- Tahap awal proyek cetak sawah setidaknya di lahan 30.000 hektar tahun ini dan terus diperluas sampai dua tahun ke depan dengan penambahan 148.000 hektar baik di Pulang Pisau maupun Kapuas. Presiden Joko Widodo meninju lokasi food estate ke Kalteng, pekan lalu.
- Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab dalam proyek food estate di Kalteng ini.
- Secara keseluruhan, ada sekitar 165.000 hektar lahan potensial di Kalteng untuk pengembangan lumbung pangan nasional ini. Saat ini, lahan 85.500 hektar dari keseluruhan itu lahan fungsional yang sudah produksi tiap tahun. Dalam rencana, luasan food estate di Kalteng sekitar 370.000 hektar dan 230.000 hektar di Sumatera Selatan.
- Dimas N Hartono, Direktur Walhi Kalteng, mengatakan, untuk program ini agar tidak membuka lahan baru untuk percetakan sawah, lebih baik mengoptimalkan pertanian pangan yang sudah dikelola masyarakat dengan perlindungan dan pengakuan lahan mereka, serta pengembangan infrastruktur sawah yang ada. Sudah cukup kerusakan di era program proyek lahan gambut satu juta hektar yang merusak ekosistem rawa gambut dan menyebabkan konflik lahan berkepanjangan.
Presiden Joko Widodo turun langsung ke Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, untuk meninjau pelaksanaan cetak sawah (food estate) Kamis, 9 Juli lalu. Bahkan, Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab dalam proyek food estate di Kalteng ini.
Tahap awal setidaknya ada lahan 30.000 hektar tahun ini dan terus diperluas sampai dua tahun ke depan dengan penambahan 148.000 hektar baik di Pulang Pisau maupun Kapuas. Dengan sekitar 10.000 hektar lahan potensial dikembangkan di Pulang Pisau. Dari jumlah itu, lahan telah fungsional mencapai 5.840 hektar. Cetak sawah ini tepatnya terletak di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup (Kapuas) dan Desa Belanti Siam (Pulang Pisau).
Baca juga: Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu
Secara keseluruhan, ada sekitar 165.000 hektar lahan potensial di Kalteng untuk pengembangan lumbung pangan nasional ini. Saat ini, lahan 85.500 hektar dari keseluruhan itu lahan fungsional yang sudah produksi tiap tahun. Dalam rencana, luasan food estate di Kalteng sekitar 370.000 hektar dan 230.000 hektar di Sumatera Selatan.
Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) sudah mengeluarkan peringatan soal krisis pangan akan melanda dunia karena pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). “ Juga karena memang ada musim yang tidak bisa diatur dan diprediksi. Sebab itu, kita menyiapkan sekarang ini, namanya cadangan logistik nasional,” kata presiden dalam rilis pers.
Baca juga: Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini?
Presiden menunjuk Kementerian Pertahanan sebagai komando, yang akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian sebagai leading sector dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menjalankan proyek food estate ini.
***
Jauh sebelum jadi sebagai lumbung pangan nasional untuk antisipasi krisis pangan selama pandemi, food estate sudah jadi usulan Gubernur Kalteng kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 20 Februari 2017 dalam surat bernomor 522/102/Dishut perihal usulan pencadangan areal untuk pengembangan food estate di Kalteng.
Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar
Pengajuan usulan ini sebagai tindak lanjut dari rapat terbatas Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet dengan Gubernur Kalteng, pada 14 Februari 2017. Surat ini disertai usulan enam komoditas strategis yang akan dikembangkan di areal food estate, yaitu, padi organik seluas 300.000 hektar di Kapuas, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Tebu seluas 273.287 hektar di Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur. Singkong sekitar 40.000 hektar di Seruyan. Cokelat seluas 20.000 hektar di Barito Selatan dan Barito Utara. Lalu, bambu sekitar 20.000 hektar di Seruyan dan peternakan sapi 10.000 hektar di Sukamara. Usulan ini juga bertujuan pinjam pakai kawasan hutan atau penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan. Food estate ini jadi salah satu program prioritas dari Kalteng.
