Mongabay.co.id

Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Penambangan pasir laut yang dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan terus mendapat penolakan dari masyarakat nelayan.

Sabtu (4/7/2020), ratusan nelayan menggunakan perahu ketinting atau cadik mengadang kapal Boskalis yang sedang beroperasi di tengah laut. Aksi pengadangan ini tak hanya dilakukan oleh nelayan, namun juga mengikutkan keluarga mereka.

Aksi protes tak berakhir di hari itu. Kamis (9/7/2020/) mereka kembali melakukan aksi di Kantor Lurah Kodingareng menuntut pihak kelurahan mendukung aksi mereka. Warga kecewa karena dalam beberapa aksi sebelumnya tak pernah mendapat dukungan dari pemerintah kelurahan setempat.

“Kami berjuang keras menolak tambang pasir laut yang menghancurkan kehidupan perempuan dan nelayan Pulau Kodingareng, sementara pak Lurah dan stafnya tak pernah ikut mendukung, makanya kita tuntut dukungan,” ungkap Annisa, salah seorang warga.

baca : Rugikan Nelayan, Walhi Sulsel Tuntut Penghentian Tambang Pasir dan Pembangunan Makassar New Port

 

Ruslan Jufri, Lurah Kodingareng, menyatakan dukungannya atas aksi warga. Foto: Walhi Sulsel

 

Ruslan Jufri, Lurah Kodingareng, merespons aksi itu dengan menyatakan dukungan dan akan turut berjuang bersama warga.

“Saya turut menolak tambang pasir laut. Saya tidak setuju PT. Boskalis mengeruk pasir di wilayah tangkap nelayan. Kita akan berjuang bersama untuk menghentikan tambang pasir laut ini,” katanya di hadapan warga.

Ruslan juga didaulat membacakan pernyataan sikap, yang salah satu isinya mendesak Gubernur Sulawesi Selatan untuk mencabut izin konsesi PT Benteng Laut Indonesia sebagai pemilik IUP dan memindahkan lokasi tambang ke jarak 45 mil dari wilayah tangkap nelayan.

Selain warga Kodingareng, keluh kesah terkait tambang ini juga disampaikan warga Pulau Langkai, salah satu pulau terluar Makassar.

“Kalau kapal sudah beroperasi, laut jadi keruh berlumpur, tak ada ikan bisa makan di tempat itu,” ujar H. Baharuddin, salah seorang nelayan Pulau Langkai.

baca juga : Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Menurutnya, warga Pulau Langkai merasakan dampak penambangan tersebut berupa kurangnya tangkapan ikan, yang semakin memperparah kondisi sebelumnya berupa turunnya harga ikan akibat pandemi COVID-19.

“Tambang pasir itu di Sangkarrang kurang lebih 20 mil dari sini. Ada namanya copong keke dan copong lompoa, sekitaran situ, ada mercusuar yang dinamai Sangkarrang. Nama kecamatan diambil dari nama itu karena pusat nelayan mencari ikan, baik dari Kodingareng, dan pulau-pulau lainnya,” jelasnya

Kawasan yang disebut copong keke dan copong lompoa, jelas Baharuddin, adalah tempat favorit nelayan untuk memancing.

“Di situ memang tempat mencari ikan tenggiri dan gurita. Di situ juga ada ikan sunu karena karangnya bagus. Tapi menurut para pemancing ikannya sudah berkurang karena airnya keruh, apalagi kapal tambang itu datang dua kali sehari,” katanya.

 

Kepentingan Proyek Reklamasi

Masalah tambang pasir laut di Makassar ini menjadi hal yang problematik. Boskalis sendiri hanyalah kontraktor yang memenangkan tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi, yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel. Keberadaan IUP di tengah laut ini merujuk pada Perda No.2/2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Sulsel.

“Secara regulasi Boskalis menambang di lokasi yang diprasyaratkan. Yang jadi masalah sebenarnya adalah penetapan area konsesi tambang yang justru diletakkan di area penangkapan nelayan tradisional,” ujar Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forests.

Menurutnya, penambangan pasir laut ini akan terus berjalan selama proyek-proyek reklamasi yang membutuhkan pasir laut tidak dihentikan, sehingga perlu ada upaya meninjau kembali proyek-proyek tersebut.

Di Makassar sendiri, penambangan pasir ini ditujukan untuk sejumlah proyek besar. Pertama, pembangunan Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 ha yang akan dilakukan dalam 4 tahapan, direncanakan rampung tahun 2025.

“Kebutuhan pasir untuk reklamasi ini sangat besar dan akan sulit dipenuhi dari material daratan.”

baca juga : Tak Setop Tambang Pasir Laut Galesong, Koalisi Ancam Gugat Hukum Pemerintah dan Perusahaan

 

Nelayan Pulau Kodingareng mengikutsertakan keluarga dalam aksi di tengah laut. Foto: Walhi Sulsel

 

Menurut Yusran, bencana ekologis juga akan besar jika menggeser sumber material reklamasi dari laut ke daratan, dampaknya akan sama. Sumber masalahnya adalah reklamasi yang membutuhkan material timbunan dalam jumlah yang sangat besar.

“Jika proyek CPI seluas 157,23 ha saja membutuhkan pasir laut sebanyak 22 juta kubik, dan menimbulkan dampak luar biasa bagi masyarakat di Galesong Takalar, bisa dibayangkan banyaknya pasir laut yang akan dikeruk untuk memenuhi kebutuhan pasir MNP yang akan dipenuhi sampai tahun 2025,” katanya.

