Mongabay.co.id

Kharismatik dan Endemik, Burung Ini Penjaga Hutan Sumba

 

 

Julang sumba [Rhyticeros everetti], sebagaimana namanya memang hanya ada di Sumba, Kepulauan Nusa Tenggara. Sumba merupakan pulau dengan warisan budaya megalitik yang masuk dalam kawasan Wallacea.

Sumba Hornbill sangat dekat dengan keseharian masyarakat Sumba. Di Sumba Timur misalnya, banyak ditemukan penggunaan julang sumba dalam motif kain tenun, relief pada batu kubur, hingga cerita rakyat. Masyarakat Sumba Timur memanggilnya ‘ngguangggali.’

Para penganut Marapu [kepercayaan asli orang Sumba] di Kapunduk, Sumba Timur, percaya akan keterikatan leluhur mereka dengan burung dengan dominasi bulu hitam.

Benny E Purnama dalam buku Burung-burung di Taman Nasional Matalawa [2017] menggambarkan, seorang maramba [raja/keturunan raja] bernama Ndelu berhasil naik langit, namun meninggal karena diserang ilmu gaib. Secara ajaib, ia kembali hidup dan pulang ke kerajaannya dalam bentuk menyerupai julang sumba. “Dia membawa biji jagung sebagai bahan makanan rakyatnya.”

Dalam kehidupan nyata dan sebagai bentuk penghargaan, Kabupaten Sumba Tengah, menjadikan julang sumba sebagai lambang resmi pemerintahannya.

Baca: Wallacea Adalah Sepenggal Surga di Bumi

 

Julang sumba di wilayah Manupeu Tanah Daru. Foto: Heri Andri/TN Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti [TN Matalawa]

 

Waktu pengamatan

Secara umum, julang sumba menghuni hutan primer dan sekunder yang hijau, mulai dataran rendah hingga ketinggian 950 meter dari permukaan laut. Jika kita teliti, akan terlihat jelas perbedaan sang jantan dan betina. Untuk jantan, kepala dan lehernya merah sementara betina kepala dan lehernya warna hitam.

Ciri umumnya adalah paruh kekuningan dengan kantung leher biru. Sering terlihat terbang berpasangan, burung ini penganut  aliran monogami alias setia pada pasangan.

Heri Andri, petugas Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwanggi Wanggameti [TN Matalawa] menuturkan, jumlah julang sumba terbanyak yang pernah dilihatnya bertengger di pohon Hutan Billa pada 2008, sekitar sepuluh individu lebih.

“Terlalu kagum, saya tidak sempat memotret,” terangnya baru-baru ini, saat kami memantau di lokasi pengamatan. Blok Hutan Billa berada di Desa Billa, Kecamatan Tabundung, Sumba Timur.

Heri yang telah bertugas 14 tahun menuturkan, pagi dan sore hari adalah waktu yang paling tepat untuk pengamatan. Sebagaimana ungkapan Heri, pagi itu kami melihat dua individu yang kedatangannya ditandai suara kibasan berat. Suara paruhnya yang khas dan ukuran tubunya yang lebih besar dibanding burung lain, memudahkan kami mengenalinya.

Baca: Kangkareng Sulawesi, Jenis Istimewa yang Hanya Ada di Indonesia

 

Julang sumba jantan. Foto: Muhammad Soleh/TN Matalawa

 

Penjaga hutan

Taman Nasional Matalawa merupakan dua kawasan hutan konservasi yang terletak di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada 9 lokasi yang dapat digunakan untuk memantau kehidupan burung-burung di sini, termasuk julang sumba. Sebut saja Billa, Mahaniwa, Praingkareha, Laikokur, Lokuwatungodu, Watucidung, Maloba, Ubukora, dan Lokuhuma.

Umumnya, pohon-pohon menjulang tinggi dengan ukuran besar merupakan tempat ideal julang sumba. Tidak hanya untuk bertengger, pepohonan itu digunakan juga untuk mencari makanan, bersarang, hingga berkembang biak.

Margareth F. Kinnaird dalam laporan berjudul Pulau Sumba: Ringkasan Hasil Penelitian 1995-2002, mencatat julang sumba tidak selalu berkembang biak sepanjang tahun. Umumnya, hanya menghasilkan satu keturunan dalam setiap kali kawin.

“Julang menetaskan telur dalam lubang pohon yang tinggi, terutama jenis marra [Tetrameles nudiflora]. Sarangnya cukup unik, ditutup hampir sebagian besar. Sang betina berada di dalam mengerami telur, sementara tugas pejantan mencari makan setiap hari. Selama ini, di Hutan Billa periode Juli-Agustus adalah masa berbiak,” lanjut Heri.

Baca: Julang Sumba: Mengapa Jenis ini Ada di Kepulauan Nusa Tenggara?

 

Julang sumba betina bertengger di pohon. Foto: Muhammad Soleh/TN Matalawa

 

Lubang sarang julang sumba biasanya bekas sarang jenis burung paruh bengkok. Tak jarang, julang berebut dengan penghuni sebelumnya. “Untuk pakan buah, tercatat ada 46 jenis pohon yang didominasi Famili Moraceae dan Meliaceae, selain itu julang sumba memakan serangga dan ulat.”

Heri menuturkan, variasi biji itu mengisyaratkan bahwa regenerasi hutan Pulau Sumba akan berjalan baik sepanjang kehidupan julang sumba bebas perburuan dan pengrusakan habitat.

“Ukuran sayap yang lebar menunjukkan daya jelajahnya yang tinggi menebar benih-benih pohon, tentunya demi kelestarian hutan Pulau Sumba,” ujarnya.

International Union for Conservation of Nature [IUCN] menetapkan status julang sumba pada posisi Rentan [Vulnerable/VU]. Populasinya di alam saat ini diperkirakan sekitar 4 ribu individu dewasa.

Foto: Rangkong, Burung Sakti Penebar Biji

 

Sarang julang sumba berada di pohon tinggi. Foto: Muhammad Soleh/TN Matalawa

 

Sebagai informasi, di Indonesia terdapat 13 jenis rangkong. Persebarannya, sembilan jenis di Sumatera dan Kalimantan, serta empat jenis di Sumba, Sulawesi, dan Papua yang semua ini masuk dalam keluarga besar Bucerotidae.

Sembilan jenis tersebut adalah enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam, julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong gading, dan rangkong papan. Khusus Kalimantan, semua jenis rangkong tersebut dapat dilihat kecuali rangkong papan.

Sementara, empat jenis lainnya adalah julang sumba, julang dan kangkareng sulawesi [Sulawesi], serta julang papua.

 

Sepasang julang sumba bertengger di sebuah pohon. Burung ini penganut monogami alias setia pada pasangannya. Foto: Heri Andri/TN Matalawa

 

Antara rangkong, julang, enggang, dan kangareng terdapat perbedaan fisik. Rangkong memiliki cula yang jelas terlihat di atas paruhnya yang besar. Rangkong badak misalnya, memiliki cula perpaduan warna merah dan kuning yang begitu jelas terlihat.

Julang, culanya pendek berkerenyut yang berada di atas paruh. Julang emas misalnya, di atas paruhnya yang agak kuning terlihat cula kecil berkerenyut.

Untuk kangkareng, culanya berukuran sedang dan terlihat jelas tidak berkerenyut. Sementara enggang, bisa dilihat dari cula di atas paruhnya yang tidak terlalu jelas dan tidak pula berkerenyut.

 

* Muhammad Soleh, Polisi Kehutanan Seksi Pengelolaan TN Wilayah II Lewa, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti [TN Matalawa].

 

 

Exit mobile version