Mongabay.co.id

Aziil Anwar, Tiga Dekade Merawat Mangrove Majene

Aziil Anwar, di hutan mangrovenya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pada 2018, Pemerintah Desa Palipi, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menerabas seperempat hektar hutan mangrove demi memuluskan program pengembangan potensi desa, dengan mencetak tambak kepiting. Pohon-pohon mangrove yang sekian lama melindungi kampung dari ombak ganas dan tsunami 1969 itu dicabut, roboh dengan alat berat.

Ia melepas ribuan gram karbon dioksida ke langit. Lahan yang tumbuh mangrove jenis Sonneratia sp itu sekejap jadi kolam berlumpur.

Perusakan ini membuat Sudirman, sang Kepala Desa terjerat hukum. Dia orang yang bertanggungjawab atas kasus itu. Polisi menyangka Sudirman melanggar rentetan pasal di sejumlah Undang-undang yang mengatur perlindungan pesisir, lingkungan hidup, dan kehutanan.

Ketika kasus itu bergulir di meja hijau, hakim mengetuk palu, memvonis bebas Sudirman.

Kalau mengenang itu, Aziil Anwar kecewa. Untuk kesekian kalinya hukum tak bisa diandalkan. Aziil adalah seorang pegiat lingkungan di Majene.

Saat kasus Palipi, dia jadi saksi dan berada di garis depan menentang perusakan itu. Dia ingin, pelaku diberi efek jera.

Aziil tidak berlebihan. Orang yang terbukti merusak, tetapi lolos, orang lain bukan mustahil tentu mengikuti jejak dan menempatkan hutan mangrove jadi sasaran empuk pembabatan.

“Tidak tahu kenapa bisa lolos,” kesal Aziil.

Mungkin, kasus di Palipi bukan yang terakhir. Orang-orang yang berniat merusak mangrove di Sendana, belumlah habis.

 

Jembatan menuju hutan mangrove Baluno. Foto: Agus Mawan/ Mongbay Indonesia

 

Terdepak ke Majene

Pada suatu sore awal Juni 2020, kami berjumpa di Mangrove Learning Center (MLC), di Binanga, desa pesisir di Sendana, Majene. Separuh usia Aziil habis untuk melestarikan mangrove di MLC.

Di MLC, mangrove tumbuh menjulang dengan lebat membentuk hamparan kanopi, di sebuah pulau karang bernama Baluno. Ribuan mangrove nan hijau menghampar, jadi tempat bermain burung dan ‘kasur’ bagi kalelawar.

Ombak pantai begitu tenang, di bawahnya ikan bergerombol. Pemandangan ini sungguh menenangkan hati.

Dari Pantai Binanga, jarak ke Baluno tidak lebih 20 meter. Saya berjalan kaki, menyebrangi pantai melalui jembatan kayu warna-warni yang meliuk ke dalam hutan mangrove.

Di ujung jembatan, berderet ratusan bibit mangrove. Setiap sudut tumbuh mangrove di paparan karang cadas. Ada yang batang tinggi, ada baru belajar tumbuh. Ketika di tengah pulau, cahaya meredup dan udara menjadi sejuk. Sepi tapi asri.

Di MLC ada sarana bagi pengunjung. Ada spot foto, dan pondok nyaman dari panggung kayu. Toilet dan Perpustakaan. Saban tahun, mereka juga menggelar Festival Mangrove. Selain rekreasi, MLC adalah tempat belajar yang menyenangkan seputar konservasi pesisir dan mangrove.

Aziil, sang penggagas MLC tinggal di sini. Dia tinggal di tepi jalan poros Majene, yang jarang ditempati. Aziil lebih nyaman menempati rumah panggung itu. Di sinilah, lelaki 62 tahun itu menerima tamu. Di belakang rumah merah itu, juga ada ratusan bibit terbungkus polybag.

