Mongabay.co.id

Jambi Bersiap Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan

Perkebunawit PT BEP di Jambi, yang terbakar hebat lathun lalu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada 29 Juni 2020, Pemerintah Provinsi Jambi mulai siaga daruat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Keputusan ini diambil setelah Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat menetapkan siaga darurat karhutla awal Juni lalu. Muaro Jambi, wilayah gambut terbesar di Jambi juga bersiap menaikkan status ke level siaga darurat.

Peningkatan status ini sebagai langkah antisipasi kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi.

“Kalau sudah naik status, seluruh sumber daya di pusat itu bisa dibantukan ke Jambi, terkait peralatan, anggaran dan mobilitas pasukan. Karena kalau tidak naik kita sulit, karena komandonya ada beberapa komando. Kalau status sudah naik, nanti jadi satu komando dipimpin Gubernur dan dibantu TNI-Polri dan BPBD, ” kata Bachyuni Deliansyah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jambi.

Dalam catatan BPBD, setidaknya 258 desa di 71 kecamatan masuk dalam daftar daerah rawan karhutla.

Bayu minta, pemerintah desa ikut sosialisasi ke masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar, terlebih saat ini musim kemarau rawan karhutla.

Baca juga: Atasi Karhutla di Masa Pandemi, Perlu Peran Semua Pihak

Sejak Januari-25 Juni, terdapat 269 hotspot terpantau satelit Terra-Aqua SNPP dan NOAA 20, 120 di wilayah Tanjung Jabung Barat. Lebih 123 hektar lahan di Jambi terbakar.

“Paling luas di Sadu itu ada 90-an hektar, lokasi konsesi,” katanya.

Wilayah Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi menjadi daerah paling rawan. Hampir 600,000 hektar gambut di Jambi tersebar di tiga kabupaten itu.

Sejak 2-22 Juni, Gubernur Jambi, Fachrori Umar telah meminta BNPB modifikasi cuaca untuk membuat hujan buatan agar wilayah gambut di tiga kabupaten itu agar tetap basah.

 

KLHK segel konsesi perusahaan terbakar di Muara Jambi, pada 2019. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pada 29 Mei 2020, Gubernur Jambi juga melayangkan surat pada para bupati dan walikota terutama wilayah rawan karhutla untuk segera mengantisipasi, dengan berkoordinasi TNI-Polri untuk memeriksa kesiapan peralatan pemadaman dan personel perusahaan yang beroperasi di wilayahnya.

Pemerintah Jambi juga menyiapkan 3.992 personel mulai dari Manggala Agni, BPBD, TNI-Polri hingga masyarakat peduli api untuk mengahadapi kemungkinan karhutla.

Akhmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Jambi menyebut, perbatasan Jambi dengan Sumatera Selatan merupakan daerah rawan karhutla. Tercatat, di daerah itu terjadi kebakaran berulang, terutama konsesi PT Putra Duta Indah Wood, PT Pesona Belantara Persada.

“Dua HPH ini sering terjadi kebakaran berulang yang jadi konsen kita. Pasca kebarakan 2019, dua HPH ini sudah tidak aktif lagi. Kami sudah melaporkan ke kementerian agar dievaluasi. Karena di dua areal inilah yang rawan terbakar,” katanya dalam diskusi daring 29 Juni lalu.

Bestari bilang, Tim Restorsi Gambut Daerah (TRGD) di Jambi di bawah Dinas Kehutanan telah membangun sekat kanal 418 unit sebagai upaya pembasahan lahan agar tidak retan terbakar. Sebanyak 466 sumur bor juga dibangun untuk membantu pemadaman saat karhutla.

Bambang Bayu Suseno, Wakil Bupati Muaro Jambi mengatakan, jauh-jauh hari telah sosialisasi ke masyarakat agar tidak membuka lahan dengan membakar. Wilayah Kecamatan Kumpeh, katanya, paling rawan terbakar.

