Mongabay.co.id

Sebulan Dua Kali Banjir, Pengelolaan Lingkungan Gorontalo Salah Arah?

 

 

Kamis, 11 Juni 2020, Gorontalo diguyur hujan sepanjang hari. Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango meluap. Sore hari, jembatan Molingtogupo sepanjang 120 meter putus dihantam air bah. Puncaknya malam hari, banjir bandang menghantam tiga kecamatan di Kota Gorontalo dengan jumlah masyarakat terdampak sebanyak 15.083 orang. Di Kabupaten Bone Bolango, banjir merendam tujuh kecamatan dengan warga terdampak sebanyak 8.867 orang.

Tak sampai sebulan, tepatnya 3 Juli 2020, hujan seharian kembali mengguyur Gorontalo. Sungai Bone meluap lagi. Kali ini, jembatan di Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, putus dihajar air bah. Jembatan tersebut penghubung ke Kecamatan Pinogu, yang merupakan daerah enclave di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Jembatan itu juga akses para para penambang emas tanpa izin [PETI].

Data Badan Penanggulanan Bencana Daerah Provinsi Gorontalo menyebut, banjir ini menyebabkan 31.679 jiwa terdampak. Mereka tersebar di Kota Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, dan juga Kabupaten Boalemo.

Banjir kedua itu menghadirkan longsor di sejumlah tempat. Namun yang menjadi korban adalah di lokasi PETI, sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Seorang penambang asal Sulawesi Tengah meninggal tertimbun material batu dan kayu.

“Jenazah kami temukan keesokan hari jam 07.00 pagi. Kami tandu jalan kaki pakai karung, tiba di perkampungan jam 12.15 siang, melewati jembatan putus,” kata seorang penambang, Kamis 4 Juli 2020, kepada Mongabay Indonesia.

Meski demikian, kematian itu tidak menyurutkan mereka kembali ke areal pertambangan. Untuk melewati jembatan yang putus tadi, warga setempat menyiapkan rakit dari bambu. Tarifnya 10.000 rupiah, sementara untuk kendaraan bermotor dikenakan 50.000 rupiah.

Baca: Banjir Bandang Itu Tidak Datang dengan Sendirinya

 

Jembatan Molintogupo di Kabupaten Bone Bolango putus akibat banjir menerjang Gorontalo pada Juni 2020. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Banjir kedua ini sebarannya lebih luas dan genangan airnya lebih tinggi. “Banjir pertama rumah saya aman. Banjir kedua, rumah saya kerendam sejak pagi hingga puncaknya tengah malam,” ungkap Yanto Tuna, warga Kelurahan Talumolo, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo.

Banjir Juni itu, merendam hatchery atau tempat penetasan telur maleo dan nesting ground atau lokasi peneluran sekitar 80 cm yang dekat Sungai Bone. Lokasi peneluran pun tertutup lumpur, pasir, batang pohon, dan daun sisa banjir.

“Jumlah telur dalam hatchery sebanyak 273 butir dengan umur rata-rata satu bulan. Setelah dilakukan penggalian dan pemeriksaan, total 14 chick atau anakan maleo yang menetas tapi mati tertutup lumpur,” ujar Supriyanto, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Menurutnya, upaya yang dilakukan pasca-banjir adalah memindahkan telur ke lokasi aman serta mengkaji ulang kondisi hatchery, terutama kestabilan suhu tanah dan substrat tempat penetesan. Pihak balai juga akan melakukan kajian dan simulasi analisis banjir, terutama pada lokasi dekat sungai besar.

Baca: Banjir, Antropogenik, dan Demokrasi

 

Ini adalah jenazah penambang emas tradisional yang meninggal akibat banjir bandang dan longsor pada 3 Juli 2020. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Laju kerusakan hutan

Kenapa Gorontalo dihantam banjir?

Jaring Perkumpulan Advokasi Sumber Daya Alam [Japesda], memberikan analisisnya. Menurut Nur Ain Lapolo, Direktur Japesda Gorontalo, bagi sebagian orang, banjir di Gorontalo kali ini disebut-sebut karena intesitas hujan cukup tinggi, sehingga Sungai Bone meluap.

