Mongabay.co.id

Geo Virtual Gunung Agung, Kapan Bisa Dibuka Kembali?

 

Ini tur virtual ke kawah Gunung Agung, mengamati empat kawahnya, dan menganalisis material jejak beberapa kali erupsi. Saat ini Gunung Agung masih terlarang didekati karena masih siaga level 3. Kapankah Gunung Agung bisa kembali dibuka untuk didaki?

Ini salah satu pertanyaan warga dalam diskusi Weekly Webinar Series on Agung Volcano bertajuk Geovirtual of the Agung Volcano from the surface to the deep Speakers. Menampilkan sejumlah peneliti ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yakni Dr. I.G.B. Eddy Sucipta, Dr. Eng. Asep Saepuloh, dan Adzkia Norma pada Jumat (19/6/2020).

Dari laporan BPVMBG yang rutin dilaporkan, Gunung Agung dengan ketinggian 3142 mdpl ini masih terlarang bagi pendaki atau wisatawan. Warga diminta tidak melakukan pendakian dan tidak melakukan aktivitas apapun di Zona Perkiraan Bahaya yaitu di seluruh area di dalam radius 4 km dari kawah puncak Gunung Agung. Zona Perkiraan Bahaya sifatnya dinamis dan terus dievaluasi dan dapat diubah sewaktu-waktu mengikuti perkembangan data pengamatan G. Agung yang paling aktual/terbaru.

Yanendra, relawan pemantau Gunung Agung yang masih aktif berkomunikasi dengan relawan desa lainnya mengatakan warga yang mukim di area terdekat masih merasakan getaran yang diyakini bukan gempa bumi tektonik biasa. Karena itu ia mengkonfirmasikan kegundahan rekannya ini. Apakah ada kemungkinan erupsi lagi?

baca : Mengintip Erupsi Gunung Agung dari Pura Penataran Lempuyang

 

Gunung Agung tertutup sepotong awan di jalan desa menuju pura Pura Lempuyang, Karangasem, Bali. Terlihat cerah tapi saat di tengah bukit sudah berkabut. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di sekitar aliran-aliran sungai yang berhulu di Gunung Agung hingga kini masih diminta mewaspadai potensi ancaman bahaya sekunder. Berupa aliran lahar hujan yang dapat terjadi terutama pada musim hujan dan jika material erupsi masih terpapar di area puncak. Area aliran lahar hujan mengikuti aliran-aliran sungai yang berhulu di Gunung Agung.

Eddy Sucipta, salah satu peneliti yang melakukan beberapa kali penelitian geologi dan pelatihan mitigasi ke sekolah sekitar Gunung Agung mengatakan sulit menjawab apakah Gunung Agung akan erupsi lagi? Karena harus lihat keseluruhan intsrumen. “Potensi bertambah jika magma sudah mengalami diferensiasi, membentuk mineral hornblande, dan apakah ada injeksi magma baru untuk memicu. Harus lihat realtime deformasi dan kegempaan,” paparnya. Saat ini masih level siaga 3, karena masih ada sejumlah gempa vulkanik dalam.

Menurutnya semua getaran gempa terkait Gunung Agung. Harus lihat ke arah puncak misal adakah asap. Bisa jadi gempa tektonik, dekat dengan Pulau Lombok. Ia mengajak warga rajin cek situasinya di aplikasi Magma Indonesia https://magma.vsi.esdm.go.id oleh PVMBG untuk real time, karena warga bisa mengaksesnya.

Ia menyebut sudah direncanakan sosialisasi tentang hasil penelitian ini di Bali pada Februari, namun diganti online karena pandemi. Tujuannya, agar apa yang diteliti di Gunung Agung bisa diketahui warga.

Eddy dan rekannya dari ITB melakukan penelitian dengan melihat dari permukaan lalu ke dalam.

baca juga : Melihat Suksesi Alam Pasca Letusan Gunung Agung Bali

 

Contoh batuan dari erupsi Gunung Agung tahun 1963. Foto : tim penelitian tim ITB

 

Di Bali ada dua gunung aktif, Gunung Agung dan Batur. Agung termasuk produk busur Sunda. Erupsi pada 2017-2019 beberapa kali menutup bandar udara di Bali dan Lombok. Letusannya dinilai tipe strombolian dan vulcanian. Pada 2017-2019, volcanix ekxplosivity Index (VEI)-nya di bawah 2.

Sementara pada 1963 lebih dari 1000 meninggal dan VEI 5, termasuk salah satu letusan besar di abad 20. Yang menghancurkan areal sekitarnya adalah aliran larva dan lemparan material. “Kami mengambil sampel di permukaan untuk melihat ke dalam, ke magmanya,” ujarnya.

Geologi regional dari satuan batuannya didominasi produk vulkanik, formasi ulakan lava, dan khas lava bantal. Misalnya di Goa Lawah, peneliti dapat fosilnya berusia sekitar 2,4 juta termasuk muda.

Morfologinya, hampir di semua bukit, lava yang masuk adalah air. Morfologi kawahnya, ada 4 kawah, pertama yang tertua adalah kawah dampak erupsi pertama, kemudian dipotong kawah kedua, lalu kawah ketiga, dan terakhir kawah keempat. “Ada hal menarik bentuknya seperti bagian yang kolaps saat aktivitas 2017-2019,” lanjut Eddy. Bentuk kolaps ini dikonfirmasi ke maps google earth dan jadi jalur sungai saat musim hujan.

