Mongabay.co.id

Cerita Kopi Tulang dari TPU Sukun Malang

 

 

 

 

Tagruni Akbar, tampak memanen kopi di areal Taman Pemakanan Umum Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Pakai caping, dan membawa wadah dari anyaman bambu. Tangan telaten memetik biji demi biji, memilih hanya biji kopi merah. Biji kopi hasil panen disimpan dalam wadah dari anyaman bambu. Orang Jawa menyebutnya, tambir. Uniknya, kalau tanaman ini berada di sela-sela batu nisan.

Tagruni, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Pemakaman Umum Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang. Dia panen kopi bersama beberapa pegawai.

Dia juga melibatkan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Koeboeran Londo Sukun yang terdiri atas penduduk setempat. Mereka terlibat pengelolaan pemakaman Sukun jadi salah satu destinasi wisata sejarah dan budaya.

“Saya perkirakan hasil panen mencapai satu ton,” katanya.

Taqruni, sosok yang menggagas jadikan Pemakaman Umum Sukun asri dan ramah pengunjung. Dimulai dengan menulis sejarah, profil tokoh yang dimakamkan dan menanam pohon kopi di sela-sela makam.

Kopi dipilih, katanya, berdasarkan analisis kalau akar tanaman tak merusak pemakaman. Akar kopi, tak lebih dari dua meter hingga tak merusak bangunan makam. Selain itu, daun lebar hingga menghasilkan oksigen banyak. “Kami berkomitmen pemakaman umum jadi pabrik oksigen segar,” katanya.

Apalagi, ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Malang terus berkurang. Kawasan pemakaman pun jadi salah satu RTH dengan menanam aneka tanaman yang menghasilkan oksigen. Beragam pohon ditanam selain kopi di sini, antara lain jenitri (Elaeocarpus ganitrus), kemiri  (Aleurites moluccanus), dan trembesi (Samanea saman).

“Makam multi fungsi. Jadi pemakaman dan RTH. Ditanami aneka tanaman demi keseimbangan alam,” katanya.

 

TPU Sukun, Malang, jadi ruang terbuka hijau, dengan berbagai tanaman, termasuk kopi. Tanaman kopi di TPU ini pun sebagian sudah panen dan dimanfaatkan warga sekitar. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Kopi, katanya, selain memperkaya tanaman juga produktif. Dengan kopi sekaligus memberdayakan masyarakat skitar. Biji kopi diolah dan dikemas oleh Pokdarwis jadi buah tangan bagi pengunjung wisata sejarah dan produk unggulan Kota Malang.

“Diberi nama Kopi cap Tulang.”

Kopi Tulang, kata Taqruni, sempat menimbulkan pro kontra. Ada yang menganggap tercampur tulang. Padahal, merek ini dipilih untuk menguatkan nama produk dan sensasi. Kopi belum produksi massal, sebatas perkenalan sambil menunggu izin industri rumah tangga agar bisa buat konsumsi masyarakat luas.

 

Produk unggulan

Kompleks Pemakaman Sukun, katanya, tak bisa lepas dengan sejarah perkebunan kopi di Malang. Pada masa kolonialisme, orang Belanda menguasai perkebunan kopi, tebu, coklat dan teh di daerah ini. “Ada sekitar 200 makam orang Belanda di sini,” katanya.

Kopi tanam mulai Maret 2017, tersebar ada 5.400 pohon. Awalnya, 1.500 pohon. Sebagian tanaman sudah berbuah, ada yang baru mulai berbunga. “Pagi hari, kita selalu mencium harum aroma bunga kopi,” kata Taqruni.

Panen ini kali kedua, pertama tahun lalu dengan hasil 100 kilogram kopi. Pemakaman Sukun, katanya, setelah dikaji cocok untuk kopi robusta.

“Kopi ini telah diteliti Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Hasil bagus. Layak konsumsi,” katanya.

Kompleks makam Sukun seluas 10 hektar ada kelor (Drumstick tree). Warga memanfaatkan untuk sayur dan jadi obat herbal.

Eko Suryadi, pegawai pemakaman umum Sukun telaten merawat kopi. Dia rajin membersihkan gulma, memupuk dan menyirami tanaman. “Rutin menyebar pupuk organik, pangkas daun, dan membersihkan gulma,” katanya.

Pemupukan tiga bulan sekali dengan pupuk kandang. Saat kemarau, kesibukan bertambah dengan menyirami kopi. Dia mengeluarkan pompa dan selang air untuk menyirami tanaman.

 

Panen kopi di TPU Sukun. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Eko dibantu bersama dua pegawai pemakaman, Sardi, dan Iwan Rohani. Mereka bersama-sama merawat tanaman.

Tenaga terbatas, biasa dia sendiri mengurus tanaman kalau rekan lain sedang sibuk kerja yang lain. “Keterbatasan tenaga jadi kendala. Berbagi dengan pekerjaan utama di pemakaman.

Eko bilang, awalnya tak punya pengetahuan menanam dan merawat kopi. Dia belajar pola tanam kopi kepada penjual bibit di Blitar. Perawatan kopi, katanya, sederhana asal sabar dan tekun.

“Yang penting hati ikhlas, Insya Allah tanaman bagus. Pimpinan mendukung.”

Walhi Jawa Timur mencatat, RTH di Malang terus mengalami kemerosotan, terjadi perubahan fungsi lahan besar-besaran sejak 15 tahun terakhir. Alih fungsi Hutan Kota Akademi Penyuluh Pertanian (APP), Taman Kunir, Hutan Kota Malabar jadi pusat perbelanjaan, hotel, kantor kelurahan dan perumahan mewah.

