Mongabay.co.id

Membangun Sistem yang Aman dan Nyaman untuk Pekerja Perikanan

 

Dua daerah yang dikenal sebagai penyuplai utama awak kapal perikanan (AKP) untuk bekerja pada kapal perikanan di dalam atau luar negeri saat ini resmi memiliki wadah pengaduan selama bekerja di atas kapal. Kedua daerah itu, adalah Kota Bitung di Sulawesi Utara dan Kota Tegal di Jawa Tengah.

Pendirian wadah khusus yang diberi nama Fisher Centre itu, bertujuan agar AKP yang akan, sedang, dan atau sudah selesai bekerja pada kapal perikanan dan mengalami masalah, bisa melaporkannya untuk diselidiki lebih lanjut.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, AKP merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling berbahaya di dunia. Bekerja sebagai AKP akan menanggung resiko sangat tinggi, menerima perlakuan kerja paksa dan juga perdagangan orang.

Fisher Centre adalah paltform atau wadah penerimaan pengaduan dan menyampaikan keluhan awak kapal perikanan kepada pihak terkait untuk mendapatkan keadilan,” jelas dia pekan lalu di Jakarta.

baca : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Reynalfi dan Joni Juniansyah, awak kapal perikanan kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901 melaporkan kasus perdagangan manusia yang mereka alami kepada petugas keamanan di Batam. Foto : TribunBatam.id/Elhadif Putra

 

Pendirian wadah dilakukan langsung oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan penuh dari program Safeguarding Against and Addressing Fisher’s Exploitation at Sea (SAFE Seas) yang merupakan program kerja sama antara Yayasan Plan Internasional dengan DFW Indonesia.

Sebagai wadah yang berfungsi untuk menerima aduan dari AKP, Abdi Suhufan menyebutkan bahwa Fisher Centre mengembangkan kerja sama dengan lembaga rujukan lain di dalam Negeri, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri, Kepolisian RI, Kementerian Ketenagakerjaan, BP2MI, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Provinsi, LSM, dan lembaga bantuan hukum.

Abdi Suhufan menjelaskan, saat ini pelayanan Fisher Centre sudah dilaksanakan kepada AKP yang sedang bekerja di kapal perikanan di dalam atau luar negeri. Pelayanan tersebut bisa dilakukan lebih awal sebelum peresmian, karena sejak akhir 2019 sudah dilaksanakan tahapan penyiapan prosedur, pelatihan staf, dan juga penerimaan pengaduan.

Sampai saat ini, Tegal dan Bitung sudah dimanfaatkan oleh 60 penerima manfaat dan menerima 23 laporan keluhan dari masyarakat, terutama berkaitan dengan kesejahteraan AKP yang mencakup upah, kontrak kerja, asuransi kesehatan, dan keselamatan.

“Ke-23 laporan yang terdiri dari 9 pengaduan ABK domestik dan 14 laporan dari ABK migran,” sebut dia.

Abdi Suhufan menambahkan, dalam kurun waktu delapan bulan terakhir sudah terjadi sebanyak tujuh insiden insiden dan kasus yang menimpa AKP yang sedang bekerja pada kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

baca juga : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (menunduk) menandatangani prasasti peresmian fisher center di Tegal, Jateng. Foto : KKP

 

Terus Bertambah

Dalam catatan DFW Indonesia, selama periode November 2019 hingga Juni 2020 sudah ada 73 orang AKP asal Indonesia yang menjadi korban kekerasan saat sedang bekerja pada kapal perikanan RRT. Dari jumlah tersebut, tujuh orang dinyatakan meninggal dunia, tiga orang hilang, dan 63 orang selamat.

Sebagai kota percontohan yang sudah memiliki Fisher Centre, Tegal dan Bitung diharapkan bisa menjadi rujukan bagi kota lain yang ingin mendirikan wadah serupa. Diharapkan, dalam waktu dekat ada 10 kota yang bisa mendirikan Fisher Centre.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang hadir pada peresmian Fisher Centre Tegal, mengatakan bahwa itu menjadi langkah awal untuk mengawal para pejuang rupiah yang bekerja sebagai AKP. Untuk itu, 10 Fisher Centre lain diharapkan bisa segera didirikan di Pelabuhan atau unit pengolahan ikan (UPT) di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Yayasan Plan Internasional Indonesia Dini Widiastuti menambahkan, pendirian Fisher Centre bertujuan untuk memberikan akses keadilan bagi AKP yang akan, sedang, dan sudah selesai bekerja pada kapal perikanan di dalam dan luar negeri. Kehadiran Fisher Centre dinilai menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak.

Di mata dia, pendirian Fisher Centre juga dilakukan karena jumlah AKP yang memerlukan hak-hak sebagai pekerja semakin tinggi. Untuk itu, dibutuhkan satu pelayanan berbasis masyarakat yang mudah dijangkau dan bisa responsif untuk membantu AKP mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.

