Mongabay.co.id

Pemberlakuan Pukat Trawl Membunuh Nelayan Tradisional

 

Rencana pemberlakuan kembali penggunaan alat tangkap ikan pukat trawl dan sejenisnya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mendapat penolakan dari nelayan tradisional di Indonesia, khususnya nelayan tradisional di Sumatera Utara. Jika itu diizinkan kembali, maka akan terulang kembali pertumpahan darah seperti terjadi pada 2012.

Penolakan penggunaan alat tangkap trawl ini disampaikan oleh ratusan nelayan tradisional di Sumut, dalam pertemuan rapat umum melindungi laut Indonesia, yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (30/6/2020).

Nelayan tradisional dari Serdang Bedagai menyatakan dari 2003 sampai 2015 di pesisir pantai timur Sumut terjadi paceklik ikan, akibat penarikan pukat trawl atau pukat harimau secara besar-besaran.

Khususnya di Tanjung Beringin, Serdang Bedagai saat itu terjadi eksodus besar-besaran, dikarenakan perahu nelayan 90% berhenti beroperasi kegiatan karena perahu-perahu nelayan terjual dan lapuk.

“Apakah nelayan kita ke depan kembali di eksodus keluar dari ruang kelolanya akibat diresmikannya kembali pukat trawl ini. Lawan atau membiarkan keputusan menteri ini. Intinya sebenarnya adalah di Serdang Bedagai juga mengalami kesulitan,” ungkap Nasri, perwakilan nelayan tradisional dari Kabupaten Serdang Bedagai.

baca : Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

 

Mabes Polri menangkap kapal berbendera Malaysia saat mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan pukat trawl ini. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Tajruddin Hasibuan atau dikenal dengan sapaan Sangkot, Kepala Bidang Konservasi DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan di Sumut konflik besar terkait masalah pukat trawl itu terjadi pada 2012 yang akhirnya merenggut nyawa dua nelayan, satu ditemukan, seorang lagi hingga saat ini tidak diketahui rimbanya. Kejadian ini didorong juga adanya oknum aparat yang membekingi beroperasinya pukat trawl atau pukat harimau dan sejenisnya yang masuk dalam alat tangkap perusak dan mereka tolak untuk diizinkan kembali beroperasi..

Setidaknya ada 75 orang ditangkap pada waktu itu kemudian diadvokasi oleh KNTI dan berhasil dilepas. Ini merupakan gambaran yang buruk penegakan hukum. Hari ini ada semacam pola yang sengaja dimainkan agar alat tangkap merusak itu bisa langgeng dan terus beroperasi. Mereka masih mengoperasikan trawl dengan modus mengganti nama tetapi alat tangkap tetap sama.

“Hal ini semakin membuat runyam dan buruk. Para toke atau pengusaha sudah memperkecil alat tangkap mereka. Berbaur dengan nelayan tradisional namun tetap mengoperasikan alat tangkap perusak,” jelas Sangkot.

Dia mengatakan agar nelayan dapat izin, ukuran kapal diperkecil antara 5 GT hingga 13 GT. Ini untuk mengelabui petugas, karena sesuai aturan untuk alat tangkap dibawah 15 GT hanya memberikan surat pemberitahuan saja. Pada prinsipnya petugas tahu tetapi dibiarkan dan ini merupakan kesalahan besar.

Sangkot menyatakan saat ini perlu dilakukan gugatan hukum atau upaya hukum lain atas adanya pembiaran dan back up oknum penegak hukum terhadap nelayan menggunakan alat tangkap trawl perusak yang secara otomatis merugikan nelayan tradisional.

“Melakukan pembiaran terhadap nelayan menggunakan pukat trawl merupakan tindakan melawan hukum, dan harus diproses hukum,” tegasnya.

baca juga : Edhy Prabowo Harus Batalkan Rencana Revisi Pelarangan Cantrang, Kenapa?

 

Setelah putusan berstatus berkekuatan hukum tetap, lebih 51 kapal asing ditenggelamkan dalam kejahatan perikanan menggunakan alat tangkap trawl. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Trawl dan Cantrang

Sedangkan Prof. Ari Purbayanto dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan pukat trawl atau pukat hela atau diseret adalah alat tangkap yang populer dan efektivitas penangkapannya sampai sekarang berkembang pesat, termasuk di Australia dan hampir di belahan dunia, termasuk Malaysia dan Singapura. Ini sangat luar biasa, tetapi mereka bisa mengontrolnya. Begitu juga alat tangkap cantrang, sejak tahun 1960 sudah popular di pantai Jawa.

