Mongabay.co.id

Tokoh Adat Sungai Medang Terjerat Kasus Sawit dan Kebun Karet di Tesso Nilo

 

 

 

 

Abdul Arifin, tokoh adat Sungai Medang, Desa Kusuma, Kecamatan Pangkapan, tertunduk mendengar vonis hakim hari itu. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Palalawan, Bambang Setyawan, Nurrahmi dan Rahmat Hidayat Batubara memvonis Arifin, 1,6 tahun penjara, denda Rp50 juta karena tanam karet dalam Taman Nasional Tesso Nilo pada 23 Juni lalu. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa selama dua tahun.

Arifin berkebun karet dalam TNTN dan mendirikan pondok kayu di lahan 3,69 hektar lahan hingga terjerat Pasal 40 Ayat (2) jo Pasal 33 Ayat (3) UU RI No 5/1990 tentang, Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aksinya tak sesuai fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional.

Kesalahan Arifin dibuktikan dengan SK Kawasan Hutan Riau, diperkuat dengan SK penetapan TNTN dan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tentang zonasi TNTN. Kebun Arifin berada dalam zona rehabilitasi taman nasional yang merupakan kantong gajah Sumatera di Riau.

Zulherman Idris, Penasihat Hukum Arifin mengatakan, kebun karet itu berada di tanah ulayat Pebathinan Sungai Medang. “Meski belum diakui legal, mengenyampingkan fakta ini dinilai tidak adil.” Zulherman minta, masyarakat adat pimpinan terdakwa Abdul Arifin harus dapat perlindungan hukum.

Dia juga mengkritik penetapan TNTN tanpa tapal batas dan tidak mengikuti prosedur pengukuhan kawasan seperti diatur dalam UU Kehutanan hingga belum memiliki kepastian hukum. Hal ini, berdampak pada kriminalisasi masyarakat dan menimbulkan konflik tenurial.

“Terlebih lagi TNTN dikuasai berbagai pihak salah satunya, para cukong,” kata Zulherman dalam pembelan.

Majelis juga menyinggung soal itu dalam putusan. Menurut Bambang, penyelesaian sengketa masyarakat adat dalam TNTN yang berlarut-larut karena pemerintah tak tegas mengeluarkan peraturan daerah mengatur dan mengakui ada masyarakat hukum adat di Kabupaten Pelalawan.

“Tanpa ada penyelesaian serius dari semua pihak, baik masyarakat adat, pemerintah pusat, kabupaten dan keterlibatan pemerhati lingkungan dengan cara-cara alternatif, penegakan hukum dalam TNTN tidak akan pernah tuntas dan selalu jadi masalah kemudian hari,” kata Bambang.

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Penegakan hukum sepotong-sepotong

Kasus ini bermula, kala Kepala Seksi Wilayah II TNTN Ibram Eddy Chandra bersama dua rekannya, Amir Hamzah dan Tomy Adi Wibowo, patroli di seputaran TNTN, Senin 5 Agustus 2019. Sekitar pukul 8.00 malam, mereka berhenti pada kebun karet, Dusun VI Sungai Medang, Desa Kusuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan.

Amir Hamzah langsung mengambil titik koordinat dan mem-plotting ke peta TNTN. Di sekitar lokasi juga terbakar. Salah seorang pemilik lahan yang mereka ketahui, adalah Abdul Arifin. Ibram Eddy Chandra melaporkan ke Polres Pelalawan.

Tim Sat Reskrim Polres Pelalawan meninjau lokasi lima hari kemudian. Sekitar pukul 17.00, mereka mendatangi rumah Arifin untuk mengklarifikasi laporan dan temuan di lokasi. Malam itu juga Arifin dibawa ke Polres dan diperiksa lebih lanjut.

Pada 4 November 2019, Arifin masuk Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru. Satu bulan kemudian dia sidang Hakim PN Pelalawan. Sejak itu, dia minta jadi tahan rumah karena harus bolak-balik rumah sakit cek gula darah.

Dalam persidangan, Arifin protes karena hanya dia saja yang dipermasalahkan. Banyak oknum lain yang menguasai areal dalam TNTN. Sempadan kebun karet dikuasai seseorang bernama Cirus Sinaga. Dia jadi saksi tetapi tak pernah hadir dalam pemanggilan sidang.

Protes Arifin beralasan. Dia yang menghibahkan lahan pada Cirus Sinaga seluas 300 hektar dengan sagu hati Rp1,5 miliar. Arifin keluarkan 30 surat hibah atasnama Batin Hitam Sungai Medang buat Cirus Sinaga, istri beserta empat anak. Penyerahan lahan itu terjadi sekitar April 2014 setelah mereka bertemu di salah satu hotel di Pekanbaru.

Cirus Sinaga baru menguasai dan mengelola sekitar 100 hektar. Dia tanam sawit. Sisanya, masih semak belukar. Dia berutang Rp40 juta lagi pada Arifin karena belum melunasi sagu hati yang disepakati.

Ibram bilang, penangkapan Arifin berawal dari temuan kebakaran di lahan Cirus. Saat itu, mereka bersama Polsek Pangkalan Kuras terlebih dahulu menangkap penjaga lahan Cirus dan membawa ke Polres Pelalawan.

Penjaga lahan itu menyebut, Cirus beli lahan pada Arifin dan api muncul pertama kali dari lahan Airifn yang bersempadan.