Ruang kerja Aziil di lantai bawah dengan luas 12 meter. Isinya padat. Ada peranti komputer. Televisi. Kasur kecil. Ada tangga ke lantai dua. Rak-rak kayu tertata banyak benda. Di dinding terpacak pigura. Di sinilah Aziil menyambut saya, pada waktu senggang bermain gim.

Aziil banyak berjasa dalam pemulihan mangrove di kawasan ini. MLC berhasil mengembalikan ekosistem pesisir yang kritis. Banyak orang belajar dari Aziil. Aziil itu contoh, bagaimana pulau berkarang mati dan pesisir rusak parah, jadi benteng ekologi, yang dapat menghadang abrasi ke perkampungan.

 

Teh mangrove buatan MLC. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Cerita ini tak mungkin ada, bila Aziil muda tak melanjutkan sekolah di Makassar pada 1974 dan memilih menetap di tanah kelahirannya yang kaya rempah-rempah, Ternate, Maluku Utara.

Di Ternate, Aziil hidup di Soa-sio, wilayah berbukit tempat Keraton Kesultanan Ternate berdiri.

“Mau lanjut dulu di jurusan Pertanian. Cuman di Makassar waktu itu yang ada SMA,” katanya bercerita.

Pada 1977, Aziil menamatkan sekolah. Aziil remaja melanglang buana ke Jakarta dan Palembang. Pada 1983, ketika usia 25 tahun, Aziil pulang ke Makassar yang saat itu di bawah kepemimpinan perwira militer. Dia dengar kabar, kalau kehutanan membuka penerimaan pegawai negeri. Aziil lalu mendaftarkan diri dan diterima.

Aziil lantas berdinas di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, sebagai penyuluh kehutanan, ketika hutan di daerah itu tergerus lahan perkebunan. Dua tahun hidup di bumi Massenrenpulu, Aziil mempersunting Samsudirah.

Di tahun itu, putra pertamanya lahir. Putra pertama diberi nama Firhan Rimbawan. Selang dua tahun, anak kedua pun lahir: Fuad Hasan.

Pada 1989, Dinas Kehutanan menggalakkan program demonstrasi plot (demplot) perkebunan. Kebun-kebun itu akan jadi percontohan. Harusnya, Aziil bersama empat kawannya terlibat di program itu tetapi mereka membangkang.

“Demplot kan harusnya petani yang kerja, bukan kita. Cuma atasan suruh kita kerja, uangnya dia ambil,” kenang Aziil. “Aih melawan kita.”

Pembangkangan itu membuat Aziil bersama empat kawannya didepak ke Majene. Tahun itu, Majene masih di pangkuan Sulsel, dikenal ‘angker’ bagi pegawai negeri yang kena mutasi. “Yang empat orang itu asli sini ji.”

Di Majene, Aziil masih menyandang penyuluh kehutanan. ‘Pengasingan’ itu bikin geliat aktivisme lingkungan Aziil tumbuh—kalau tak ingin menyebutnya menggila. “Cuman masih termasuk PNS melawan toh, tidak pernah pakai seragam apa,” kata Aziil.

“Itu bos-bos di Kehutanan kayak dia biarkan saja, karena positif. Membangkang tapi positif.”

Ketika di Majene, putri pertama lahir. Aziil menyematkan unsur Mandar di namanya, Fiani Mandharina. Lalu, lahir lagi tiga anak perempuan, Fauzia Mandharani, Fitri Mandharini, dan Faiza Mandharaini. Praktis, Aziil dan Samsudirah mengasuh enam anak kala itu. Ketika kami bertemu, para putri Aziil telah meninggal dunia.

Di Sendana, Aziil mengisi akhir pekan dengan bermain bola voli. Aziil bersama pemuda setempat bikin klub voli: klub pencinta hijau. Pantai yang berseberangan dengan Pulau Baluno dia sulap jadi tempat berlaga mereka.

