Mongabay.co.id

Mungkinkah Bali Nol Penggunaan Air Tanah?

 

Ada wacana Bali menuju nol penggunaan air tanah. Hal ini tercantum dalam master plan air bersih Bali yang sedang dirancang. Tujuannya mengelola air permukaan sebagai sumber air baku dan menghentikan pemanfaatan air tanah. Apakah mungkin?

Hal ini muncul dalam webinar series oleh Bali Water Protection (BWP) Program dengan tema “Obrolan Santai: Bagaimana kondisi air tanah di Bali?” Menghadirkan sejumlah peneliti yakni Prof. Lilik Sudiajeng, dosen teknik sipil Politeknik Negeri Bali (PNB), dan I Ketut Ariantana, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bali.

Wacana itu disebut Lilik, salah satu strateginya mengelola air permukaan di 6 bendungan. Kemudian menugaskan PNB menyusun Master Plan Air Bersih Bali menuju nol penggunaan air tanah.

Bendungan yang sudah dan sedang dibangun di Bali sebagai sumber air baku dan energi listrik tenaga air diproyeksikan berkapasitas 29,85 juta m3. Di antaranya Bendungan Titab Kabupaten Buleleng (2011-2015) sebesar 12,67 juta m3. Bendungan Benel Kabupaten Jembrana (2010) 1,62 juta m3, Bendungan Telaga Tunjung Kabupaten Tabanan (2007) 1,26 juta m3, Bendungan Gerokgak Kabupaten Buleleng (1997) 2,50 juta m3, Bendungan Palasari Kabupaten Jembrana (1989) 8,00 juta m3, dan Bendungan Sidan terletak di daerah aliran sungai Tukad Ayung (direncanakan selesai tahun 2022) 3,80 juta m3.

baca : Kebutuhan Air Bersih di Tengah Pandemi COVID-19

 

Tabanan, salah satu kawasan hulu sumber air Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perempuan koordinator peneliti kualitas air tanah dan konsultan BWP ini mengingatkan sudah ada indikasi penurunan kapasitas air tanah di beberapa lokasi strategis. Selain itu penurunan kualitas air tanah, dan indikasi intrusi air laut. Serial penelitian ini dimulai dari analisis data sekunder. Rujukannya KLHS 2010 dan Kajian Awal Air Tanah Kota Denpasar 2013 bersama Pemkot Denpasar.

Kemudian penelitian teknis Kajian Teknis Air Tanah Kota Denpasar 2014-2016 yang menghasilkan Peta Konservasi air tanah kota Denpasar. Dilanjutkan penyusunan peta daerah imbuhan Bali, dan penelitian indikasi penurunan kualitas air dan instrusi air laut dikaji dari kesadahannya. “Penurunan kapasitas air belum terukur karena sampel terbatas,” sebutnya.

Rancangan program lanjutan 2021-2025 adalah penelitian di titik koordinat yang sama, karena baru sekali penelitian untuk data penurunan muka air. “Kami belum bisa menjawab pertanyaan yang paling sering muncul, apakah penurunan kapasitas dan kualitas air benar ada hubungannya dengan perkembangan pariwisata?” urai Lilik.

Karena itu, tahapan berikut akan diteliti di koordinat yang sama. Rancangan program pelestarian air tanah sudah diujicoba. Misalnya mulai desain-redesain sumur pemanen air hujan domestik (spahudo) tipe 1-2, desain sumur bor, dan lainnya.

Mongabay Indonesia pernah menulis rangkaian penelitian awal sampai intrusi air laut tesebut sejak 2015.

Dari Peta Konservasi Air tanah Denpasar (2014) diketahui ada indikasi krisis sumber daya air di daerah Renon, Panjer, Sidakarya. Indikatornya sumur kering dan kedalaman sumur bor di atas 100m. Sementara merujuk peta imbuhan, kawasan yang cocok sebagai recharge air tanah adalah Denpasar Barat dan Denpasar Utara.

Hasil uji kesadahan (kandungan Klor) dari 270 sampel air dikategorikan menjadi kandungan klor tinggi (T) dan tidak layak konsumsi (TL). Misalnya di Badung, dari 44 sampel, 73% (T), Tidak layak konsumsi (TL). Disusul Buleleng dari 60 sampel, 68,3% (T), Tidak layak konsumsi (TL). Demikian juga sampel kabupaten lainnya.

baca juga : Bali Terancam Krisis Air, Mengapa?

 

gambar eksplorasi air bawah tanah. Foto: presentasi Ketut Ariantana

 

Tarif Lebih Murah

Kurangnya kesesuaian peraturan dan kecenderungan eksploitasi penggunaan air tanah disampaikan I Ketut Ariantana.

“Tarif air dari PDAM jauh lebih mahal dari Tarif Pajak Air Tanah, sehingga sebagian besar masayarakat atau pengusaha memilih air tanah sebagai sumber air,” sebut Ariantana. PDAM juga memilih air tanah sebagai sumber karena biaya operasional lebih murah dan kualitas relatif baik.

Ia merekomendasikan sejumlah hal dalam pengelolaan air tanah di Bali. Di antaranya memahami geologi sebagai dasar dalam 
perencanaan pembangunan, terutama dalam penataan ruang dan penyediaan air bersih.

