Mongabay.co.id

Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta

 

 

Maman Sajo (55), Kuncen Kampung Adat Kuta, baru saja menaruh sekarung kopi robusta di rumahnya. Mimiknya sumringah. Panen kopi kali ini nyaris sama dengan panen lima tahun lalu. Jika dihitung, panen kopi dari lima ribu pohon diprediksi mencapai 2 ton.

Kehadiran kopi di Kampung Kuta perlahan menambah kesejahteraan warga. Kata Maman, kopi tidak sekadar enak diminum dan bernilai ekonomis yang menjanjikan. Hal terpenting, menanam kopi tidak melanggar aturan adat.

“Bukan soal ekonomi semata. Tujuannya agar wawasan pertanian kami terus berkembang,” ucapnya.

Sebetulnya, kopi barulah ditanam warga delapan tahun lalu. Semula mereka memilih kopi untuk dijadikan selingan saja, jika panen dari komoditas pertanian mereka sedang anjlok. Baginya dan warga Kuta kebanyakan, menanam kopi bukan hanya ikut tren komoditas unggulan pertanian saat ini.

 

Maman, Kuncen Adat Kampung, di dalam kawasan hutan karamat (keramat) di Kampung Adat Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Adat di Kampung Kuta

Kampung Kuta berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota Ciamis. Penamaan kampung ini sesuai letaknya yang berada di lembah dan dikelilingi tebing setinggi sekitar 75 meter. Dalam bahasa Sunda, kuta berarti tebing.

Di Kuta, pertanian menjadi mata pencaharian utama. Masa bertanam harus disesuaikan dengan perhitungan kalamangsa yakni di bulan keenam atau kelipatannya. Terlarang (pamali) jika tidak dituruti.

Bicara adat, banyak hal yang diatur olehnya. Apalagi yang menyangkut soal pengelolaan lingkungan dan tanaman yang menyangkut hajat hidup warga Kampung Kuta.

Seperti halnya pemilihan mata pencaharian utama warganya yakni aren. Bagi warga Kuta, nira aren (Arenga pinnata) alih-alih gula kelapa apalagi tebu, dipilih sebagai pemanis. Sejak ratusan tahun lalu, leluhur mereka sudah tahu jika kandungan lemak gula aren jauh lebih rendah ketimbang gula kelapa.

Kolot baheula (orang tua dulu) menganjurkan mengkonsumsi aren, ternyata baru tahu alasannya setelah banyak peneliti yang bilang aren itu sehat,” ujar Maman sembari memasukkan potongan gula aren ke dalam cangkir kopinya.

 

Aren, Tanaman Penting Kehidupan

Tak seperti umumya di daerah lain, pembuatan gula di Kampung Kuta memanfaatkan nira aren, bukan kelapa. Lebih dari seribu batang aren menjadi mata pencarian bagi warga Kampung Kuta.

Maman mengatakan hal itu berkaitan dengan larangan menyadap kelapa bagi warga Kuta. Selain padi, kelapa adalah perlambang dewi kesuburan, Sri Pohaci.

Keberadaan aren dilindungi ketat. Setiap penanamannya diawali upacara adat. Adat juga menghukum berat orang yang menebang pohon aren.

Tanaman aren sendiri memiliki keragaman fungsi sosial, ekonomi, dan budaya. Misalnya, untuk berbagai upacara adat, obat-obatan, maupun kebutuhan untuk bangunan rumah. Adapun cara mengolah nira diwariskan lintas generasi.

Surya (55) contohnya. Ia membawa dua lodong (wadah) bambu yang digendong di punggung. Dia baru saja mengambil air nira dari enam pohon aren yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.

Biasanya tiap keluarga memiliki pohon aren sendiri. Untuk itu, mereka akan menjaga penyebarluasan dan pembudidayaan pohon ini. Secara alami, bibit aren disebarkan oleh musang.

“Cukuplah untuk dibikin sagandu (1-2 kilogram gula aren),” sahutnya.

Surya bergegas pulang setelah selesai memasang lodong pengganti untuk diambil keesokan harinya. Dua lodong-nya telah penuh terisi sepuluh liter nira.

Aren juga dianggap cocok ditanam di wilayah Kuta. Ia mampu menahan erosi tanah. Akarnya memiliki kemampuan mengikat air. Hasilnya, Kampung Kuta tak pernah mengalami longsor.