Sampai akhirnya alat tangkap menggunakan trawl ini dilarang karena adanya Keputusan Presiden No.39/1980, sehingga beralih ke cantrang.

Dua alat tangkap, menurutnya, sudah ada SNI mengatur definisi konstruksinya, tetapi SNI ternyata diacuhkan. Perbedaan keduanya, bila cantrang tidak memiliki alat pembuka dan dioperasikan melingkar. Kalau trawl, cara kerjanya alat tangkap diturunkan, langsung diseret kemudian kapalnya diam.

Kedua alat tangkap ini bentuk konstruksi yang sudah diatur, kemudian muncul Permen KP No.2/2015 melarang penggunaan pukat hela atau pukat trawl khususnya, dan pukat tarik.

Ternyata larangan ini memicu aksi demonstrasi, dan pada akhirnya muncul rekomendasi Ombudsman agar itu diberikan kelonggaran, lalu disetujui sampai sekarang. Bahkan hingga saat ini mereka tetap beroperasi hanya dengan surat edaran Dirjen KKP, yang sebenarnya sangat riskan sekali, karena tidak memiliki dasar hukum kuat.

perlu dibaca : Susan Herawati: Masalah Nelayan bukan Hanya Cantrang

 

Kapal Hiu 2801 menangkap kapal dari Thailand mencuri ikan di perairan Selat Malaka Indonesia mengfgunakan trawl dan ditenggelamkan. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kalau dilihat sejarahnya, ada berbagai nama dan ukuran pukat di seluruh Indonesia, seperti bernama pukat Apollo di Selat Malaka. Artinya masyarakat umum paham dan menggunakannya. “Ini menyulitkan pengelolaan, menyulitkan pengawasan juga,” jelas Prof. Ari.

Kalau cantrang yang benar tidak lebih buruk dari trawl, tetapi permasalahannya alat tangkap cantrang ada yang ditempah, diperbesar dan dimodifikasi kemudian modalnya besar seperti trawl yang merusak. “Itu bukan cantrang lagi namanya, tapi yang menjadi kena imbasnya adalah cantrang sebenarnya,” katanya.

“Makanya saya bingung kepada bu Susi kenapa alat tangkap cantrang itu tidak diperbolehkan. Padahal kalau alat tangkap cantrang yang benar itu beda dengan trawl yang bisa begitu banyak merusak biota laut ketika dia beroperasi menjaring apa saja yang ada di laut,” jelasnya.

Meski sudah dilarang pada saat itu, nelayan masih banyak yang menggunakan. Sehingga diupayakan trawl dan cantrang menjadi ramah lingkungan dengan cara teknologi tertentu, meski nelayan tidak mau menggunakannya.

Menurut Prof. Ari, pemerintah perlu mengatur cantrang dan trawl dengan menetapkan jalur operasinya, penetapan jumlah dan ukuran armada, penetapan lokasi penangkapan. Karena sudah diatur, satu perusahaan cukup 10 cantrang dan itu harus dipatuhi. Jadi kalau ada cantrang rusak baru digantikan.

Selanjutnya pengaturan penetapan kadar baku trawl dan cantrang ramah lingkungan untuk menjadi pengawasan. Menurutnya, hal itu bisa dilaksanakan karena sudah ada teknologi dan risetnya di Australia.

“Kenapa di Indonesia tidak bisa. Itu karena masyarakat tidak diajak bersama untuk diskusi soal itu, soal pengaturannya,” tegas Prof. Ari.

Menurutnya, trawl dan cantrang harus diatur penggunaannya dan sanksi hukum pelanggarannya. “Kalau tidak kita sulit karena dilarang pun tetap akan terjadi curi-curian kalau tidak ya seperti ini sumber daya yang akan hancur,” katanya.

Jika trawl dan cantrang dikelola dengan baik dan benar, maka semua pihak yaitu nelayan dan industri perikanan akan bahagia dan sumber daya perikanan nasional bisa terselamatkan.

baca juga : Cantrang dan Jerit Nelayan di Pulau Bontosua

 

Nelayan tradisional pencari ikan dan kepiting mendapatkan imbas pahit jika trawl diberlakukan kembali. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Sejarah Trawl

Dedi S Adhuri, Peneliti Antropologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan penggunaan trawl di Indonesia dimulai pada pertengahan 1960-an bersamaan dengan penggunaannya di Malaysia dan Selat Malaka.

