Mongabay.co.id

Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

Pemerintah Indonesia harus berani terbuka menjelaskan kepada publik tentang proses yang dijalankan saat ini untuk melaksanakan kebijakan ekspor benih bening Lobster. Kebijakan tersebut, sejak disahkan pada awal Mei 2020 terus mengundang pro dan kontra di masyarakat, karena dinilai sebagai kebijakan yang tidak tepat.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus menjelaskan mekanisme dan uji hasil terhadap perusahaan-perusahaan yang mendaftarkan diri sebagai eksportir benih Lobster.

“Umumkan ke publik apa hasil uji tuntas 30 perusahaan yang telah mendapatkan izin ekspor benih Lobster,” ungkap dia kepada Mongabay, Senin (6/7/2020).

Menurut dia, KKP perlu untuk menjelaskan secara detail kepada publik perihal dua perusahaan yang telah melaksanakan ekspor benih Lobster beberapa minggu lalu. Kedua perusahaan tersebut apakah sudah memenuhi atau belum ketentuan Peraturan Menteri KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia

Dengan memberikan penjelasan detail, itu akan bisa menjawab keraguan publik terhadap kepatuhan dua perusahaan tersebut. Pasalnya, diduga kuat masih ada syarat dan ketentuan yang belum dipenuhi oleh kedua perusahaan tersebut saat melaksanakan ekspor mengacu pada Permen KP 12/2020.

“Jika terbukti melanggar (Permen KP 12/2020), maka perusahaan tersebut mesti mendapatkan sanksi,” tegas dia.

baca : Pusat Studi Maritim : Peraturan Baru Ungkap Kedok Pemerintah dalam Eksploitasi Lobster

 

Lobster hasil penangkapan di laut. Foto : KKP

 

Selain menjelaskan kepada publik terkait perusahaan yang sudah melaksanakan ekspor, mekanisme ekspor benih lobster juga dinilai harus bisa dikoordinasikan lebih baik lagi. Hal itu, karena pelaksanaan ekspor melibatkan sejumlah direktorat jenderal yang ada di lingkup KKP.

Dengan adanya koordinasi yang lebih baik, diharapkan itu akan bisa menjamin proses yang lebih sinergi dan melaksanakan koreksi secara terbuka jika ditemukan tahapan dan persyaratan yang belum terpenuhi selama pelaksanaan ekspor benih Lobster.

Abdi Suhufan mendesak adanya keterbukaan, karena dia menduga ada proses atau tahapan yang sudah menyalahi ketentuan dalam Permen KP 12/2020. Dalam peraturan, disebutkan kalau perusahaan yang ditunjuk harus bisa membuktikan sudah melaksanakan panen dengan prinsip budi daya berkelanjutan.

“Mereka juga belum kantongi izin ekspor, yang dikeluarkan KKP adalah persetujuan calon eksportir,” tutur dia.

 

Janggal

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdhillah juga mengkritik kebijakan ekspor benih lobster. Di mata dia, ada kejanggalan dalam proses pembukaan keran ekspor benih Lobster yang diresmikan pada 4 Mei 2020 lalu. Kejanggalan itu, terutama dalam proses pemilihan perusahaan yang akan melaksanakan ekspor.

“Sehingga kita patut mencurigai bahwa Permen KP sekarang adalah pesanan dari kelompok tertentu yang akan mengambil keuntungan dari benih lobster,” sebut dia.

Dalam pandangan Greenpeace Indonesia, persoalan ekspor benih lobster yang sekarang sedang gaduh, hanya bisa diakhiri jika Pemerintah Indonesia, dalam hal ini KKP melakukan revisi Permen KP 12/2020. Tanpa revisi, maka keberlanjutan sumber daya laut akan terancam pada wilayah perairan di seluruh Indonesia.

baca juga : Momentum Tepat untuk Evaluasi Pemanfaatan Lobster 

 

Benih lobster. Foto : KKP

 

Afdhillah menyebutkan, Permen yang baru diterbitkan pada tahun ini, berbeda dengan peraturan sebelumnya, yakni Permen KP 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Merujuk pada Permen yang sudah tidak berlaku itu, ekspor hanya bisa dilakukan jika lobster sedang tidak dalam kondisi bertelur dan panjang karapas masih delapan centimeter atau berat di atas 200 gram per ekor. Sementara, ekspor benih lobster sama sekali tidak diperbolehkan.

Di sisi lain, setelah Permen 56/2016 tidak berlaku, Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan penggantinya, yakni Permen 12/2020. Peraturan terbaru itu membolehkan benih lobster dijadikan komoditas ekspor dengan mempertimbangkan sepuluh kriteria.

“Juga penetapan harga terendah, lokasi penangkapan, dan kuota tangkapan yang semuanya dilakukan oleh KKP. Dalam praktiknya, ekspor benih Lobster juga dikenakan biaya bea keluar. Bila pengusaha tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, ada sanksi ringan mulai dari pencabutan izin usaha sampai denda,” papar dia.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyatakan bahwa kebijakan ekspor benih lobster adalah kebijakan yang penuh masalah. Sejak awal, proses untuk penerbitan Permen KP 12/2020 selalu ada hal yang dinilai tidak benar dan tepat.

