Mongabay.co.id

Banjir-Longsor Sorong 5 Orang Tewas, Koalisi: Benahi Tata Kelola

 

 

 

 

Banjir menggenangi Kota Sorong, Papua Barat pada 16 Juli 2020. Rumah-rumah warga maupun perkantoran dan fasilitas sosial tergenang. Air masuk ke rumah dan bangunan, seperti di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Sorong terendam setinggi satu meter. Tanah longsor pun terjadi di Klademak mengakibatkan tiga warga meninggal tertimbun. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sorong melaporkan lima orang tewas dalam bencana banjir dan longsor ini.

Sejak Mei 2020, di Sorong, Papua Barat, cuaca tak menentu. Kalau pagi sampai siang panas, pada sore hari sampai tengah malam akan hujan deras.

Pada 16 Juli pukul 16.00 waktu setempat, hujan lebat mulai mengguyur Kota dan Kabupaten Sorong, sekitar enam jam. Banjir dan longsor pun terjadi. Beberapa anak sungai meluap, seperti Kali Jembatan HBM, Kali Jembatan KM8, Remu, dan Kali Arteri.

Agus Salim, warga Kampung Bugis, KM10 Sorong bercerita, rumahnya tergenang air, harta benda rusak. “Ini banjir pertama yang masuk ke rumah saya. Tingginya lima jingkal tangan saya,” katanya Dia bilang, TV, kulkas dan beragam perkakas terendam serta rusak.

Joko, warga Jalan Melati Raya KM9 juga alami nasib sama.

“Ini banjir pertama yang masuk setinggi ini ke dalam rumah. Barang-barang jualan saya hingga perkakas rumah tenggelam.”

Jumat Tarage, Ketua RT Kokoda, mengatakan, sejak malam sampai subuh mereka tinggal di perahu. “Karena rumah saya yang panggung pun banjir naik.”

“Ini banjir pertama yang parah begini. Biasanya hujan dan banjir tapi tidak begini. Tempat ibadah juga air masuk,” katanya.

Kompleks Kokoda memang tempat rawan banjir, tetapi banjir Kamis lalu lebih dari banjir biasa.

Manase Lek, Ketua RT Kelurahan Sawagumu KM10 mengatakan, banjir ini karena kerusakan alam parah di Sorong. “Gunung-gunung di KM10 habis hingga daerah KM10 ini jadi langganan banjir. Kita sudah kasih laporan terus-terus ke pemerintah tapi tidak ada tanggapan.”

Dia meminta, kepada pemerintah untuk memperhatikan KM10 dan mengupayakan pembangunan yang mampu membebaskan masyarakat sekitar dari banjir.

 

Alih fungsi lahan

Galian C menggila di Sorong hingga menghabisi wilayah-wilayah resapan air. Wali Kota Sorong Lambert Jitmau mengatakan, tak pernah mengeluarkan izin pengelolaan tambang galian C. Kondisi lapangan, hampir sebagian besar daerah pegunungan yang merupakan hutan lindung rusak oleh para pengusaha galian C.

Izin galian C itu, katanya, keluar dari Pemerintah Papua Barat. Dia sudah meminta agar studi kelayakan sebelum izin pertambangan keluar.

“Puluhan tambang pasir galian C beroperasi di KM10 distrik Kota Sorong, diduga mendapat izin dari pihak-pihak tertentu, hingga mereka seenaknya saja mengelola galian C tanpa memikirkan dampak lingkungan,” kata Lambertm, dikutip dari Kompas.com.

 

Baniir yang menggenangi kawasan Jalan Melati Raya KM 9. Foto: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

 

Alexander Leda, Kepala Balai Wilayah Sungai Papua Barat mengatakan, dari studi mereka, ditemukan sekitar 600 hektar lahan beralih fungsi dari tempat pemukiman warga jadi galian C. Dia berharap, ada perhatian serius Pemerintah Kota Sorong dan Papua Barat menyikapi hal ini.

“Dari temuan di lapangan, sebagian besar saluran drainase penyebab banjir bersumber dari limbah galian C,” kata Alexander.

 

Tata kelola buruk

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Lingkungan menyatakan, banjir di Kota Sorong sudah seringkali terjadi dalam 10 tahun terakhir. Semestinya, pemerintah dapat mengendalikan dan mengelola banjir. Sayangnya, pemerintah abai mencegah banjir dan mengurangi risiko warga.

“Pemerintah belum proaktif respons cepat atas pemulihan kondisi warga terdampak, fasilitas sosial, kesehatan dan lingkungan,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dalam rilis kepada media.

Koalisi ini terdiri dari Papua Forest Watch, Perkumpulan Belantara Papua, Perkumpulan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua, AMAN Sorong Raya, Walhi Papua, Greenpeace Indonesia dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Koalisi menilai, katanya, bencana banjir bukan peristiwa alam biasa, melainkan buah tata kelola pembangunan buruk yang mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan, tak menghormati HAM dan kelestarian lingkungan.

“Praktik alih fungsi lahan masih terjadi, eksploitasi hasil hutan kayu dan ekstraksi penambangan pasir pada kawasan hutan di hulu sungai yang topografi relatif curam.”

Daerah aliran sungai, kata Angky, semestinya tidak boleh ada pemukiman dan infrastruktur lain, tetapi terus saja jadi tempat pembangunan kota dan fasilitas bisnis komersial.

“Ketika hutan dan tanah tidak lagi mampu maksimal menjalankan fungsi ekologi sebagai daerah resapan, perubahan ini mendatangkan bencana. Volume air hujan terus meningkat dan mengalir tidak terkendali, terakumulasi dengan cepat dan menggenangi kota, mengancam keselamatan manusia.”

Belum lagi, katanya, saluran air buruk, tak memadai disertai sampah hingga air bebas meluap, menggusur, menenggelamkan dan membawa harta benda.

“Kota Sorong tidak lagi ramah. Kami atas nama Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Lingkungan mendesak pemerintah segera memberikan bantuan program tanggap cepat terhadap warga terdampak banjir untuk pemulihan sosial, ekonomi dan kesehatan.”

Greenpeace menyatakan, sebagian Kota Sorong adalah daerah rawan banjir terutama di pemukiman seperti KM10 sampai Kampung Baru. Gunung-gunung sekitar rusak, terkeruk, padahal berfungsi sebagai daerah resapan air.

Selain itu, sistem pembangunan Sorong dinilai tidak teratur seperti pembuatan drainase tidak berbasis tujuan tetapi proyek alias asal-asalan. Ditambah lagi, pemberian izin pembukaan perumahan di daerah-daerah penyangga seperti kawasan manggrove di belakang Airport dan Malibela serta penggundulan daerah hulu sungai dengan galian C tidak terkontrol.

Pemerintah Sorong diminta meningkatkan keseriusan menata kota dengan konsep ramah lingkungan. Mereka meminta, Pemerintah Kota Sorong menangani ancaman banjir dengan menjalankan kebijakan pembangunan kota berkelanjutan. Juga, mengupayakan tata ruang kota yang melindungi dan menghormati hak asasi manusia.

“Pembangunan yang berkeadilan dan kelestarian lingkungan, membangun prasarana sumberdaya air secara memadai, dan penegakan hukum.”

 

 

Rumah-rumah di Kompleks Kokoda KM8 Kota Sorong, yang terendam banjir. Foto: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version