Mongabay.co.id

Menyoal Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak

 

 

 

 

Jalan tol sekaligus tanggul laut? Inilah jalan tol Semarang- Demak, Jawa Tengah,  dari panjang sekitar 27 km,  sebagian bakal terbangun di atas laut. Proyek strategis nasional (PSN) ini menelan investasi sampai lebih Rp15 triliun.

Proyek ini menuai kekhawatiran para pegiat lingkungan dan akademisi karena dianggap tak menyelesaikan banjir air laut pasang (rob) terutama di Kota Semarang dan Demak. Proyek justru membebani lahan dan berdampak buruk terhadap lingkungan.

Sejak awal Februari lalu proyek yang mengintegrasikan jalan tol dan tanggul laut itu pun mulai jalan. Pembangunan dibagi jadi dua seksi. Seksi I meliputi ruas Semarang-Sayung sepanjang 10,69 km. Seksi II ruas Sayung sampai Kota Demak sepanjang 16,31 km.

Pembangunan Seksi I belum jalan karena terkendala pembebasan lahan. Dalam pengerjaan ini akan ada jalan tol di atas laut, sekaligus sebagai tanggul yang menahan air laut masuk ke daratan. Seksi II mulai jalan dengan target selesai akhir 2021. Keseluruhan proyek bakal selesai 2024.

Sebanyak 21 lembaga dan perorangan yang bergabung dalam Koalisi Pesisir Semarang-Demak bersama-sama mengkaji proses, inisiatif, dan krisis sosial ekologis di wilayah itu. Terutama terkait amblesan tanah, banjir rob, dan abrasi pantai.

Pada Senin, 6 April lalu Koalisi Pesisir Semarang-Demak meluncurkan kertas posisi atas proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD), bertepatan dengan Hari Nelayan.

Hari itu dipilih karena nelayan, antara lain yang paling rentan terkena dampak proyek ini. Kertas posisi itu hasil penelitian sejak Agustus 2019-Februari 2020, kemudian dibukukan dengan judul “Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Semarang-Demak.”

“Kalimat Maleh dadi Segoro kami tangkap dari omongan seorang ibu di Bedono (Sayung, Demak-red) ketika mendeskripsikan kampungnya,” kata Bosman Batubara, mewakili koalisi menerangkan bagaimana judul penelitian itu bermula.

Bedono adalah desa di pantai utara Jawa Tengah yang mengalami erosi air laut paling parah. Perlahan-lahan sawah berubah jadi tambak, dan tenggelam berikut rumah warga.

Koalisi secara simultan melakukan kajian literatur tentang kawasan pesisir Semarang-Demak, ditambah Kendal. Secara khusus, juga membedah analisa dampak lingkungan (andal) proyek ini. Kemudian, adakan workshop, susur pantai, survei, dan review atas hasil penelitian.

“Susur pantai di dua target area, sebelah selatan dan utara kurva proyek. Dampak akan berbeda untuk desa di selatan seperti Morosari, Tonosari, Sriwulan dibanding di utara seperti Surodadi, Timbulsloko, Bedono, Sidogemah,” katanya.

Sepuluh orang meneliti secara etnografi. “Kami juga survei di Tambak Lorok,” kata Bosman. Bosman kandidat doktor Unesco-IHE Delft, Belanda.

Ada lima rukun warga (RW) di Tambak Lorok jadi lokasi penelitian. Mereka survei 44 responden, untuk melihat sejauh mana akses terhadap air, amblesan tanah, banjir rob, dan dampak yang mungkin diterima kalau proyek ini terbangun.

Berdasarkan peta, Desa Tambak Lorok di sebelah utara kurva. Koalisi mengerjakan survei bekerja sama dengan kelompok nelayan di sana. Nelayan yang disurvei adalah nelayan kecil dengan kapal di bawah 10 GT.

“Kami review. Selain personal review yang dilakukan pakar yang kami yakin sangat menguasai persoalan, juga mengadakan workshop khusus review itu.”

 

Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) –baju putih– dalam penandatanganan beberapa perjanjian kerja sama soal jalan tol Semarang-Demak, September 2019. Foto: KPUPR

 

 

Ketidakadilan ekologis

Peluncuran kertas posisi Koalisi Pesisir Semarang Demak atas proyek TTLSD itu menghadirkan beberapa narasumber sekaligus anggota koalisi, antara lain, Bosman Batubara, Mila Karmilah, Henny Warsilah, Hotmauli Sidabalok, dan Cornelius Gea. Launching yang bisa diikuti streaming melalui kanal LBH Semarang dan zoom itu juga diikuti sejumlah awak media.