Dari luas wilayah Kampung Kuta yaitu 97 hektar, enam puluh persennya kawasan hijau. Secara adat ia terbagi menjadi lahan ancepan (patilasan), hutan karamat (keramat), sawah, perkebunan dan pemukiman.

 

Daun aren digunakan warga untuk menganyam atap rumah. Di Kampung Kuta, warga dilarang membangun rumah dari tembok. Hasil penelitian rumah kayu lebih tahan gempa daripada rumah tembok. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.

 

Pantangan dan Sejarah Kampung  

Tidak hanya konsumsi makanan, gaya hidup sehat terlihat dari penataan permukimannya. Larangan menguburkan jenazah dekat dengan permukiman menjadi contoh.

Sesepuh Adat Kuta Ki Warja, bercerita jika pendiri Kampung Kuta, Ki Bumi, meletakkan konsep adat ratusan tahun lalu. Sebelum meninggal dia berwasiat minta dimakamkan di luar areal permukiman masyarakat. Hingga saat ini, jenazah warga Kuta dimakamkan di wilayah Cibodas, 600 meter sebelah utara Kampung Kuta.

Warga Kuta percaya bahwa tanah di wilayah Kuta suci. Nekat menggali tanah sama saja mengundang malapetaka. Termasuk jika menggali tanah untuk lahan pekuburan.

Mengkaji dari penjelasan ilmiah, hal ini masuk akal, karena menggali di lahan kampung yang berlereng, akan menyebabkan bahaya longsor.

Keteladanan lain yaitu letak jamban untuk mandi, cuci dan  kakus terpisah dari rumah dan mata air. Tak jarang, jamban ditempatkan di kolam ikan jauh di pinggir permukiman, dibuat dari bilik bambu dan dialiri air pancuran. Kakus dibuat untuk semua, atau bersifat umum.

“Di sini pamali mengambil air tanah,” ucap Ki Warja menjelaskan. Warga Kuta hanya memanfaatkan air yang mengalir di permukaan.

Di Kuta, air tak pernah kritis. Kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari selalu tercukupi dengan empat mata air, yaitu Ciasihan, Panyipuhan, Cinangka, dan Cibangbara yang tak pernah kering meski kemarau.

Saat ditanya perihal sejarah kampung, Ki Wajar menuturkan asal-usul Kuta lewat dongeng.

Berawal dari titah Penguasa Kerajaan Cirebon ratusan tahun lalu, Aki Bumi, – pendiri Kampung Kuta, berkelana ke daerah yang dahulu urung dijadikan ibu kota Kerajaan Galuh di tepi Sungai Cijolang.

Dia ditugaskan untuk menjaga sekaligus melakukan survey lokasi yang layak untuk pembuatan permukiman. Setidaknya dia memetakan ada 14 tempat tersebar di tebing yang mengelilingi Kuta, yaitu dari lokasi mata air, hingga calon lokasi penyimpanan perhiasan dan senjata.

Peninggalan tersebut, sekarang konon terletak di dalam hutan keramat. Misalnya, Pande Domas yaitu tempat pembuatan senjata, Gunung Barang tempat menyimpan barang. Ada pula nama Gunung Apu dan Gunung Semen untuk bahan baku membikin kerajaan.

Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa peninggalan itu disimpan di hutan karamat, yang dijaga oleh mahluk gaib bernama Ambu Rama Bima Raksa Kalijaga, Prabu Mangkurat Jaga, Sang Mentil Putih, dan Kyai Bima Raksa Nagara.

Keberadaan Leuweung Gede merupakan representasi dari ruang terbuka hijau di Kampung Kuta. Hutan seluas 32,8 hektar ini pamali untuk didatangi, kecuali pada Senin dan Jumat.

“Kalau tidak diatur sedemikian rupa mungkin sudah ruksak,” tegas Ki Warja.

Di setiap pekarangan atau halaman belakang rumah pun kita dapat jumpai beragam jenis tanaman obat. Mulai dari kaca piring, sirih, cikur, ki bangkong, dan salihara untuk mengobati muntaber, luka, batuk, dan sakit kepala.

“Sebelum pergi ke dokter, kami manfaatkan dulu tanaman obat yang ada,” kata Susi (33) seorang warga. Tindakan medis sebutnya menjadi opsi terakhir.