Sebut saja, sejak dari pelaksanaan kajian ilmiah, ketidakterbukaan penetapan perusahaan ekspor yang jumlahnya terus bertambah, dan ketiadaan partisipasi nelayan lobster dalam perumusan kebijakan tersebut. Dan kini, muncul sejumlah nama politisi yang menjadi eksportir benih lobster.

Temuan yang sudah ramai jadi bahan perbincangan publik tersebut, menjadi penanda bahwa ada ketidaksinkronan dalam penerapan kebijakan tersebut. Hal itu, karena sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo selalu menyatakan bahwa kebijakan tersebut selalu atas nama kesejahteraan masyarakat.

“Khususnya nelayan lobster, yang disebut Menteri akan meningkat (kesejahteraannya) jika pintu ekspor benih lobster dibuka luas,” ungkap dia.

Menurut Susan, klaim kesejahteraan nelayan lobster akan meningkat langsung, terbantah karena sekarang fakta-fakta mulai terbuka luas. Saat ini, publik sudah mulai mengetahui bahwa pihak yang akan diuntungkan dari kebijakan ekspor benih lobster, tidak lain adalah eksportir yang berizin.

perlu dibaca : Penyelundupan Lobster Marak di Masa Pandemi

 

Sebanyak 202 ribu lobster sitaan polisi dari Pekanbaru. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Ironi

Susan kemudian mengutip data dari Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI dan menyebutkan bahwa perusahaan eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih lobster, dibebankan membayar penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp15.000 per 60.000 ekor.

Jika perusahaan eksportir menjual benih senilai Rp139.000 per ekor dan membayar PNBP senilai Rp15.000, maka keuntungan perusahaan dari kegiatan ekspor benih Lobster sangat besar hingga mencapai angka Rp8.340.000.000.

“Pada titik inilah kebijakan ini hanya menjadikan benih lobster sebagai objek eksploitasi dari Kebijakan Menteri KP, Edhy Prabowo,” ucap dia.

Di sisi lain, Susan juga mengkritisi keterlibatan para politisi yang ada di balik perusahaan ekspor benih lobster. Menurut dia, fakta tersebut menjadi ironi kebijakan publik, karena seharusnya nelayan lobster menjadi pihak yang paling diuntungkan dari pemberlakuan kebijakan ekspor benih lobster.

Dengan kata lain, nelayan hanya menjadi korban eksploitas dari kebijakan tersebut dan sebaliknya, pengusaha beserta politisi menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut. Pada akhirnya, Permen KP 12/2020 akan menjadi kebijakan yang diarahkan sebesar-besar untuk kemakmuran pengusaha dan politisi.

Melihat perkembangan yang sekarang terjadi, KIARA berpandangan bahwa Menteri KP Edhy Prabowo seharusnya mendapatkan evaluasi yang tegas dari Presiden RI Joko Widodo. Edhy di mata KIARA masih belum bekerja untuk kepentingan masyarakat, khususnya nelayan Lobster.

Keberpihakan kepada pengusaha dan politisi, menegaskan bahwa KKP di masa kepemimpinan Edhy Prabowo sudah tidak lagi mau menerapkan prinsip transparansi seperti yang diterapkan pendahulunya, Susi Pudjiastuti. Padahal, akibat kebijakan tersebut ada masyarakat bahari yang mengalami kerugian akibat kebijakan tersebut.

“Kebijakan pemberian izin ekspor benih lobster tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh KKP, karena tak ada unsur transparansi. Apa dasar pemilihan dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan itu? Masyarakat tak ada yang mengetahui itu,” tegas dia.

Berdasarkan hal itu, KIARA meminta Edhy Prabowo untuk segera membatalkan Permen KP 12/2020, karena itu berdampak buruk sangat besar bagi nelayan, keberlanjutan ekosistem perairan, dan perekonomian negara.

Menurut Susan, ada mandat yang lebih penting dan harusnya dijalankan oleh Edhy Prabowo, yaitu menjalankan amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan dan Petambak Garam.

“Itu yang lebih penting, namun sayangnya orientasi kebijakan hanya mengedepankan kepentingan segelintir orang, yaitu eksportir, ketimbang mendorong kedaulatan dan keberlanjutan laut Indonesia,” pungkas dia.

baca juga : Menjaga Prinsip Keberlanjutan dalam Pemanfaatan Lobster

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Legalisasi

Diketahui, pada 4 Mei 2020 KKP menerbitkan Permen KP 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Permen tersebut terbit, salah satunya untuk melegalisasi ekspor benih Lobster.