Dalam paparan, Mila Karmilah, pengajar planologi Unissula Semarang menyampaikan secara geografis Kota Semarang terbagi jadi atas dan bawah. Mereka yang tinggal di bawah merasakan dampak ekologis paling berat terutama di wilayah pesisir.

Selain perubahan garis pantai, juga kenaikan permukaan laut, rob, banjir, penurunan muka tanah, drainase buruk, polusi air, akses air bersih yang sulit, hingga intrusi air laut yang besar.

Dalam Perda Nomor 6/2010 tentang RTRW provinsi tidak menyebutkan tanggul dan tol laut. Begitupun dalam RTRW nasional berdasar PP Nomor 26/2008. Pembahasan tanggul laut hanya termuat di RTRW Kota Semarang berdasar Perda Nomor 14/2011. Ketidakhadiran proyek itu dalam sejumlah peraturan pun menimbulkan tanda tanya.

“Bicara masalah pesisir tidak cukup hanya melihat rencana tata ruang darat juga RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil-red), sudah dikeluarkan oleh provinsi lewat Perda Nomor 13/2018. Namun, tanggul dan tol laut belum diintegrasikan ke sana.”

Mila berpandangan, kalau semua kerentanan digabungkan maka pesisir jadi lokasi yang mengalami masalah terparah karena kondisi alam buruk dan pembangunan tak ramah.

Dia mengingatkan, pembangunan tidak hanya terkait kesamaan perlakuan juga keadilan. Jadi, katanya, mereka dalam kelompok rentan seharusnya bisa mendapatkan keperluan mereka untuk memperbaiki kualitas hidup.

Hotmauli Sidabalok, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang menggaris bawahi problem keadilan lingkungan dalam proyek ini. Bicara keadilan lingkungan, katanya, bagaimana distribusi keuntungan dan risiko adil di antara para pihak yang terdampak lingkungan gara-gara kebijakan dan tindakan tertentu terhadap lingkungan.

“Siapa menerima keuntungan, siapa menerima risiko dalam proyek ini?” Nelayan tidak menggunakan jalan tol. Mereka memilih laut karena pendapatan mereka dari laut.”

Dia bilang, pembangunan proyek yang memerlukan tanah warga sekitar 539,7 hektar ini berpotensi menghilangkan mata pencaharian kelompok nelayan, petambak, rumah usaha olahan laut, sampai penjual hasil laut. Akses ke pantai pun, katanya, akan terbatas dengan ada tol tanggul laut.

“Mereka akan pindah dari lokasi lama, butuh beradaptasi dengan tempat baru, dan mencari mata pencaharian baru.”

Proyek ini melewati 24 kelurahan dan desa, meliputi delapan kecamatan, di Semarang dan Demak. Di sanalah, kelompok nelayan dan mereka yang menggantungkan pendapatan pada hasil laut tinggal.

Hotmauli bilang, kawasan di sekitar Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara juga Desa Kadilangu, Kecamatan Demak, merupakan daerah rawan miskin, sering kena rob, dan menghadapi persoalan kesehatan.

“Di bagian sebelah utara Semarang, warga terus menerus harus menyisihkan pendapatan untuk meninggikan rumah. Mereka harus berkejaran dengan pemerintah yang terus meninggikan infrastruktur.”

 

Masnuah di atas perahu tradisional nelayan pesisir Demak.. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Kerusakan hutan mangrove

Proyek itu, katanya, bakal menciptakan ketidakadilan ekologis, tatkala sejumlah kerusakan lingkungan harus terjadi.

“Proyek diprediksi memberikan potensi kerusakan di pantai Semarang dan Demak. Ada 13,2 km panjang pantai Kota Semarang. Demak 34,1 km.”

Kalau proyek ini jalan, katanya, akan ada banyak hutan mangrove berubah fungsi. “Ada banyak keragaman biota laut terdampak karena kondisi pembangunan ini.”

Ada penelitian mendata banyak burung migran singgah di Sayung, dan banyak biota hidup di hutan mangrove. Kalau proyek jalan, katanya, semua pihak harus siap mengantisipasi kerusakan ekologis pesisir.

Cornelius Gea dari LBH Semarang menyoroti kedudukan hukum dan potensi pelanggaran HAM proyek ini.