Kata Ibram, penyidik Polres Pelalawan setelah itu menangkap Arifin karena domisili di Bukit Kesuma, mudah terjangkau. Baik lahan Cirus maupun Arifin yang terbakar, sama-sama diberi garis polisi dan telah diambil titik koordinat untuk menghitung luas kebakaran serta mengetahui status kawasan.

“Lahan Cirus terbakar lebih luas. Arifin kita hitung enam sampai tujuh hektar,” kata Ibram.

Sampai saat ini, Ibram dan tim yang melihat lahan Cirus terbakar belum ada diperiksa seperti yang dilakukan penyidik dalam kasus Arifin. Polres janji akan mengembang kasus ini tetapi belum ada diminta keterangan.

“Harapannya, kasus itu memang harus berkembang ke pemilik lain karena Arifin juga jual lahan ke beberapa orang,” kata Ibram. Dia akan koordinasi dengan Polres Pelalawan untuk kelanjutan status Cirus.

Hakim Bambang juga menyinggung, penegakan hukum oleh Satgas Karhutla dalam TNTN sepotong-potong dan hanya untuk kepentingan sesaat.

Kasat Reskrim Polres Pelalawan Teddy Ardian tidak menjawab konfirmasi Mongabay. Pertama kali dihubungi via telpon seluler, Teddy bilang masih sibuk dalam rangkaian kegiatan Hari Bhayangkara. Setelah itu, dia tidak menjawab panggilan dan membalas pertanyaan yang dikirim ke WhatSapp.

 

Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo. Tesso Nilo merupakan salah satu kantong besar gajah Sumatera di Riau. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sawit di Arara Abadi

Hari itu, Arifin vonis kasus lain. Majelis hakim PN Palalawan juga menghukum Arifin dua tahun penjara, denda Rp2 miliar, lebih ringan dari tuntutan jaksa empat tahun, denda Rp2,5 miliar. Arifin terjerat kasus tanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin menteri, yang berada di konsesi PT Arara Abadi, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP).

Masalah mulai pada 10 Oktober 2016. Tim Sekuriti PT Delta Garda Persada—mitra keamanan Arara Abadi—Yusuf Effendi, Samsurizal, Hosyen dan Zalex Akbar melihat Arifin dan beberapa warga mendirikan pondok kayu di sekitar tanaman sawit.

Persis di Pintu I Barak Bencong, Dusun Sungai Medang, Desa Kusuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan.

Yusuf Efendi dan Samsurizal menghampiri mereka dan menanyakan pemilik bangunan. Arifin seketika menjawab, mereka berada di tanah ulayat Bathin Hitam Sungai Medang.

Sebaliknya, Samsurizal meminta aktivitas setop karena di konsesi Arara Abadi. Arifin tidak menghiraukan larangan itu. Samsurizal mengambil beberapa foto. Saat itu diperkirakan masih empat hektar dikuasai.

Syamsurizal melaporkan kejadian itu. Kepala Humas Arara Abadi Distrik Nilo Jailun Sinaga kirim surat teguran ke Arifin hingga tiga kali. Pada 11 Oktober, 28 November dan 20 Desember.

Karena tidak ada respon, Januari 2017, Jailun bersama Kepala Planning Arara Abadi Gunaning kembali meninjau lokasi. Arifin ternyata tetap mengolah lahan di sana.

Gunaning kemudian ambil koordinat di beberapa titik kebun sawit termasuk di pondok yang dibangun Arifin. Hasil plotting area berada pada Petak 285 A02 milik Arara Abadi.

Luas yang dikuasai sudah mencapai 20 hektar, antara lain, 15 hektar kebun sawit, dua hektar kebun jeruk, sisanya dibangun pondok untuk 28 keluarga atau anak kemenakan Bathin Hitam Sungai Medang.

Kartografer Seksi Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Bidang Penataan dan Perencanaan Hutan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau Adlin Sitorus juga plotting tujuh titik koordinat. Berdasarkan SK Kawasan Hutan Riau 2016, Arifin menguasai areal dalam hutan produksi tetap (HP) Tesso Nilo.

Areal itu juga bagian dari hutan tanaman Industri (HPHTI) Arara Abadi sejak 1996.

Menteri Lingkugan Hidup dan Kehutanan juga menyetujui dalam rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri atas nama Arara Abadi untuk jangka waktu 2017-2026.

Zulherman Idris mengatakan, lahan dalam kasus ini juga bagian dari wilayah adat atau tanah ulayat Bathin Hitam Sungai Medang. Dia juga menyoal tidak ada penataan batas, yang lagi-lagi menuai konflik dengan masyarakat adat.

Penyelesaian sengketa lahan Arara Abadi dengan masyarakat adat Sungai Medang pernah disaksikan Polda Riau, Menteri LHK dan Bupati Pelalawan, tetapi belum ada kesepahaman.

Zulherman berharap, Arifin bebas dalam perkara satu ini. Dia merujuk dua perkara sebelumnya dinyatakan majelis PN Pelalawan bukan perbuatan pidana.

Arara Abadi tidak menjawab pertanyaan seputar sengketa lahan dengan Pebathinan Hitam Sungai Medang dan beberapa kesepakatan yang pernah diupayakan.

Sugianto, Social and Security Departmen Head Arara Abadi mengatakan singkat lewat WhatSapp kalau mereka transparan dan mengikuti seluruh proses kasus Arifin, dan mendukung pihak berwenang menyampaikan fakta-fakta yang diperlukan.

Arara Abadi, katanya, telah berupaya mengedepankan dialog mencapai kesepahaman dengan para pihak terkait.

 

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Pengawasan dan penegakan hukum tak jelas, jual beli lahan di taman nasional terus terjadi.  Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version