“Juga, pengetahuan dan bantuan untuk memperoleh hak-haknya sebagai pekerja,” tutur dia.

perlu dibaca : Pekerjaan Rumah Tata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News/Mongabay Indonesia

 

Selain mendirikan Fisher Centre, upaya untuk memberikan perlindungan kepada AKP berkebangsaan Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di dalam dan luar negeri, juga harus diimbangi dengan upaya Pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan perdagangan orang pada industri perikanan.

Perlindungan kepada WNI dari kejahatan tersebut sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). UU tersebut dinilai sebagai pijakan hukum yang sangat fundamental dalam upaya memberantas tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Yudha Nugraha mengatakan, kejadian yang menimpa AKP beberapa waktu terakhir ini merupakan puncak gunung es dari carut marut tata kelola. Untuk itu, upaya pembenahan menyeluruh dilakukan Pemerintah Indonesia.

“Kita jangan reaktif melihat kasus ini, karena hanya bagian dari puncak gunung es,” ucap dia.

Yudha menambahkan, upaya perbaikan yang sedang dilakukan Pemerintah Indonesia, di antaranya melalui perbaikan tata kelola, perjanjian kerja laut, perbaikan kompetensi, dan upaya penegakan hukum. Upaya tersebut diharapkan bisa mengurangi kerja paksa dan perdagangan orang pada industri perikanan.

Ketua DPD Pergerakan Pelaut Indonesia Sulawesi Utara Anwar Dalewa mengungkapkan, perlakuan kerja paksa kepada AKP Indonesia harus bisa dihentikan, karena itu menyangkut keselamatan nyawa dan kenyamanan saat sedang bekerja. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus bisa menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas dan transparan.

“Kebanyakan aduan TPPO tidak direspon pihak berwajib dan jarang sampai ke meja hijau,” kata dia.

baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penuh Resiko

Perwakilan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia Among Pundi menjelaskan, upaya untuk mengungkap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pada industri perikanan adalah usaha yang penuh dengan tantangan dan resiko.

Menurut dia, saat melakukan pengungkapan TPPO, tim akan selalu berhadapan dengan aktivitas kapal perikanan yang sulit untuk dideteksi, koordinasi antar negara yang terlibat, pemahaman isu perdagangan orang dan isu kewilayahan, serta tanggung jawab wilayah.

“Yang paling urgent adalah pentingnya keterpaduan pendekatan kejahatan perikanan dan TPPO,” tegas dia.

Diketahui, peristiwa terakhir yang menelan korban AKP asal Indonesia, adalah kasus yang menimpa empat orang AKP yang bekerja pada kapal perikanan berbendera RRT. Keempat AKP tersebut, dua orang di antaranya sedang terlantar di Pakistan dan dua orang lagi diketahui hilang di perairan Aceh, setelah sebelumnya melompat dari kapal.

Keempat orang tersebut, diketahui diberangkatkanke kapal berbendera RRT melalui agen pengiriman PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB) yang kantornya ada di Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Kasus yang menimpa empat AKP tersebut masuk sebagai laporan resmi kepada Fisher Centre Bitung dan Tegal.

Adapun, Komisaris dan Direktur PT MTB diketahui sejak 17 Mei 2020 sedang menjalani pemeriksaan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas kasus kematian dan pelarungan AKP asal Indonesia yang juga bekerja di kapal berbendera RRT, Lu Qing Yuan Yu 623.

Dari laporan Fisher Centre Bitung dan Tegal, keempat AKP tersebut terindikasikan menerima perlakuan kerja paksa dari kapal perikanan berbendera RRT, MV Jin Sheng. Sesuai perjanjian kontrak kerja, seharusnya mereka digaji sebesar USD300 per bulan, namun selama empat bulan bekerja tidak pernah menerima gaji tersebut.

Dari empat orang tersebut, dua orang AKP mengalami sakit saat sedang ada di atas kapal. Oleh pengelola kapal, keduanya kemudian dipindahkan ke kapal kecil berbendera Pakistan bernama Herari. Sejak Maret 2020, kedua AKP tersebut, yakni Hamdan dan Eko Suryanto terlantar di Pelabuhan Karachi, Pakistan tanpa mendapatkan bantuan dari PT MTB. Eko akhirnya meninggal dunia pada 22 Mei 2020.

Sedangkan, dua orang lagi dinyatakan hilang di perairan Aceh, saat kapal melintas di perairan dekat pulau Weh. Saat itu, total ada enam orang AKP Indonesia yang melompat ke air setelah melakukan perlawanan kepada kru kapal yang melaksanakan praktik kekerasan.

Sayangnya, dari enam orang yang melompat ke air laut di dekat Sabang itu, dua orang tidak diketahui nasibnya sampai sekarang. Keduanya adalah Adithya Sebastian dan Sugiyana Ramdhan. Keduanya dan empat AKP lain melompat ke air pada 7 April 2020.

 

Exit mobile version