Mongabay.co.id

Nagari Simarasok, Mencari Asa Sejahtera dari Sadapan Getah Pinus

 

Nagari Simarasok di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat merupakan nagari (desa) yang berada tidak jauh dari Kota Bukittinggi. Tepatnya terletak di jalan provinsi Bukittinggi – Payakumbuh. Nagari ini berlokasi di jejeran perbukitan yang menghadap Gunung Marapi, sehingga ia dianugerahi oleh iklim pegunungan yang sejuk.

Sebagian wilayah nagari ini berstatus Area Penggunaan Lain (APL), dan sebagian masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Wilayah APL di Simarasok pernah dikuasai oleh sebuah perusahaan swasta yang memanfaatkan tanaman pinus. Pinus adalah tanaman yang bergetah (gondorukem), yang merupakan bahan untuk terpentin dan cat vernis.

Pada tahun 2016 para pemangku negari didampingi perwakilan KKI WARSI, -sebuah organisasi non profit, mengajukan usulan pengajuan untuk perhutanan sosial dalam skema hutan nagari.

Ajuan itu disampaikan kepada Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Agam Raya. Saat awal, luas hutan yang diajukan dalam skema ini adalah 404 hektar, – meski pada akhirnya sesuai SK Pengesahan pada bulan Juli 2017, yang disetujui 397 hektar kawasan hutan menjadi kawasan hutan nagari.

Sejak itu, derap ekonomi masyarakat mulai terasa. Masyarakat yang sebelumnya dilarang masuk ke kawasan hutan lindung, mulai dapat memanfaatkan sumber daya yang ada. Dengan tetap tidak merusak dan mempertahankan fungsi kawasan seperti semula.

Baca juga: Nagari Lubuk Karak, Jantungnya Hutan Negeri Dharmasraya

 

Pekerja yang tengah mengumpulkan hasil penyadapan getah pinus di Hutan Nagari Samarasok. Foto: Rahmat Hidayat/KKI WARSI

 

Pengelolaan Kawasan Hutan Simarasok

Setelah legalitas atas kawasan hutan nagari dan APL diperoleh, maka untuk pengelolaan kawasan hutan nagari, masyarakat adat membentuk Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Simarasok yang bertugas menyusun, merencanakan dan mengelola potensi kawasan hutan yang ada.

Seperti dituturkan oleh M. Zakir, Ketua LPHN, maka dari hasil pemetaan potensi hutan nagari kaya dengan hasil hutan non kayu (HHNK), diantaranya getah pinus, 12 sumber mata air, dan berbagai jenis rotan yang tersebar di 13 hektar di dalam kawasan hutan.

Pohon pinus memang memiliki sejarah di masyarakat. Pada tahun 1977, tanaman ini digalakkan oleh pemerintah dalam memenuhi program reboisasi kawasan hutan. Karena kontur dan jenis tanah dianggap sesuai, tanaman ini dipilih ditanam di Simarasok.

“Dulu waktu kami masih di Sekolah Dasar, kami ikut tanam pinus di hutan. Kami dapat Rp25 per pohon yang ditanam,” ungkap Zulkarnaini Marajo, salah seorang warga menjelaskan.

Adapun dari pemetaan potensi, pinus terdapat di 53 hektar kawasan hutan nagari. Dari jumlah itu hanya 41 hektar yang bakal dimanfaatkan. Sisanya berada di lahan yang memiliki kemiringan curam, yang tak mudah untuk dikelola.

Berdasarkan peta potensi, jumlah pohon pinus yang dapat diambil getahnya ada 21.689 batang, dengan perkiraan hasil getah mencapai 10,25 ton per bulan.

Lewat kesepatan di dalam LPHN, potensi getah pinus di dalam kawasan hutan dijual lelang kepada perusahaan yang berminat untuk memanfaatkannya.

Uniknya, sebagai salah satu syarat perusahaan yang bisa mengikuti lelang, maka perusahaan itu harus dimiliki oleh warga asli Nagari Simarasok. Selain itu perusahaan harus merekrut setidaknya 70 persen pekerja yang berasal dari orang asli setempat.

Pada saat awal, terdapat 19 CV (perseroan komanditer) yang mengambil dokumen keikutsertaan sebagai peserta lelang. Sampai akhir batas penyerahan dokumen ada 7 CV yang menyerahkan dokumen kelengkapan.

Pelelangan pun dilakukan pada tanggal 7 April 2019 lalu. Dimenangkan oleh CV Starla dengan nilai penawaran bagi hasil (benefit sharing) tertinggi kepada LPHN, yaitu Rp4.100 per kilogram.

Dengan nilai pembagian ini, maka dengan asumsi dalam setiap bulan kawasan hutan Simarasok menghasilkan 10 ton getah, maka LPHN akan dapat memperoleh penghasilan hingga Rp41 juta per bulan.

Baca juga: Perhutanan Sosial, Solusi atas Konflik Tanah Ulayat di Ranah Minang?

 

Hasil sadapan getah pinus di kawasan Hutan Nagari Simarasok. Getah ditampung di dalam batok kelapa. Foto: Rahmat Hidayat/KKI WARSI

 

Sejak bulan Juli 2019 para pekerja yang diupah oleh CV Starla mulai mengumpulkan getah. Getah pinus dikumpulkan di dalam tempurung kelapa penampung getah, layaknya getah karet. Menurut para pekerja, diperkirakan dalam sebulannya satu pohon pinus akan mampu menghasilkan 1-2 kg getah.

Secara metode, mengambil getah pinus kurang lebih sama seperti metode menyadap getah karet. Bedanya, jika pada penyadapan pohon karet dilakukan dengan cara memutar atau spiral, maka untuk pohon pinus dilakukukan dengan membuat koakan sebanyak maksimal 8 titik di masing-masing batang. Adapun jarak antar koakan selebar 15-20 cm.

Koakan pada batang pinus dapat digunakan berkali-kali. Bahkan ketika koakan itu tidak lagi menghasilkan getah maka dapat dipilih bagian lain pada pohon yang bisa dibuat koakan. Tak jarang koakan pinus bisa sampai di bagian batang pohon yang lumayan tinggi.

Sembari menampung dari koakan yang masih menghasilkan, koakan pinus di bagian batang lain yang tidak lagi menghasilkan getah, akan menyembuhkan diri sendiri. Suatu ketika ia akan bisa dimanfaatkan kembali.

Dengan model pelelangan, selain membawa keuntungan bagi komunitas lewat LPHN, maka penyadapan getah pinus turut pula membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Warga nagari dapat menjadi pekerja dalam menyadap getah pinus. Upaya ini tentunya akan membawa dampak positif bagi kondisi sosial-ekonomi warga setempat.

Dalam jangka panjang LPHN memiliki cita-cita untuk mandiri dan berdikari. Sehingga suatu saat ia akan dapat mengelola jasa lingkungan hutan dan HHNK yang ada dalam kawasan Hutan Simarasok. Termasuk di dalam perencanaannya,  menyiapkan sumberdaya manusia terampil yang berasal dari nagari.

 

* Nabhan Aiqani,  penulis adalah Knowledge Management Specialist di Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. 

 

 

Exit mobile version