Awalnya, ada dua ide terpisah, jalan tol dan tanggul laut. Keduanya lalu tergabung, melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 355/KPTS/M tertanggal 30 Mei 2017.

Gubernur Jawa Tengah juga membentuk tim koordinasi percepatan pengintegrasian pembangunan tanggul laut dengan tol Semarang Demak. Sekda Jawa Tengah meminta melihat kesesuaian tata ruang ke Dirjen Tata Ruang. Dari sana, revisi RTRW provinsi.

“Kami melihat kesesuaian, adalah kesesuaian yang dipaksakan. Rencana pembanguan tol tanggul laut dengan jalan tol Semarang Demak adalah upaya penabrakan pengaturan tata ruang.”

Dampak dari ini, katanya, berpotensi terjadi kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di daerah pesisir Semarang dan Jawa Tengah.

Koalisi melihat ada enam kelemahan andal, yakni, analisis sempit, konsultasi publik tak melibatkan kelompok kritis, kurang pembahasan potensi perubahan arus laut, amblesan tanah, dan banjir rob di Semarang-Demak.

Selanjutnya, ada potensi kehilangan mata pencaharian petambak udang dan beberapa kawasan tenggelam karena proyek. Juga akses masyarakat terhadap sempadan pantai, dan tidak detail dalam membahas sumber urukan.

Untuk material urukan proyek ini perlu 4.161.688 m kubik untuk tanggul. Untuk badan dan bahu jalan sebanyak 124.184 m kubik, hingga total 4.285.872 meter kubik. Kalau satu truk lima meter kubik, tanggul perlu 800.000 truk material urukan.

Menurut Cornel, hal itu perlu dibahas lebih detail karena di berbagai tempat galian C menimbulkan banyak masalah lingkungan, termasuk banjir bandang. Masyarakat, katanya, perlu tahu dampak ini.

Henny Warsilah, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, dalam penelitian pada 2018-2019, pembangunan pelabuhan peti kemas di Kemijen dan Tambak Lorok menyebabkan rob makin parah.

Seharusnya, kata Henny, air mengalir ke berbagai arah namun mandeg karena tertutup pembangunan itu. Air akhirnya melipahi perumahan penduduk.

Dalam kesempatan berbeda, Henny mengatakan, kondisi Semarang sebagai kota metropolitan, industri, dan pelabuhan sekaligus kota bencana. Kota ini, katanya, jadi langganan banjir, rob, ekstraksi air tanah berlebih, amblesan tanah, dan penggundulan bukit-bukit.

“Semarang sangat unik, kontur tanahnya di bawah permukaan laut. Sebagian besar tanah adalah rawa, memiliki 20 sungai. Perluasan di kota atas bukit-bukit dipapras, menyebabkan hutan lindung jadi mengecil.”

Dia khawatir, kalau tak berbuat apa- suatu saat Semarang akan tenggelam. Temuan lapangan LIPI di Tambak Lorok dan Kemijen pada 2016-2017, dalam waktu 15-20 tahun banyak rumah warga tenggelam. Warga terpaksa meninggikan rumah mereka, per 10 tahun air naik setinggi 2,5 meter.

“Dalam 20 tahun harus menguruk rumah setinggi lima meter. Kalau didiamkan, rumah mereka tinggal plafon.” Untuk meninggikan rumah perlu enam truk tanah. Satu truk Rp600.000. Mereka tak menimbun dengan baik, warga pakai sampah plastik, baru timbun pasir karena masalah anggaran.

 

 

***

Koalisi Pesisir Semarang Demak menjelaskan penelitian kolaboratif antara akademisi, aktivis LSM, dan warga ini secara transdisipliner, dengan menghargai pengetahuan semua pihak, baik pakar maupun bukan pakar.

Koalisi beranggapan krisis sosial-ekologis hasil pembangunan kapitalistik masa lalu, tetapi solusi krisis juga bercorak kapitalistik.

Krisis sosial ekologis berupa ekstraksi air tanah, amblesan tanah, banjir atau rob, dan abrasi pantai saling berhubungan. Ekstraksi air tanah, misal, bermula dari kebutuhan manusia tak terhindarkan terhadap air. Pengambilan air besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan industri membuat keseimbangan alam terciderai.

Data 2013 menyebutkan, mayoritas kawasan industri di Semarang mengambil air tanah pakai sumur bor. Bukan hanya untuk industri, PDAM Tirta Moedal, juga ekstraksi air tanah untuk kebutuhan sebagian besar pelanggan.