Sebelumnya, pada Mei, pemerintah pusat bersama Kalteng kaji lingkungan hidup strategis cepat alias ‘rapid KLHS’ untuk lahan pertanian itu. Tahun lalu, baru ada KLHS ibukota negara (IKN). “Hasilnya, tak banyak dipublikasi sebagaimana KLHS khusus lain seperti KLHS Pegunungan Kendeng atau KLHS NCICD, ” kata, Fatkhurohman, ahli kebijakan pembangunan kepada Mongabay.
Istilah KLHS cepat pertama kali muncul pada dokumen KLHK 11 Mei 2020 sebagai bahan Kemenko Perekonomian. Judulnya “Agenda PSN Cetak Sawah di Kalimantan Tengah.” Pijakan dokumen ini antara lain berdasarkan Surat Gubernur Kalteng 20 Februari 2019 mengacu pada PermenLHK P.50/2016 soal pedoman pinjam pakai untuk padi seluas 300.000 hektar. Juga PermenLHK P.81/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Dinas Kehutanan pernah mendorong KPH-KPH untuk menyiapkan lahan buat P.81/2016 ini. Hingga kini, implementasi KPH melalui aturan kerjasama untuk tanaman pangan ini sangat lamban.
Persiapan awal
Sebelumnya, Airlangga Hartanto, Menteri Koordintor Perekonomian, mengatakan, dana tahap awal atau selama tiga-empat tahun diperkirakan sampai Rp6 triliun. Langkah awal, katanya, akan ada perbaikan dan pembenahan irigasi maupun pemilihan benih. Pemilihan lokasi, katanya, berdasarkan produktivitas dan mengoptimalkan luasan dalam satu area hamparan.
Ke depan, katanya, Kalteng akan jadi lokasi pertanian modern, yang tak hanya pertanian juga peternakan. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo bilang, dengan begitu akan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat juga mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Lokasi yang jadi food estate diketahui sebagai sentra produksi padi atau beras di Kalteng. Untuk di Pulang Pisau, merupakan lokasi transmigrasi 1982/1983, dalam satu hektar produktivitas empat sampai lima ton, dengan bibit varietas hibrida, inpara dan inpari. “Kalau organik, produktivitas lebih besar mencapai sembilan sampai 10 ton per hektar,” kata Bupati Pulang Pisau, Edy Pratowo.
Dalam rilis Humas Pemerintah Kalteng, Menteri PUPR, Basoeki Hadimoeljono mengatakan, lahan yang dipilih bukan gambut. Kalau kena lahan gambut, katanya, perlu teknologi khusus untuk menggarapnya.
Ingat proyek gagal
Food estate di Kapuas dan Pulang Pisau membuat khawatir berbagai pihak, mengingat Kalteng terutama Pulang Pisau, sebagai kawasan terbesar berlahan gambut seluas 2.789 km ini punya cerita kelam kegagalan mega proyek pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektar era Orde Baru.
Dimas N Hartono, Direktur Walhi Kalteng, mengatakan, untuk program ini agar tidak membuka lahan baru untuk percetakan sawah, lebih baik mengoptimalkan pertanian pangan yang sudah dikelola masyarakat dengan perlindungan dan pengakuan lahan mereka, serta pengembangan infrastruktur sawah yang ada.
Dia bilang, sudah cukup kerusakan di era program PLG satu juta hektar yang merusak ekosistem rawa gambut dan menyebabkan konflik lahan berkepanjangan.
“Saat ini, banyak wilayah jadi lumbung pangan hilang karena alih fungsi lahan yang dikelola korporasi, perlindungan lahan pangan yang dikelola masyarakat jadi langkah tepat dalam kedaulatan pangan maupun ketahanan pangan.”
Pemerintah, kata Dimas, seharusnya berkaca dari kegagalan PLG era Orba di Kalteng. Gambut jadi kering dan hancur hingga mudah terbakar tiap tahun dari 1997 hingga kini. “Masyarakat Kalteng telah lama mengalami bencana ekologi tiap tahun karena kebijakan proyek ambisius masa lalu,” katanya.
Keterangan foto utama: Ilistrasi. Cetak sawah di lahan gambut, lumbung pangan atau potensi bencana lingkungan lagi? Foto: Taufik Wijaya/ Mongabay Indonesia