Proses pembentukan air tanah membutuhkan waktu panjang dibandingkan dengan umur manusia, maka pengambilannya harus diminimalisir dan atau dibatasi dalam rangka menjaga keberlangsungan ekosistem secara alamiah.

“Kondisi air tanah di Bali secara potensi masih tergolong aman, namun pada beberapa kawasan terutama area pesisir di Bali Selatan sudah rawan secara kualitas,” sebutnya. Pemanfatan air permukaan belum optimal karena pemanfaatan air tanah lebih ekonomis, kuantitas dan kualitas lebih terjamin.

Rekomendasi lainnya, izin air tanah dipungut dalam rangka pengendalian pengambilan air tanah, bukan dapat izin mengambil sebebasnya. 
PDAM menurutnya harus terdepan dalam menjaga kelestarian air tanah, baik dalam pengendalian pengambilan, mengutamakan air permukaan, serta pelaksanaan konservasi air tanah.

baca juga : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Uji coba sumur imbuhan ini didukung – Sumur imbuhan di Sukawati, Gianyar, Bali ini didukung pembuatannya oleh Fiveelements. Cara ini lebih efektif dibanding biopori. Foto Luh De Suriyani

 

 

Menurut UU No.17/2019, air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan
 di bawah permukaan tanah 
dan terbentuk secara alami pada Cekuangan Air Tanah (CAT). Karena itu pengelolaannya harus menyesuaikan perilakunya meliputi keterdapatan, penyebaran, ketersediaan, kualitas, serta lingkungan keberadaannya.

Air tanah terbentuk dari air hujan dan air permukaan yang meresap ke dalam tanah dan atau batuan. Kecuali air tanah fosil, air tanah adalah salah satu facet dalam daur hidrologi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekologi.

Air tanah mengalir dari daerah imbuhan (recharge area) menuju daerah lepasan (discharge area) dalam suatu cekungan air tanah di bawah permukaan tanah. Pengaliran air tanah dari daerah imbuhan menuju daerah lepasan dapat berlangsung lama, puluhan hingga ribuah tahun bahkan jutaan tahun. Sebaran cekungan air tanah dan formasi geologi pengandung air tanah lintas administrasi daerah.

Hasil analisis data sumur pantau di kedalaman 40-60 menyebutkan muka air tanah relatif stabil dan fluktuasinya sangat dipengaruhi musim. Kualitas air sumur pantau ini direkomendasi masih layak sebagai bahan air bersih baik secara fisik maupun kimia.

Sementara dari sumur bor produksi kedalaman 20-60 m di hampir di semua kawasan wisata (Kuta, Seminyak, Jimbaran, Nusa Dua, Sanur) terutama di area pesisir <500 m dari garis pantai, muka air tanah relatif stabil namun kualitas air tanah tidak direkomendasikan sebagai air bersih baik secara fisik, kimia, dan biologi. Sumur bor dangkal (<15 m) atau sumur gali dengan pemompaan yang relatif kecil (< 5 m3/hari), kualitas airnya masih terjaga dan layak sebagai air bersih.

Hasil pengamatan dan analisis data sumur produksi dengan konstruksi sumur umum kedalaman 30-120 m menyebutkan hampir semua PDAM menggunakan sumber air dari sumur bor dengan kedalaman 100-250 m dan debit di atas 5 liter/detik. 
PDAM juga menggunakan air permukaan sebaga air baku, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan ke pelanggan.

Air sumur bor produksi yang kualitasnya tidak layak sebagai air bersih, diolah secara mandiri baik dengan cara dicampur dengan air tawar PDAM, treatment secara fisik/kimia ataupun dengan proses reverse osmosis (RO). Beberapa hotel juga melakukan pemanfaatan air olahan IPAL serta penampungan air hujan untuk dapat dimanfaatkan kembali.

perlu dibaca : Riset Menyimpulkan Intrusi Air Laut Meluas di Pesisir Bali, Dimana Saja?

 

Anak-anak bermain dengan riang gembira di Sungai Tukad Bindu, Denpasar, Bali. Foto : denpasarkota.go.id /Mongabay Indonesia

 

Data Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali menyebut ada 2.224 izin pengusahaan air tanah selama 5 tahun terakhir, sebelumnya tanpa izin. Terbanyak di Kabupaten Badung 1.134 izin, disusul Denpasar 381, Gianyar 278, dan Tabanan 123.

Dari sisi regulasi, juga perlu banyak diatur ulang agar tak tumpang tindih. Pengelolaan air tanah ini dasarnya UU No.17/2019 tentang Sumber Daya Air (SDA). Turunannya PP No.121/2015 tentang Pengusahaan SDA, dan Pergub Bali No.5/2016 tentang Perizinan Air Tanah. UU ini mengatur air permukaan, air tanah, dan air hujan, namun menurut Ariantana belum ditetapkan peraturan pelaksanaan (masih mengacu PP 121/2015). Pengelolaan air tanah berbasis CAT dan ada Izin Pengusahaan Sumber Daya Air.

Kewenangan pengelolaan air tanah di pusat atau provinsi? Ini terkait UU/2014 tentang Pemerintah Daerah kemudian UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. “Regulasi cukup bermasalah, bagaimana mengolah air tanah dengan baik?” tukas Ariantana.

 

Exit mobile version