Proyek lainnya direncanakan dalam zona jasa dan perdagangan yang secara khusus mengakomodir rencana dan proyek reklamasi di Makassar. Luasnya sekitar 3.133.29 ha sebagaimana tertuang dalam RTRW Kota Makassar dan RZWP3K Sulsel.

Untuk meretas persoalan ini, Yusran berharap adanya peninjauan ulang alokasi ruang reklamasi dan rencana proyek-proyek reklamasi di Kota Makassar. Momentumnya sedang terbuka saat ini dengan masuknya fase evaluasi 5 tahunan RTRW Kota Makassar. Dokumen rencana inilah yang memberi alas legal bagi proyek reklamasi dan kemudian juga diakomodasi dalam RZWP3K Sulsel.

“Saatnya untuk merevisi dan menghilangkan alokasi ruang reklamasi dalam RTRW dan RZWP3K yang telah menjadi sumber persoalan yang menimbulkan keresahan nelayan karena ruang hidupnya terganggu,” tambahnya.

 

Sebagian warga Pulau Langkai, yang juga terdampak tambang pasir laut, mencoba peruntungan dengan mencari telur ikan terbang. Foto: Wahyu Chandra /Mongabay Indonesia.

 

Respons DPRD Sulsel

Menanggapi masalah tambang pasir laut ini, Andi Januar Jaury Dharwis, anggota Komisi D DPRD Sulsel, menyatakan telah meminta agar penambangan pasir laut ini dihentikan untuk sementara waktu, hingga diadakannya Rapat Dengar Pendapat yang menghadirkan berbagai pihak yang terkait.

“Belum jelas waktunya, masih ada proses internal di DPRD. Mudah-mudahan pemangku kewenangan di DPRD memperhatikan ini, sebelum terjadinya insiden-insiden di tengah laut,” katanya.

Secara pribadi, Januar sendiri mempertanyakan legalitas penambangan pasir di perairan Sangkarrang karena sepengetahuannya semua izin tambang pasir hanya dialokasikan di perairan Galesong Utara Takalar.

“Kalau kemudian ada aktivitas baru di perairan Sangkarrang itu kita baru tahu kalau ada koordinat baru. Atau kah secara teknisnya ada sambungan blok dasar laut yang dipetakan oleh pusat beberapa waktu lalu. Mungkin ya ada sambungan yang melintasi kabupaten/kota.”

Hanya saja, meski ada koordinat baru harus ada koordinasi dengan otoritas setempat, seperti pemerintah kelurahan dan masyarakat nelayan itu sendiri. Jika tersosialisasi dengan baik itu maka polemik tak akan terjadi selama semua izin tambang telah melalui prosedur syarat lingkungan.

“Namun, kalau memang tak ada titik baru pengambilan pasir di perairan Sangkarrang maka penambangan itu harus dihentikan, sampai ada rapat dengar pendapat yang menghadirkan semua pihak supaya ada kesempatan untuk konfirmasi,” katanya.

Januar sendiri menilai penambangan pasir ini tak masalah selama beroperasi di wilayah yang diprasyaratkan, karena penambangan pasir itu terkait pembangunan MNP yang merupakan proyek strategis nasional.

“Makassar atau Sulsel adalah hub barang dan jasa di Indonesia Timur sehingga proyek MNP ini harus didukung. Tetapi perlu tetap diperhatikan keseimbangan juga. Sudah pasti pembangunan akan membuat degradasi lingkungan, tetapi kan dalam kajian-kajian itu bisa dipulihkan.”

Pemulihan ini, menurutnya, bukan dalam bentuk sentuhan sosial kepada masyarakat yang terdampak saja, tetapi sentuhan luar biasa terhadap ekologi yang terdampak itu.

“Jangan sampai ada kompensasi ke masyarakat lalu selesai sampai di situ. Kita mau ada kompensasi ekologi juga,” tambahnya.

 

Aksi ratusan warga di setiap desa pada Juli 2017 yang menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, Djemi Abdullah, menjelaskan bahwa Boskalis adalah perusahaan yang bergerak di bidang penimbunan yang dikontrak oleh Pelindo IV untuk pembangunan MNP, tidak terkait dengan perizinan tambang.

“Karena ia tak memiliki lokasi tambang mereka membeli di perusahaan lokal yang ada di Takalar. Saya belum tahu persis izin apa yang dimiliki namun yang pasti dia ada kontrak dengan Pelindo,” katanya.

Menurutnya, sejumlah perusahaan pemegang IUP tempat Boskalis ‘membeli’ pasir ini beroperasi di wilayah yang telah ditetapkan oleh Perda RZWP3K dan telah memenuhi syarat untuk melakukan penambangan.

“Selama ini tidak ada yang terlanggarkan Boskalis dalam operasionalnya karena bagi kami yang tak boleh adalah membeli barang tambang dari tempat yang tidak berizin, sementara Boskalis membeli barang dari tempat yang berizin. Kalau dia beli dari tempat tak berizin maka berat pidananya. Yang kami kejar memenuhi ketentuan adalah pemegang IUP bukan Bioskalis-nya,” jelas Djemi.

 

Exit mobile version