kelompok usaha BBL, dan mendapat surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.

“Semua harus terdaftar dan memberikan data hasil tangkapannya. Hasil tangkapan nelayan tersebut harus dibudidayakan dulu. Setelah dibudidayakan, maka sebagian harus dilepasliarkan untuk memastikan keberlanjutan stoknya di alam,” sebutnya.

baca juga : Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

 

Seorang nelayan di Malang selatan Jatim memperlihatkan seekor lobster hasil tangkapannya. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Prospek

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Trian Yunanda menambahkan, peraturan dan petunjuk teknis yang diterbitkan DJPT di dalamnya mengandung kaidah tentang penetapan usaha pelaku yang mencakup nelayan, pembudi daya, dan eksportir, serta alur produk dan pendataannya.

“Sasarannya agar pemanfaatan BBL bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan di saat yang sama sumber daya ikan bisa tetap lestari,” ujarnya.

Agar bisa dilaksanakan oleh semua pihak yang memanfaatkan lobster, sosialisasi terus dilakukan kepada semua pihak yang terlibat di Indonesia. Selain itu, ikut dilibatkan juga penyuluh perikanan yang menjadi barisan terdepan dan mitra terdekat dengan nelayan di Indonesia.

Pelibatan penyuluh perikanan dilakukan, karena Pemerintah Indonesia menyadari bahwa potensi lobster sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai prospek bisnis, dari sejak proses penangkapan di laut, budi daya, sampai ekspor ke negara tujuan.

Selama proses ini berjalan, Trian menekankan bahwa pelaporan dan pendataan BBL akan terus dilakukan. Sehingga, pemerintah memiliki data sejauh mana BBL ini telah dimanfaatkan oleh nelayan dengan baik ataupun sebaliknya.

“Untuk itulah kita gandeng pemerintah daerah. Sebab, BBL yang berada di perairan sekitar 1 sampai 2 mil dari pantai umumnya dimanfaatkan oleh nelayan skala kecil yang pembinaannya di bawah dinas perikanan kabupaten/kota,” jelas dia.

Trian menambahkan, agar pemanfaatan lobster bisa berjalan sesuai rencana, maka Pemerintah akan memastikan nelayan yang terdaftar adalah warga setempat yang sudah bekerja sebagai nelayan jauh sebelumnya. Selain itu, akan dilakukan pendataan produksi BBL yang sudah ditangkap nelayan atau yang dibesarkan oleh pembudi daya ikan.

Adapun, teknis penelusuran data pemanfataan lobster akan dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dengan mencantumkannya di dalam surat keterangan asal (SKA). Surat tersebut digunakan saat kantor karantina ikan di Bandara atau Pelabuhan melakukan pemerimsaan BBL yang akan diekspor.

“Dengan kerja sama yang baik, pemanfaatan sumber daya lobster akan dimanfaatkan sesuai kemampuannya beregenerasi sehingga tetap lestari, mendatangkan kemakmuran bagi nelayan skala kecil, dan terdata dengan baik,” pungkas dia.

 

Sebanyak 202 ribu lobster sitaan polisi dari Pekanbaru pada Agustus 2018. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kedok Eksploitasi 

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan pengesahan regulasi baru tentang pengelolaan lobster (Panulirus spp.) dinilai menjadi kedok yang sempurna bagi Pemerintah Indonesia untuk bisa mengeksploitasi jenis-jenis Lobster yang ada di perairan laut Indonesia secara besar-besaran. Kondisi itu akan memicu hancurnya usaha budi daya lobster di seluruh Nusantara.

Halim menjelaskan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia hanya akan menguntungkan segelintir kelompok usaha saja.

“Seolah-olah ingin menggerakkan usaha pembudi dayaan Lobster, padahal cuma kedok,” ucap dia mengomentari regulasi yang baru diterbitkan pada Senin, 4 Mei 2020 itu.

Kepada Mongabay, awal Mei  Abdul Halim menjelaskan bahwa penerbitan Permen tersebut akan berdampak signifikan kepada para pembudidaya lobster yang ada di seluruh Negeri. Di antaranya, pelaku usaha budi daya lobster akan kesulitan memperoleh benih Lobster yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.

Kemudian, harga Lobster yang sudah melalui proses pembesaran di dalam negeri juga akan anjlok karena diakibatkan terus meningkatnya permintaan Lobster dari Vietnam. Kondisi tersebut akan mengancam usaha Lobster milik pelaku usaha skala kecil gulung tikar.

“Itu akibat menduanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) yang menitikberatkan pada peningkatan PNBP (pendapatan Negara bukan pajak) perikanan ketimbang menyejahterakan pembudi daya dalam negeri secara masif,” jelas dia.

 

Exit mobile version