Pada tahun 1971 mulai bergerak ke pantai utara Jawa dan juga Cilacap. Saat itu ada 800 armada pengguna trawl, dan meningkat menjadi 935 armada pada 1974, dan 1300 kapal pengguna trawl pada 1977. Dan ada 230 kapal menggunakan trawl di Cilacap. Jumlahnya terhenti total setelah Presiden Soeharto melarang penggunaan pukat trawl melalui aturan No.39/1980, yang kemudian direvisi tahun 1982.

Sejak itu perusahaan besar bergerak ke Indonesia bagian timur dengan skema joint venture.  Sejak saat itulah  terjadi eksploitasi besar-besaran memakai alat tangkap pukat trawl, khususnya di laut Arafura. Sampai akhirnya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengambil berbagai kebijakan penyelamatan laut dan sumberdaya yang ada dan kapal asingnya mulai hilang.

Namun menurutnya pencurian ikan di laut Indonesia khususnya di Selat Malaka dan juga di laut Jawa tidak pernah berkurang, tetapi lebih serius di Selat Malaka tidak ada pengurangan dari praktek penggunaan alat tangkap trawl, kecuali saat Presiden Soeharto mengimplementasikan  peraturan larangan penggunaan trawl pada tahun 1980-an. Setelah itu sebagian terang-terang melakukannya, sebagian lagi menggunakan alat tangkap ini dengan nama lain atau berbagai macam strategi.

“Itu sejarah permasalahan alat tangkap trawl di Asia Tenggara dan di Indonesia,”, jelas Dedi

 

Sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring pukat hela (trawl). Foto : awionline.org

 

Penggunaan trawl oleh armada kapal Thailand sejak 1960-an sampai sekarang menimbulkan indikasi over eksploitasi. Ketika sumberdaya alamnya habis, kapal dia bergerak ke Kamboja, Birma, Malaysia dan ke Indonesia.

Sedangkan di Indonesia, jelas Dedi, sejak 1979, di Selat Malaka maupun di utara Pulau Jawa, eksploitasi perikanan sudah pada level di atas maximum sustainable. Terjadinya over eksploitasi.

Sehingga ketika trawl diperbolehkan kembali digunakan saat ini, ada kekhawatiran akan menambah tekanan masalah, utamanya kepada nelayan tradisional, dan merugikan sumberdaya alam dimasa yang akan datang.

Secara sosial diketahui pukat trawl menjadi keresahan bagi nelayan kecil karena menjadi kompetitor utama.  Pukat trawl juga masuk ke pesisir. Alat tangkap ini juga mengancam atau mengganggu alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Ketika trawl beroperasi di pesisir maka alat tangkap nelayan kecil ikut rusak dan ikut terbawa.

“Jadi ada dua ancaman yang dilahirkan oleh penggunaan trawl di perairan Indonesia khususnya di Selat Malaka, yang pertama kompetitor, nelayan kecil terganggu karena alat tangkapnya kalah dengan alat tangkap trawl yang ditarik oleh kapal besar,” jelas Dedi.

Sehingga Dedi menyarankan trawl agar tetap dilarang digunakan dan perlu mengajak diskusi berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini.

 

 

Sebelumnya, dalam forum konsultasi publik terkait PNBP bidang perikanan yang digelar KKP pada Selasa (9/6/2020), Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Trian Yunanda memberikan pernyataan mewakili Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar.

Menurut dia, revisi Permen KP No.86/2016 dan Permen KP No.71/2016 dilakukan untuk mendorong investasi pada subsektor perikanan tangkap. Dalam revisi akan diatur salah satunya tentang pengoperasian delapan jenis API yang dilarang pada dua Permen KP yang sekarang masih berlaku.

“Akan ada beberapa tambahan jenis alat tangkapan dan kapal dengan alat tangkapan ikan baru yang sebelumnya dilarang. Dengan revisi Permen ini menjadi dibolehkan,” ungkapnya dalam forum diskusi yang digelar secara virtual itu.

Adapun, API yang akan dibolehkan beroperasi kembali, di antaranya pukat hela dasar (trawl) udang, payang, pukat tarik (seine nets) yang termasuk di dalamnya adalah cantrang dan sejenisnya, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.

 

Exit mobile version