Mongabay.co.id

Dua Spesies Badak ini di Ambang Kepunahan, Bagaimana Teknologi Reproduksi Buatan akan Dilakukan?

 

 

Jacob Anampiu tersenyum. Tangannya memegangi wortel yang disodorkannya pada Fatu dan Najin. Dia adalah pengasuh badak paling langka di dunia.

“Mereka badak-badak yang hidup bahagia,” sebutnya.

Fatu dan Najin adalah nama badak putih utara [Ceratotherium simum cottoni]. Dua individu betina ini adalah dua yang tersisa dari subspesiesnya. Saat ini mereka berada di pusat konservasi insentif di Ol Pejeta Conservancy, Kenya.

 

Sudan, badak putih utara jantan terakhir, mati pada Maret 2018. Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di bawah penjagaan ketat di Ol Pejeta. Foto: Make it Kenya Photo/Stuart Price

 

Lebih dari 7.000 kilometer jauhnya, di Indonesia, badak sumatera menghadapi krisis yang sama. Meski berukuran tubuh lebih kecil daripada rekan-rekan mereka di Afrika, badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis] juga hampir punah, dengan jumlah ril diperkirakan kurang dari 80 individu tersisa.

Krisis badak sumatera berlangsung sebagaimana badak putih utara: perkiraan populasi telah anjlok 70% di satu dekade, dan upaya untuk membiakkan mereka secara alami di penangkaran telah menghasilkan beberapa keturunan.

Tetapi, teknologi reproduksi buatan atau artificial reproductive technologies [ART] yang dirintis untuk badak putih utara belum diterapkan secara luas untuk badak sumatera.

Para ilmuwan telah membuat langkah besar, menciptakan teknologi yang menjadi satu-satunya kesempatan bagi badak putih utara untuk bertahan hidup. Pada Agustus 2019, tim ahli internasional berhasil “memanen” sel telur Fatu dan Najin.

Telur-telur itu dikirim ke Italia, ke sebuah laboratorium swasta, dimana sel telur akan dicampurkan dengan sperma yang diawetkan dari badak putih jantan yang telah mati. Jika semua berjalan baik, embrio itu akan ditanamkan pada induk badak pengganti dari badak putih selatan yang secara genetis sama. Karena masalah kesehatan, Fatu dan Najin tidak dapat melahirkan.

Thomas Hildebrandt, dari Institut Leibniz Jerman untuk Penelitian Kebun Binatang dan Satwa Liar, adalah satu dari sedikit peneliti yang terlibat langsung program ART untuk kedua spesies badak.

Dia memimpin ekstraksi oosit dari Fatu dan Najin di Kenya pada Agustus 2019. Satu bulan kemudian, dia melakukan proses ART pada Iman, satu-satunya badak sumatera [saat itu] yang masih hidup di Malaysia.

Sayangnya, para ilmuwan tidak berhasil membuat embrio badak sumatera. Masalahnya ada pada buruknya kualitas sperma badak jantan yang ada di Sabah. Negosiasi untuk meminta sperma badak sumatera asal Indonesia mengalami kebuntuan saat itu.

Beberapa saat kemudian, pada November, Iman mati yang berarti bahwa semua badak sumatera tersisa hanya ada di Indonesia [Sumatera dan Kalimantan].

Hildebrandt menyebutkan kepada Mongabay bahwa meski dia bisa berkontribusi melalui keahliannya, dia tidak pernah diundang ke Indonesia untuk melakukan ekstraksi.

“Kami bertemu beberapa pejabat di Jakarta, tetapi tidak pernah diizinkan untuk bekerja pada badak sumatera secara langsung di Indonesia,” jelasnya.

 

Badak sumatera muda di Suaka Badak Sumatera, Way Kambas, Lampung, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Indonesia menerapkan kebijakan larangan untuk pengiriman sperma badak sumatera ke luar negeri. Para peneliti pun harus menempuh cara lain untuk itu.

“Proses ART tampaknya tidak akan dilakukan di Cincinnati. Tidak juga di San Diego. Bahkan bukan juga di Berlin. Di Indonesia akan dilaksanakan, jika memang akan dilaksanakan,” kata Terri Roth, Kepala Fasilitas Penelitan CREW Kebun Binatang Cincinnati yang memelopori proses pengembangbiakkan badak sumatera di penangkaran.

 

Tim internasional yang bekerja untuk memanen sel telur dari badak sumatera Iman di Malaysia pada Mei 2014. Foto: Dok. BORA [Borneo Rhino Alliance]

 

Hildebrandt menyebut, dia telah membantu melatih para ahli lokal tentang banyak aspek ART badak, yaitu sejak dari pemberian anestesi secara aman hingga identifikasi oosit.

“Tidak mudah untuk mengulangi proses yang kita lakukan karena butuh banyak pengalaman,” katanya.

Anatomi badak – jenis putih utara dan sumatera – membuat ekstraksi telur menjadi proses yang sangat rumit, dan berisiko menusuk pembuluh darah besar. Satu kesalahan gerakan oleh tangan yang tidak ahli dapat membunuh badak.

“Beberapa teknik yang kami lakukan bisa berbahaya, jika Anda tidak memiliki pengetahuan seperti yang kami miliki,” katanya. “Jika diperlukan, kami akan bagikan apa yang kami miliki yang mungkin bermanfaat untuk penyelamatan spesies ini.”

 

Satu dari dua individu badak putih utara tersisa. Dengan hanya dua betina dan tidak ada jantan yang hidup, satu-satunya harapan untuk kelangsungan hidup spesies ini terletak pada teknologi. Foto: Lauren Evans

 

Indonesia sendiri tampakya sedang menyiapkan tim ahli. Muhammad Agil, salah satu tim dokter hewan badak sumatera di Indonesia menyebutkan sudah ada proses ke arah itu. Meski sekarang, ada satu hal yang membuat seluruh proses terhenti, yaitu akibat pandemi COVID-19.

“Kami terpaksa menghentikan semua persiapan yang sudah kami rencanakan,” katanya.

Menurut Agil, Pemerintah Indonesia sangat sadar akan pentingnya ART, dan telah meminta dia dan beberapa rekannya untuk membentuk tim kerja, termasuk menjalin kerja sama dengan orang seperti Hildebrandt, Terri Roth, dan lainnya.

Di atas kertas, Agil mengatakan mereka sudah siap dan dapat melakukannya. Bahkan telah mengidentifikasi badak sumatera betina yang dapat digunakan untuk memanen sel telur. Namun kemudian, COVID-19 menyerang.

“Kami memiliki tujuan yang sama, dan kami ingin menyelamatkan badak sumatera untuk generasi berikutnya. Saya pikir itu adalah tanggung jawab kita bersama untuk melakukannya,” jelas Hildebrandt.

“Perbedaan pribadi harus disingkirkan, untuk pekerjaan yang lebih besar,” pungkasnya.

 

Satu dari dua anak badak yang lahir di Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Indonesia. Tujuh badak Sumatra saat ini berada di Suaka Badak Sumatera, termasuk dua badak yang lahir di penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati, dan dua badak yang lahir di cagar alam. Kelahiran ini telah memperbarui harapan bahwa spesies dapat berkembang biak di penangkaran tanpa menggunakan ART. Namun, semua badak sumatera jantan yang saat ini berada di penangkaran memang terkait secara genetik. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: For two rhino species on brink of extinction, it’s collaboration vs. stonewalling. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version