Tiap bermain, selalu ada yang menarik perhatian Aziil dan buat dia tercengang. “Kenapa bisa tumbuh begitu saja mangrove di sini ini?”

Bagaimana kalau menambah mangrove itu? Maka, paruh 1990, Aziil memulai apa yang bagi orang lain itu mustahil: menumbuhkan mangrove di atas paparan karang. Inilah cikal bakal MLC. “Kita coba-coba tanam.”

Gaji PNS yang sedikit Aziil jadikan modal. Duit itu buat biaya pencarian bibit di Mamuju, sambil memungut bibit gratis, yang terdampar arus ke Sendana.

Bibit-bibit itu pun terkumpul.

Celaka, dari ratusan bibit, yang tumbuh hanya seperempat. Aziil lekas sadar, mangrove bak seorang bayi. Perlu dielus, dimanja, dan dirawat. Selain merangsang bibit dengan tanah, Aziil harus tekun membersihkan gerogotan tiram dari bibit itu berkala, sampai usia bibit dua tahun.

“Yah… Ternyata berhasil!”

Keberhasilan Aziil bersama kawannya mengharuskan sebuah wadah. Pada 1993, mereka membentuk Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD), dan resmi berdiri dua tahun berikutnya. Bagi Aziil membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), agar aksi mereka kelak terarah dan berkesinambungan. Kala itu, Aziil berusia 32 tahun.

“Itulah yayasan kita Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa. Karena dulu masih muda.” Dia terbahak.

Aksi Aziil tak mulus. Bayangkan, hutan mangrove yang dulu tempat warga leluasa menternak kambing, tiba-tiba diproteksi. Bukankah itu memantik masalah?

“Ada satu kepala lingkungan yang melawan, artinya, menebang-menebang saja. Untuk jadi pakan kambing. Kita kasih tahu, dipangkas saja. Tidak mau dengar, terpaksa kita lapor polisi. Wajib lapor mi dia.” “Tapi sekarang, dia jadi pendukung utama. Dia tahu betul mi manfaatnya.”

 

Sampah di laut di sekitar mangrove yang dibersihkan MLC. Foto: Agus mawan/ Mongabay Indinesia

 

Berbagai program lalu dikembangkan Aziil. Mereka melibatkan masyarakat sekitar. Di mana-mana, Aziil berceramah soal mangrove, sambil mengajak pemuda peduli lingkungan.

Berat memang, tetapi Aziil sejenak bisa lega dan senang karena membuahkan hasil. Banyak orang sekitar ikut tergerak. Berkat itulah, dia bisa dinobatkan di berbagai penghargaan.

Pada 1993, Aziil meraih penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Nasional di Bidang Lingkungan. Pada Aziil Presiden Soeharto memberikan piagam itu. Sepuluh tahun berselang, penghargaan kembali disabet Aziil. Kali ini spesial; Kalpataru. Dia sebagai pengabdi lingkungan yang berseragam korpri.

Di balik itu, ada dukungan Samsudirah. Sang istri tentu bangga punya suami seorang Aziil. Namun, di tubuh Samsudirah kanker bersemayam. Pada 2005, Samsudirah, meninggal dunia. Aziil terus melanjutkan apa yang dia mulai 15 tahun lalu.

Dua tahun menduda, Aziil lalu menikahi Nurlela, perempuan Mandar. Darinya, dua putra lahir. Anak pertamanya, Faizan Rimba Perkasa lahir pada 2010, dan dua tahun berselang Flavien Cakra Belantara, lahir.

Pada 2013, Aziil kembali menoreh penghargaan dari United Nation Environment Programme. Tetapi, musibah kerap mengintai siapapun. Di tahun sama, rumah Aziil dilalap api. Semua berkas jadi abu, hanya lembar ijazah yang selamat. Semangat Aziil tidak ikut terlalap api.