Sedangkan, RTH publik yang dikuasai pemerintah tersisa 1,8% dari luas Kota Malang 110,6 kilometer persegi., salah satu areal pemakaman.

Seharusnya, sesuai UU Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang menyebutkan luas RTH setidaknya 30% dari luas wilayah, dari 20% ruang publik dan 10% untuk ruang privat. “RTH di Malang makin menyusut,” kata Dewan Daerah Walhi Jatim, Purnawan D Negara.

Pemerintah Kota Malang, katanya, menyumbang kerusakan ekologis di Malang. Namun, katanya, dia mendukung usaha pemanfaatan dan penghijauan RTH tersisa tetapi harus sesuai karakteristik kawasan.

Dia menyayangkan, kompleks pemakaman ditanami kopi mestinya tanaman untuk naungan dan menjaga estetika, bukan budidaya.

Sesuai Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah, RTH memiliki fungsi ekologi, sosial, dan tetenger atau landmark. Sedangkan tanaman budidaya seperti kopi berfungsi untuk kepentingan ekonomi.

Panen kopi  di TPU Sukun, Malang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Merawat sejarah

Reza, Sejarawan Universitas Negeri Malang mengatakan, perkembangan kawasan perkotaan Malang digerakkan perkebunan. Pengembangan perkotaan dengan penetapan Kotapraja Malang pada 1914. Pabrik gula dan 50 perkebunan turut andil dalam perkembangan kota.

Pola pertumbuhan penduduk pesat sejak 1890 dengan 12.040 jiwa, pada 1905 ada 29.584 jiwa, naik signifikan pada 1920 menjadi 43.352 orang. Pada 1930, bertambah 86.650 jiwa dan 1940 melonjak 169.316 jiwa.

Kota Malang, katanya, berkembang dengan pertumbuhan ekonomi, ada pasar modern, tradisional, perbankan hingga sebagian penduduk di bagian selatan masuk ke kota.

“Biji kopi yang dipanen [dulu] di sini dibawa ke Eropa,” katanya.

Hariani, pegawai UPT Pemakaman Umum, mengatakan, kompleks pemakaman ini dibangun pada 1921 oleh Herman Thomas Karsten. Dia arsitek yang mendesain dan menata kawasan perkotaan di Malang. Kompleks pemakaman didesain bertema taman, sama dengan desain Kota Malang.

Karsten membangun Kota Praja Malang dalam bouwplan (rencana pembangunan) satu sampai delapan. Saat itu, Wali Kota Malang pertama H I Bussemaker merencanakan perluasan kota secara besar-besaran. Termasuk, membangun kompleks makam, lantaran area pemakaman orang Eropa di Klojen tak layak, sudah penuh.

Sukun jadi pilihan karena jauh dari pemukiman penduduk, harga tanah masih murah dan tak ada pertentangan atau penolakan. Sebelumnya, Dewan Kota pada 1918 dan 1919 menggelar sidang dan memilih pemakaman di Lowokwaru, gagal karena penolakan warga.

Kompleks pemakaman ini dibangun mandiri, berbeda dengan rencana pembangunan kawasan lain. Karsten mendesain kompleks makam dengan kaidah pertamanan. “Dia mencintai konsep taman. Di depan dulu ada taman luas sekarang beralih fungsi jadi pom bensin sejak 1953,” kata Hariani.

Awalnya, kompleks makam khusus disediakan bagi orang Eropa dan tentara KNIL. Ada sejumlah tokoh yang memberi perubahan bagi Kota Malang maupun nusantara dimakamkan di sini. Seperti, pendiri Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Johanes Emde.

 

Hariani, pegawai UPT Pemakaman Umum, mengatakan, kompleks pemakaman ini dibangun pada 1921 oleh Herman Thomas Karsten, arsitek yang mendesain dan menata kawasan perkotaan di Malang. Kompleks pemakaman didesain bertema taman, sama dengan desain Kota Malang.Foto: Eko Widio/ Mongabay Indonesia

 

Teolog dan Rektor Sekolah Theologia Bale Wijata, Barend Martinus  Schuurman juga dimakamkan di TPU Sukun. BM Schuurman juga menggagas rumah sakit Kristen/Zending 1928. Sekarang, berganti jadi Rumah Sakit Tentara dr Soepraoen. Barend Martinus ditawan saat pendudukan Jepang dan meninggal di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru.

Dia ditawan Jepang karena dituduh sebagai pemimpin para pendeta yang jadi mata-mata musuh dengan kedok aktivitas gereja. Dia dimakamkan dalam keadaan hening awal Jepang berkuasa pada 1942. “Dimakamkan secara hening, tanpa ada pembicaraan. Letak makam berada di ujung belakang,” katanya.

Makam pendiri lokalisasi Dolly di Surabaya, Dolly Advonco Chavid juga di TPU Sukun pada 1992. Dolly kelahiran 15 September 1929 ini menghabiskan masa tua di Kelurahan Kemirahan, Kota Malang.

Pada masa peralihan kekuasaan Jepang 1942-1945, TPU Sukun juga jadi memakamkan tentara Jepang. Sekitar 50-an tentara Jepang dimakamkan dalam kompleks makam di sana. Pada 1982, Kedutaan Besar Jepang membangun sebuah monumen.

“TPU Sukun bisa jadi wisata sejarah. Mengajak pelajar belajar sejarah di sini.”

Gedung yang jadi kantor UPT Pemakaman Umum juga bangunan cagar budaya. Desain bangunan khas simetris berbentuk sayap. Ia pakai jendela besar untuk memaksimalkan ventilasi dan sirkulasi udara. “Kantor kami tak perlu pendingin ruangan,” kata Hariati.

 

 

 

Proses pembuatan Kopi Tulang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version