“Intensitas hujan itu salah satu faktor. Penyebab utama banjir adalah laju kerusakan hutan atau deforestasi, serta rusaknya wilayah hulu Daerah Aliran Sungai [DAS],” terangnya, Minggu [12 Juli 2020].

Ia menyebut, kehadiran konsesi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, ikut memberikan sumbangsih terhadap laju kerusakan hutan. Data Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan, terdapat 24 izin pertambangan bahan mineral, yang terdiri dari 21 izin usaha pertambangan [IUP] dan 3 izin kontrak karya [KK] di Gorontalo.

Japesda Gorontalo merinci, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010, luas hutan Provinsi Gorontalo adalah 824.668 hektar, dan tutupan lahan dengan tingkat deforestasi 17 persen. Sementara data Forest Watch Indonesia, luas hutan Gorontalo 2016 adalah 714.031 hektar. Dengan demikian, selang 6 tahun terjadi pengurangan luasan sebesar 110.367 hektar, atau 13 persen akibat deforestasi.

Baca: Energi Terbarukan dan Ancaman Perubahan Iklim di Gorontalo. Seperti Apa?

 

Banjir ke dua di Gorontalo menyebabkan jembatan di Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango putus. Warga membuat rakit dan memikul kenderaan untuk melewati sungai. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo 2017 memastikan, luas hutan Gorontalo adalah 764.970,50 hektar. Selain itu, data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] 2017-2018 menunjukkan, pada kategori deforestasi hutan lindung [HL]: luasan yang hilang 1.009,1 hektar dan Gorontalo berada pada peringkat ke-13 di Indonesia.

Sementara itu, dari 490.996.29 hektar wilayah Sungai Limboto, Bolango, dan Bone, tiga sungai besar ini sering meluap yang mengakibatkan banjir, hanya 50.513.29 atau 10 persen yang kondisinya baik.

“Artinya, sekitar 90 persen lahan [dalam dan luar kawasan hutan] dalam kondisi kritis,” ungkap Nur Ain.

Selain kerusakan di hulu, sungai-sungai yang di Provinsi Gorontalo juga dalam kondisi tidak baik. Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDAS-HL] Bone Bolango menunjukkan, dari 520 daerah aliran sungai [DAS] di Provinsi Gorontalo, hanya 27 DAS dalam kondisi baik. Sementara 493 atau 94 persen, sedang dipulihkan atau dengan kata lain kondisinya kritis.

“Inilah yang membuat banjir selalu terjadi di Gorontalo.”

Menurut Nur Ain, pemerintah daerah harus mengevaluasi perizinan perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan hutan tanaman industri [HTI]. Serta, perbaiki juga kawasan hutan dan lahan yang rusak, disertai evaluasi keberhasilan dan kegagalannya.

“Pemerintah harus tegas terhadap permasalahan ini.”

Baca juga: Begini, Cara Kabupaten Gorontalo Hadapi Perubahan Iklim

 

Banjir 3 Juli 2020 di Kota Gorontalo jaraknya tak sampai satu bulan dari yang pertama. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bapppeda Provinsi Gorontalo, Budiyanto Sidiki, saat dialog di Radio Republik Indonesia [RRI] Gorontalo, 5 Juli 2020, menjelaskan peta kerawanan banjir dan luas lahan kritis yang ada.

Budiyanto memberikan sejumlah rekomendasi. Sebut saja, revitalisasi Danau Limboto, pemanfaatan kawasan di atas kemiringan 30 persen sebagai lahan pertanian pangan, penanggulangan kualitas dan kuantitas air di Sungai Limboto, Bolango, dan Bone, serta perbaikan konsesi hutan tanaman industri [HTI].

Mengenai HTI, dia menyebut agar dilakukan morotorium izin baru serta ada monitoring dan evaluasi aktivitas yang telah ada. Selain itu, terhadap izin perusahaan yang telah dikeluarkan namun belum dimanfaatkan, ia meminta dinas terkait agar dicabut.

“Mewajibkan pemegang izin tidak melakukan penebangan pohon existing sebelum tanaman pohon yang dibudidayakan perusahaan memenuhi syarat tebang,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version