 

 

Sumber: Peta tol Semarang-Demak, KPUPR

 

Dari tahun ke tahun ekstraksi air tanah di Semarang terus meningkat. Koalisi mendapatkan data, pada 1900 ada 16 sumur air tanah dalam terdaftar, pada 1989 jadi 350 sumur air tanah dalam. Pada 2000, naik jadi 1.050 sumur, dengan total ekstraksi 38 juta meter kubik per tahun.

Sisi lain amblesan tanah Kota Semarang berlangsung cepat. Dalam kurun 2008-2011, di bagian timur Kota Semarang, laju penurunan tanah melebihi 10 cm per tahun. Penyebabnya, tak melulu karena ekstraksi air tanah dalam juga konsolidasi sedimen muda di bagian utara Kota Semarang, dan pembebanan tanah urugan, bangunan maupun konstruksi. Juga dampak aktivitas tektonik, dan pengerukan sedimen secara reguler di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas.

Dalam studi disertasi 2001 (ITB), di beberapa kawasan Semarang, amblesan tanah lebih banyak karena beban tanah urug , misal, Pelabuhan Tanjung Emas, Tambak Lorok, Tanah Mas, dan Marina.

Di wilayah lain perbandingan penyebab sama atau lebih kecil. Perbandingan sama meliputi Tawang, STM Perkapalan, dan Indraprasta. Penyebab lebih banyak karena penurunan muka air tanah adalah PRPP, Kampung Peres, Jl Pemuda, Bulu, Krobokan, Pengapon, P3B, dan Simpanglima.

Kombinasi dari amblesan tanah, kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global, katanya, membuat Semarang terutama bagian utara makin rentan terhadap rob.

Abrasi pantai di kawasan sebelah timur Kota Semarang dan Demak juga makin mengkhawatirkan. Berdasarkan citra satelit, dalam rentang 1972-2019, pantai Demak yang terabrasi seluas 4.274 hektar. Di Semarang sebelah barat ke arah Kendal, dalam periode sama seluas 2.605 hektar.

Proyek yang menggabungkan tanggul laut dan jalan tol disebut-sebut sebagai solusi banjir rob dan kemacetan.

Tanggul laut sekitar 10 km akan dibangun dengan cara reklamasi. Untuk pembangunan itu, perlu lahan sekitar 539,7 hektar, dengan cara pembebasan lahan.

 

Fasilitasi industri?

Pembangunan proyek ini gunakan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Pada September tahun lalu, dikutip dari laman resmi KPUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengatakan, Tol Semarang-Demak akan lanjut ke Kudus-Pati-Rembang-Lasem-Tuban.

Dengan jaringan jalan tol di Pulau Jawa makin tersambung, katanya, akan membawa banyak perubahan perilaku masyarakat.

Pemerintah, katanya, terus mendorong ruas jalan tol Trans Jawa dapat terhubung dengan kawasan-kawasan industri yang sekarang muncul seperti di Ngawi dan Nganjuk serta mendukung akses ke destinasi pariwisata.

Soal banjir rob yang kerap terjadi di Semarang Utara, kata Basuki, KPUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air sudah membuat tanggul dan rumah pompa, Kini, banjir rob yang kerap menggenangi jalan nasional di depan Universitas Sultan Agung dan Terminal Terboyo, bisa teratasi.

“Keberadaan Tol Semarang-Demak yang terintegrasi dengan tanggul akan memperkuat daya tahan Semarang bagian utara dalam menghadapi banjir rob,” katanya.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan mengatakan. pembangunan infrastruktur perlu biaya besar, sementara kemampuan tidak mungkin. Salah satu solusi melalui skema KPBU.

Danang Parikesit, Kepala BPJT KPUPR, mengatakan, pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak selain jadi akses penting dalam meningkatkan konektivitas dari Semarang ke arah Demak hingga Gresik dan Surabaya, sekaligus merevitalisasi kawasan industri sekitar wilayah itu dan Jawa Tengah.

“Setelah jalan tol terbangun dan tersambung menuju kawasan industri, nantinya tidak lagi terdampak banjir rob, hingga bisa membangkitkan kembali ekonomi masyarakat dan pasar industri barang dan jasa yang ada,” katanya masih dari laman resmi KPUPR.

 

 

Keterangan foto utama:  Ilustrasi. Jalan tol Semarang-Demak, sebagian akan melalui laut hingga sekaligus jadi tanggul laut mendapatkan kritikan dari organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Foto: KPUPR

 

Exit mobile version