“Kita pengawasan ketat, Polda Jambi juga mengusulkan memasang CCTV—di daerah rawan karhutla. Kita berharap, sekecil apapun api yang ada kita siap siaga langsung,” katanya.

Dia telah berkomunikasi dengan pemerintah Sumatera Selatan untuk mengantisipasi karhutla, terutama di wilayah perbatasan.

Kemarau tahun ini diprediksi tidak sekering 2019. Kurnianingsih, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Thaha-Jambi mengatakan, kondisi kemarau 2020 cenderung netral dan tak terjadi fenomena El-Nino.

“Kemarau tidak sekering tahun kemarin. Bisa dibilang lebih basah seperti 2018.”

Sejak Juni-September Jambi dalam musim kemarau, dan puncak terjadi pada Juli sampai Agustus. Hujan dengan intensitas ringan diperkirakan masih turun meski frekuensi lebih jarang.

Beberapa hari ke depan, BMKG memprediksi terjadi hujan dengan intensitas ringan di timur Jambi dan bagian barat.

Meski tak sekering 2019, potensi kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau tetap perlu diwaspadai.

 

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Potensi kebakaran gambut tinggi

Ratusan sekat kanal dibangun untuk menjaga kawasan gambut tetap basah. Kendati demikian, hampir setiap tahun saat kemarau gambut Jambi membara.

KKI Warsi mencatat, lebih 100.000 hektar atau 60% kebakaran 2019 berada di wilayah gambut. Ironisnya, gambut kedalaman lebih dari dua meter paling banyak terbakar.

Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi mengatakan, potensi kebakaran di lahan gambut tahun ini cukup tinggi, melihat tak ada perubahan signifikan pada pola pengelolaan di lahan gambut.

“Di konsesi HTI dan HGU sawit, kanal mereka masih dalam—tinggi muka air melebihi 40 sentimeter—walaupun ada pembuatan sekat kanal di beberapa bagian, tapi itu belum menjawab secara keseluruhan.”

Menurut dia, perusahaan masih berpikir sekat kanal justru membuat mereka rugi akibat produksi sawit turun. “Karena kalau dibuat sekat kanal kan air tergenang produksi mereka turun, maka kecenderungan mereka (perusahaan) mengeringkan supaya produksi optimal.”

Bukan hanya perusahaan, warga yang mengelola lahan gambut juga cederung mengeringkan gambut hingga rawan terbakar. “Kalau lahan gambut itu tergenang, akasia pucuk daunnya jadi kuning, sawit produksi turun karena akar basah terus. Kasusnya itu di situ.”

Meski penyekatan kanal cukup efektif membasahi gambut, kewenangan BRG sebatas di wilayah tak berizin dan kawasan lindung.

Masalah gambut makin rumit, lantaran pemerintah kadung memberikan izin konsesi di gambut dalam yang seharusnya dilindungi.

“Maka sekarang polanya dibalik, bagaimana mencegah orang membakar, bukan membuat alam sulit dibakar (pembasahan-red).”

Lahan mineral juga rawan kebakaran, terutama daerah konflik. “Itu ada di Tebo, Muaro Jambi, Batanghari. Saya melihatnya masih tinggi potensi pengulangan karena konflik belum selesai.”

Menurut Rudi, kenaikan status siaga darurat lebih dini akan berdampak baik untuk mencegah karhutla. Berkaca dari kebakaran 2015, katanya, setelah pemerintah cukup intensif melakukan berbagai upaya pencegahan dan cukup keras terhadap pelaku pembakaran, angka kebakaran pada 2016, 2017, dan 2018 dapat ditekan. Meski banyak pendapat megaitkan kalau saat itu kemarau tidak panjang.

“Saya melihat warning dari pemerintah, kepolisian di lapangan itu punya pengaruh apalagi kalau ada tindakan langsung penangkapan, itu cukup ada efeknya.”

Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi bilang, upaya pembahasan lahan gambut pemerintah saat ini belum maksimal, hingga masih rawan terbakar.