 

Surya (55) memasak nira di dapur rumahnya. Nira yang kemudian diolah menjadi gula merah adalah mata pencarian utama warga Kampung Kuta. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

***

Suasana sepanjang hari di Kampung Kuta nyaris sepi. Tidak ada gelak tawa anak kecil yang biasa terdengar di kampung-kampung pada umumnya. Hanya ada 227 orang  yang tinggal di permukiman Kampung Kuta.

Dari 127 rumah, diisi mayoritas orang tua. Setiap rumah tangga paling banyak punya 1-2 anak. Sebagai contoh, Susi hanya punya satu anak.

Ki Warja bilang, ketika pemerintah menyosialisasikan program keluarga berencana, warga Kampung Kuta menerima dengan senang hati sebab selaras dengan aturan adat.

“Anak kan rezeki dari Allah. Jika belum siap lahir batin, kelahiran anak lebih baik ditunda dulu demi kebaikan masa depan,” imbuhnya.

Warga Kuta seolah mafhum. Butuh perencanaan matang sebelum berpikir menikah apalagi punya anak.

 

Warga saat memanjat pohon aren. Nira aren diolah menjadi gula. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pertimbangan mengontrol jumlah kelahiran di Kampung Kuta, di mata dosen Geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Enok Maryani, adalah pengetahuan yang ciamik. Menurutnya, adat Kuta seperti mengetahui ancaman, jika terjadi lonjakan jumlah penduduk.

“Mungkin mereka punya kekhawatiran karena mereka menghabiskan waktu bekerja di ladang dan sawah. Sehingga nantinya ditakutkan anak tidak mendapatkan perhatian dan kebutuhan ekonomi yang cukup,” sebutnya.

Demikian pula, sumber daya alam yang terbatas, akan cepat terkuras, jika diisi terlalu banyak penduduk. Pemahaman itu luar biasa karena bisa memperhitungkan daya dukung, kata Enok.

Bukan tidak mungkin, kepadatan penduduk bisa menggerus banyaknya tempat keramat yang dijaga adat ratusan tahun lalu. Apalagi, bencana alam bisa saja datang sewaktu-waktu bila hutan dan tebing tanah dijadikan tempat tinggal.

 

***

Beranjak siang, Maman kedatangan tamu. Mereka adalah penziarah asal Ciamis yang hendak ke Leuweung Gede. Sebelum masuk, ia melepas sandal jepitnya. Di beranda tampak hutan rimbun ramai celotehan burung. Tak hanya alas kaki, Maman meminta, perhiasan di tubuh pun dilepas.

Berjalan sekitar 300 meter, para penziarah mengekor melintasi jalan setapak menembus ribuan pohon besar. Di sini pohon yang sudah jarang dijumpai seperti Kitamiang atau pushu (Celtis sinensis) menjulang tinggi lebih dari 20 meter. Penziarah itu sempat dikagetkan oleh sekelompok lutung jawa yang bergelantungan di antara kanopi hutan.

Hingga akhirnya mereka berhenti di mata air di tengah hutan yang hanya boleh dikunjungi Senin dan Jumat. Mata air itu dikelilingi pohon besar.

“Silahkan basuh wajah,” ujar Maman mengawali.

Berkaitan dengan tata ruang, keberadaan Leuweung Gede atau hutan keramat memang terus dijaga kelestariannya. Bagi warga Kuta, hutan itu dianggap jantung kehidupan mereka.

 

Suasana dalam hutan adat. Bagi warga Kuta, hutan keramat seluas 32 hektar adalah jantung kehidupan yang dijaga dengan pamali atau larangan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kearifan Kampung Kuta seolah menyelami hakikat dari sebuah ilmu. Filosofi kesederhanaan hidup mereka sudah mengajarkan bahwa lingkungan sudah sangat jelas bagaimana cara memanfaatkannya.

Pamali mengajarkan setia menjaga titah leluhur dalam pola kehidupan mereka. Sejak ratusan tahun lalu, pesan itu bertitah bahwa alam tidak ubahnya tubuh manusia yang harus selalu dijaga kesehatan dan keharmonisannya.

Menjaga keharmonisan menjadi kunci penting bagi dunia yang tengah mencari keseimbangan lingkungan. Tak heran jika Kampung Kua pernah dianugerahi Penghargaan Kalpataru oleh Pemerintah pada tahun 2002.

 

 

Exit mobile version