Bersama anak-anaknya, MLC kian mantap. MLC kini tak ubahnya sekolah. Gurunya, adalah Firhan, Fuad, dan Fiani. Siswa dari berbagai sekolah di Majene, saban pekan datang belajar sambil berkemah. Ibu-ibu sekitar MLC juga diajak. Menanam dan merawat. Berkat ini, pada 2015, Yayasan Keragaman Hayati Indonesia (Kehati) memberi penghargaan buat Aziil sebagai kategori Prakarsa Lestari Kehati dalam KEHATI Award VIII. Dua tahun berselang, Aziil pensiun sebagai PNS.

 

Ekowisata dan produk mangrove

Sekarang, sambil fokus edukasi, MLC juga mengembangkan ekowisata dan pemberdayaan masyarakat. Dari mangrove, jadi produk olahan macam teh, kopi, dan bakso.

Selama tiga dekade mangrove yang ditanam sudah seluas 60-an hektar. Lima tahun terakhir, burung-burung singgah ke Baluno. Ada si migran pelikan. Burung-burung kecil. Banyak macam. Itulah, dengan ekosistem ini, pesisir Baluno bakal ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

KEE adalah, kawasan yang dilindungi dan dikelola dengan prinsip konservasi ala hutan konservasi. Penetapannya, berguna untuk melindungi ekosistem esensial dalam kawasan. “Tapi progresnya seperti apa, tidak ditahu. Mungkin fokus ke corona ini dulu,” kata Aziil.

Amran Saru, dalam buku ‘Mengungkap Potensi Emas Hijau’ (2013) mengutip hasil penelitian di Florida, bahwa 90% kotoran dari hutan mangrove menghasilkan 35-60% unsur hara. Hutan mangrove selain pengendali iklim mikro, juga habitat bagi satwa, macam burung, primata, dan reptil.

Tak hanya itu, tiap individu mangrove menyerap ratusan gram karbon dioksida, salah satu gas penyebab efek rumah kaca. Maka itu, mangrove juga penting dalam pencegahan perubahan iklim, yang satu dekade belakangan menghentak dunia.

Mangrove juga punya peran pencegahan bencana. Ia bisa melindungi suatu kawasan dari abrasi, intrusi air laut, dan pengaruh oseanografi. Kestabilan garis pantai juga terjaga dan menumbuhkan daratan baru bila mangrove tumbuh di pesisir. Di Binanga, orang-orang sudah merasakannya.

“Secara lingkungan hasilnya mantap sekali!” kata Aziil. “Dulu, di sini kalau musim ombak habis lagi kelapa satu jejer. Permukiman makin berkurang. Ombak lari sampai ke jalanan. Sekarang, Alhamdulillah aman.”

Mangrove di Baluno akan terus bertambah, pembibitan tidak berhenti. Orang di pulau sebelah bisa terlibat melalui skema pengasuhan bibit. Bibit itu dibeli lalu ditanam pengasuh atau anak-anak Binanga. “Jadi orang itu seperti punya ikatan dengan mangrovenya,” kata Firhan, kini duduk sebagai Direktur YPMMD.

Firhan senang bisa meneruskan perjuangan Aziil. Sebagai anak, dia bangga punya ayah seperti Aziil. Itulah kenapa Aziil menyematkan ‘rimbawan’ di nama Firhan. “Itu doa saja. Supaya dia lanjutkan kegiatan di sini. Karena kalau diharapkan orang lain, kegiatan di sini tidak ada gaji. Susah cari orang yang mau memelihara ini secara tulus,” kata Aziil.

Jelang petang, kami duduk di tepi pantai. Anak dan cucunya memungut serakan sampah yang dibawa badai sehari sebelumnya. Mereka kemudian angkut pakai gerobak.

Makin langit gelap, makin dingin dan deras pula angin menerpa. Rencananya, kami ingin menyaksikan kalelawar dan burung yang terbang meninggalkan Baluno.

 

 

Keterangan foto utama: Aziil Anwar, di hutan mangrovenya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Jelang petang di tempat pembibitan MLC. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version