Dia mencontohkan, Desa Seponjen, Rukam, Sogo, Tanjung hingga Jebus yang jadi Desa Peduli Gambut tetap terbakar pada 2019. Di Tanjung Jabung Timur, Desa Koto Gedang, Jati Mulyo yang berdampingan dengan konsesi juga terbakar.

Menurut dia, pembahasan lahan gambut tidak bisa hanya pada titik tertentu, terlebih dalam satu kesatuan hidrologi gambut. “Tidak bisa berbasis spot, harus semua dibasahi, termasuk wilayah konsesi perusahaan.”

Keterbatasan kewenangan BRG intervensi lahan gambut di kawasan konsesi dianggap jadi masalah selama ini. Terbukti lahan gambut milik konsesi perusahaan tetap kering dan rawan terbakar. Bahkan terjadi kebakaran berulang.

Walhi Jambi mencatat, banyak perusahaan tidak siap menghadapi karhutla karena keterbatasan sarana dan prasarana hingga personel.

Walhi mendorong, BRG diberi kewenangan penuh untuk intervensi di konsesi perusahaan, hingga bisa memastikan wilayah gambut basah, dan lahan bekas terbakar direstorasi.

Dari 617.000 hektar luas gambut di Jambi, lebih 200.000 hektar jadi target restorasi BRG. Celakanya, 128.472 hektar telah terbebani izin perusahaan. Hanya 46.000 hektar di kawasan lindung dan 25.000 di kawasan tak berizin.

“Wilayah izin ini siapa yang bisa memastikan basah dan direstorasi? Ini yang jadi masalah selama ini. Kebakaran berulang itu akan terjadi di sini (konsesi-red).”

BRG, katanya, dapat mandat pemerintah merestorasi, tetapi dalam pasal-pasal aturan ada keterbatasan kewenangan. “Sama saja kayak macan ompong.”

Rudianyah menilai, BRG perlu mendapatkan kewenangan untuk penegakan hukum. “Kalau masih kayak macan ompong, lebih baik dibubarkan.”

 

Pandemi

Upaya pemadaman karhutla di Jambi makin sulit di masa pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID)-19.

Walhi melihat, potensi kebarakan 2020 bisa lebih besar dari 2019 kalau tidak pencegahan sejak dini.

Penggunaan aplikasi sistem analisa pengendalian karhutla atau disebut dengan “Asap Digital” yang diluncurkan Pemprov Jambi beberapa waktu lalu dianggap tak akan maksimal mencegah kebakaran.

Penggunaan CCTV dengan sensor panas yang dipasang di tower milik perusahaan hanya mampu mendeteksi titik api.

Walhi Jambi mendorong, lintas sektor di kehutanan, perkebunan dan Dinas Lingkungan Hidup bisa bersinergi mencegah karhutla dan memulihkan lahan gambut terbakar. “Selama ini kan semrawut, ada ego sektoral.”

Pemerintah juga diminta memetakan daerah-daerah rawan karhutla, dan memastikan penanganan berjalan baik, mulai akses jalan, peralatan hingga personel.

“Peran MPA (masyarakat peduli api-red) juga penting, karena selama ini mereka dilibatkan saat terjadi karhutla kalau sudah muncul api, bukan sejak awal untuk pencegahan,” katanya.

Pemerintah daerah juga didorong berani menggugat pada perusahaan dengan konsesi terbakar, dan tidak selalu mengandalkan pemerintah pusat. “Yang didugat pemerintah pusat sekarang ini (2020) kasus kebakaran 2015. Itu baru sebagian. Kalau mengandalkan pemerintah pusat butuh waktu panjang. Gak selesai-selesai kasusnya.”

Ketidakberanian pemerintah daerah menindak tegas perusahaan khawatir memicu kebakaran berulang. “Kalau tidak ada efek jera, kebakaran di Jambi akan terus terulang.”

 

Keterangan foto utama: Perkebunawit PT BEP di Jambi, yang terbakar hebat lathun lalu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version