Gempa terjadi lebih dari 600 pada September-Oktober sebelum meletus pertama pada November 2017. “Sudah magmatik, pada 27 November terlihat ada 2 asap warna putih dan gelap yang menunjukkan kemungkinan ada 2 sumber yang mengandung uap air sehingga berwarna putih dan mengandung material vulkanik sehingga warnanya gelap,” lanjut Eddy. Dalam kepercayaan Hindu di Bali, dua warna hitam dan putih dianggap warna sakral simbol rwa bhineda, keseimbangan alam, hitam dan putih, namun satu.

Saat musim hujan, ada aliran lahar dingin di sejumlah sungai. Aliran seismik ini digantikan sumbatan lava baru. Muntahan material inilah yang diteliti untuk diperkirakan.

perlu dibaca : Mengenal Potensi dan Belajar Mitigasi Bencana di Kaki Gunung Agung. Bagaimana itu?

 

Peta Geologi Gunung Agung, Bali. Foto : tim penelitian ITB

 

Namun para peneliti ini menyebut letusan besar pada 1963 tak punya data hanya foto, produknya piroklastik mengikuti arah angin timur ke barat, lalu lava mengalir ke utara. Melewati tepi kawah hasil erupsi 1963. Dari analisis morfologi, kemungkinan ditahan sisa kawah pra erupsi 1963. Karena itu, beruntung letusan tak eksplosif ke arah Pura Besakih yang saat itu sedang menghelat upacara sakral 100 tahun sekali. “Tidak dilalui awan panas karena dijaga sisa kawah nomor 2, namun pura kena lontaran dan hujan abu,” jelasnya.

Peneliti melihat Gunung Agung dari permukaan, lihat sampel dan analisis bebatuan, bagaimana produk ini muncul. Fokus ke lava karena lebih memungkinkan adanya magma. Tim ini mencari sisa lava di lapangan, dan ditemukan di antaranya di Desa Belong, blok reruntuhan dua batuan warna beda, agak hitam dan kecoklatan. Ada proses percampuran magmatik. Coklat disebut masuk sebagai fragmen di warna gelap setelah dianalisis secara mikrokospis. Teksturnya ada gelas vulkaniknya, muncul mineral horblende, mineral pertama yang mengandung gugus air.

Adzkia Noerma, asisten peneliti menambahkan pihaknya menggunakan alat dengan micro texture dan mineral chemistry. Karakteristik erupsi 2018 beda secara kimiawi dengan lainnya. Memiliki magma bersifat basaltik dibanding periode sebelumnya. Mikro tekstur mengindikasikan open system di dapur magma, dengan recharge magma yang lebih basaltik. Letusannya tak terlalu besar pada 2018.

Material erupsi 2018 lebih basaltik dilihat dari komposisi mineralnya. Pada 1963 lebih kaya air, sehingga terbentuk mineral hornblande. Namun hasil penelitian ini disebut akan lebih detail jika memiliki data pra 1963. “Kami akan coba mencari termasuk mengonfirmasi. Apakah dari satu induk magma? Atau magma lain? Kalau satu induk, diinjeksi dengan baru lalu meletus,” kata Eddy.

Pada letusan terakhir, ada injeksi magma baru yang dominan sehingga letusannya tak sebesar 1963. Riset ini disebut akan tetap berlanjut.

baca juga : Memetakan Kerawanan Bencana Lokasi Sekolah

 

Foto udara SMPN 5 Kubu, Karangasem, Bali, yang dipotret Tim ITB. Foto: Arsip ITB/Mongabay Indonesia.

 

Menilai Kerawanan untuk Anak Sekolah

Selain melakukan penelitian material erupsi, tim peneliti ini juga memetakan tingkat kerawanan bagi sekolah di kawasan Gunung Agung. Diikuti pelatihan kesiapsiagaan dan mitigasi.

Asep Saefuloh menyebut setelah tiga kali sesi pelatihan, pihaknya hendak datang lagi pada Mei-Juni ini namun terhadang pandemi. Anak-anak mendapat pengetahuan dan pengalaman memetakan tingkat kerawanannya. Memperdalam sekolah siaga bencana, siap menghadapi bencana, dan meningkatkan respon pengelola sekolah. “Konsep bencana jika ada bahaya dan kerentanan. Bencana tidak ada kalau kerentanan nol. Silakan meletus, atau lava mengalir karena tak dicegah,” ingat Asep.

Kerentanan bisa diturunkan untuk mengurangi bencana, bahkan bisa nol. Tujuh penyebab korban meninggal adalah awan panas yang bisa sampai 200 km per jam, lava, abu vulkanik, gempa bumi, dan reruntuhan batuan. Kebanyakan sekolah di sekitar Gunung Agung sangat dekat, bahkan ada 4 km dari puncak. Selain risiko awan panas juga akibat bebatuan runtuh. Distribusi laharnya sangat jauh sampai hilir.

Solusinya, identifikasi bagaimana dan arah evakuasi. Kajian lokal berbeda karena tiap sekolah punya potensi kerentanan berbeda. Misal di SMPN 3 Bebandem, risikonya lahar, longsor, awan panas, penambangan pasir piroklastik dari letusan sekitar sekolah. Tebing mulai ambrol di aliran lahar yang berdampingan dengan sekolah karena ada loaksi penambangan pasir juga.

 

Exit mobile version