Tak lama, KKP langsung menunjuk perusahaan yang bertugas untuk melaksanakan ekspor. Sejak terbit hingga sekarang, tercatat sudah ada 30 perusahaan yang ditunjuk sebagai eksportir benih lobster. Jumlah perusahaan diketahui bertambah secara bertahap, setelah banyak yang mendaftar untuk menjadi eksportir.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo menegaskan tak ada keistimewaan atau privilege terhadap perusahaan tertentu terkait regulasi lobster. Bahkan, dia menjamin dirinya tak memiliki motif pribadi selain demi nelayan dan kemajuan budidaya lobster.

“Dulu dipermasalahkan karena pertama kali keluar 9 perusahaan, diberi privilege. 9 apa itu sedang berproses semua dan dari 26 yang ada ini terus berjalan sampai 31 terus lagi, siapapun silakan masuk,” tegas Menteri Edhy saat memberikan penjelasan terkait persoalan lobster di rapat kerja dengan Komisi IV DPR, di gedung parlemen, Senin (6/7/2020).

Dalam pemberian izin, Edhy melibatkan seluruh jajarannya di KKP, termasuk inspektorat untuk melakukan pengawasan. “Pemberian izin itu tidak dari menteri. dari tangkap ada, budidaya ada, karantina ada. Irjen kami libatkan Sekjen kami minta awasi,” katanya dalam siaran pers KKP.

Semangat pemberian izin penangkapan benih lobster, lanjutnya, untuk menghidupi nelayan yang selama ini bergantung dari komoditas tersebut. Edhy mengungkapkan, berdasarkan kajian akademis, prosentase kelangsungan hidup (survival rate) benih bening lobster jika dibiarkan di alam hanya 0,02% atau hanya satu dari 20.000 yang bakal tumbuh hingga dewasa. Sebaliknya, jika dibudidayakan, survival rate benih losbter bisa meningkat 30-80%, tergantung metode budidayanya.

“Kalau ditanya berdasarkan apa kami memutuskan, sebetulnya berdasarkan nilai historis kemanusiaan karena rakyat kita butuh makan dan berdasarkan penelitian juga ada,” jelasnya.

Adapun potensi lobster di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, lebih dari 27 miliar. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari 6 jenis lobster yang terdapat di Indonesia, dimana dua di antaranya, pasir dan mutiara tergolong sebagai komoditas populer.

perlu dibaca : Aksi Penyelundupan Lobster Terus Terjadi di Jambi, Mengapa?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo usai memberikan penjelasan terkait persoalan lobster di rapat kerja dengan Komisi IV DPR, di gedung parlemen, Senin (6/7/2020). Foto : KKP

 

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan, jumlah perusahaan yang sudah mendaftar hingga sekarang untuk mengajukan permohonan ekspor benih Lobster sudah mencapai 100.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 perusahaan dinyatakan sudah memenuhi kriteria berdasarkan hasil pengecekan Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster Kementerian Kelautan Perikanan.

Zulficar menjelaskan, sebelum melaksanakan ekspor, setiap eksportir wajib untuk memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya adalah berhasil melaksanakan panen budi daya lobster dengan metode dan melepasliarkan dua persen dari hasil panen.

”Lobster yang dilepasliarkan seharusnya berasal dari hasil budidaya yang sudah dilakukan,” katanya seperti dikutip dari kompas.id.

Selain hal di atas, Zulficar menambahkan, sampai sekarang belum ada kuota ekspor benih Lobster untuk perusahaan. Meskipun, kuota penangkapan sudah ditetapkan sebanyak 139.475.000 ekor per tahun dengan alokasi 70 persen untuk budidaya dan 30 persen untuk ekspor.

Berikut adalah daftar perusahaan eksportir yang sudah ditetapkan sampai sekarang berdasarkan data KKP:

  1. PT Samudera Bahari Sukses
  2. PT Natura Prima Kultur
  3. PT Royal Samudera Nusantara
  4. PT Grahafoods Indo Pasific
  5. PT Aquatic Lautan Rezeki
  6. CV Setia Widata
  7. PT Agro Industri Nasional (11)
  8. PT Alam Laut Agung (12)
  9. Gerbang Lobster Nusantara (13)
  10. PT Global Samudera Makmur (14)
  11. PT Sinar Alam Berkilau (15)
  12. PT Wiratawa Mitra Mulia (16)
  13. UD Bali Sukses Mandiri (17)
  14. UD Samudera Jaya (18)
  15. PT Elok Monica Grup (19)
  16. CV Sinar Lombok (20)
  17. PT Bahtera Dama Internasional (7)
  18. PT Indotama Putra Wahana (8)
  19. PT Tania Asia Marina (9)
  20. CV Nusantara Berseri (10)
  21. PT Pelangi Maritim Jaya (21)
  22. PT Maradeka Karya Semesta (22)
  23. PT Samudera Mentari Cemerlang
  24. PT Rama Putra Farm
  25. PT Kreasi Bahari Mandiri
  26. PT Nusa Tenggara Budidaya
  27. PT Bima Sakti Mutiara
  28. PT Lombok Lautan Bersama
  29. PT Global Perikanan Nusantara
  30. PT Maritim Maju Perkasa

 

Exit mobile version