Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor Luwu Utara, Berikut Analisis Penyebabnya

Pemukiman penduduk yang terendam banjir di Luwu Utara. Foto: BNPB

 

 

 

 

Krisis pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), belum usai, negeri ini dilanda berbagai bencana banjir dan longsor, seperti terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Data 19 Juli, sekitar 38 orang meninggal dunia, dan 46 orang hilang. Beberapa faktor disebut jadi penyebab bencana ini, seperti alih fungsi hutan dan lahan, sampai curah hujan tinggi.

Pada 12 Juli, hujan lebat sekitar 10 jam, dari malam hingga subuh pada 13 Juli. Siang, 13 Juli hujan susulan datang hampir delapan jam. Sampai 19 Juli ada enam kecamatan berdampak, yakni, Masamba, Sabbang, Baebunda, Baebunta Selatan, Malangke dan Malangke Barat.

Kecamatan Masamba, satu daerah terdampak banjir limpasan tinggi hingga ekstrem paling parah. Wilayah lain sebagian besar berada pada kategori banjir dengan genangan tinggi.

Bupati Luwu Utara telah menetapkan status tanggap darurat selama 30 hari, terhitung 14 Juli-12 Agustus 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana memberikan dana siap pakai Rp1 miliar bantuan logistik dan serta dan dukungan lain dalam upaya penanganan.

“Hingga saat ini 38 jiwa korban meninggal dunia, 46 jiwa hilang, 58 luka dan dirawat,” kata Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam konperensi pers daring 19 Juli.

Sebanyak 14.483 jiwa atau 3.627 keluarga mengungsi di 76 titik dan tersebar di tiga kecamatan, di Sabbang, Baebunta dan Massamba. BPBD Luwu pun mendata kelompok rentan yang mengungsi, terdiri dari 2.530 lansia, 870 balita, ada 124 bayi dan 137 ibu hamil.

 

Kondisi cuaca mendung pasca hujan dengan intensitas sedang pukul 16.00 WITA di Kecamatan Masamba, Luwu Utara,Sulawesi Selatan. Foto: BNPB

 

Kebutuhan air bersih

Hermansyah, Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Utara mengatakan, pasokan air bersih sangat diperlukan warga di pengungsian.

Pemerintah Luwu Utara memberikan layanan dan fasilitas tambahan bagi kelompok rentan, seperti lansia, ibu hamil, balita dan anak-anak. Hingga kini, TNI Polri sudah membangun beberapa tenda dan MCK di hunian sementara masih terkendala dengan sumber air bersih. Brimob akan membuat sumur bor.

Menteri Sosial Republik Indonesia Juliari Batubara juga mengingatkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat Luwu Utara tetap waspada penularan COVID-19 dan melaksanakan protokol kesehatan.

“Kita masih dalam situasi pandemi jadi protokol kesehatan harus tetap dijalankan. Karena belum ada vaksin, protokol kesehatan adalah harga mati,” katanya.

Pendataan sementara untuk kerugian material bangunan mencakup 4.202 rumah, terdiri dari mikro usaha (61), tempat ibadah (13), sekolah (9), kantor pemerintah (8), fasilitas kesehatan (3), fasilitas umum (2) dan pasar tradisional (1).

Kerugian infrastruktur meliputi jalan terdampak sepanjang 12.8 km, sembilan jembatan, pipa air bersih 100 meter, dua bending irigasi. Akses

Kerusakan jaringan pipa air bersih PDAM mengakibatkan suplai air sulit bahkan PDAM masih belum beroperasi. Pada infrastruktur jaringan listrik belum semua beroperasi, terdapat beberapa titik masih padam. Sedangkan jaringan komunikasi belum stabil. Banjir juga merusak lahan produktif berupa pertanian dan persawahan seluas 460 hektar.

 

Proses evakuasi korban meninggal dunia yang ditemukan oleh tim gabungan di Desa Radda, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Foto: BNPB

 

Alih fungsi lahan

Berdasarkan hasil analisa sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK mengatakan, ada dua faktor penyebab banjir bandang, yakni, alam dan manusia.

“Faktor manusia, ada pembukaan lahan di hulu DAS Balease dan penggunaan lahan masif berupa perkebunan sawit,” kata Yuli Utami, Kasubdit Kelembagaan DAS, Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai KLHK.

Berdasarkan analisa peta kawasan, lokasi banjir bandang adalah wilayah alokasi penggunaan lain (APL), hulunya hutan lindung dan produksi.

Mereka masih berkoordinasi Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan dan KPH Rongkong guna melihat kondisi di hulu apakah terjadi perambahan liar.

M.Rokhis Khomarudin, Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh Lapan menyebutkan, hasil analisis tutupan lahan di DAS Balease, Rongkong dan Amang Sang An dengan citra landsat 2010-2020 menunjukkan ada penurunan hutan primer sekitar 29.000 hektar. Juga terjadi peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan lahan perkebunan sekitar 2.261 hektar.

Tim Lapan, katanya, menemukan banyak titik-titik longsor di hulu sungai Rongkang, Radda dan Masamba. “Kondisi ini harus diwaspadai untuk mencegah bencana banjir bandang berikutnya. Ini perlu diperhatikan,” katanya.

Struktur geomorfologi dan geologi Luwu Utara memperlihatkan, hulu Sungai Sabbang, Radda dan Sungai Masamba merupakan perbukitan sangat terjal dan kasar. Kondisi ini terbentuk dari patahan-patahan akibat proses tektonik masa lalu.

 

 

Banyaknya patahan di wilayah ini menyebabkan struktur batuan atau tanah tidak cukup kuat mempertahankan posisi. Kondisi ini, menyebabkan lahan mudah longsor dan apabila terakumulasi dapat terjadi banjir bandang.

Yuli bilang, kemiringan lereng di hulu DAS Balease juga sangat curam. Desa Balebo dilewati DAS ini memiliki kemiringan hingga 45%.

Pada lereng DAS itu juga memiliki karakteristik tanah dan batuan rentan longsor. Jenis tanah distropepts atau inceptisols dengan sifat tekstur lempung, debu dan struktur tanah remah dengan konsistensi gembur.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan konsolidasi tanah cenderung rendah dan bersifat lepas-lepas. Jenis batuan abu vulkan, batu pasir dan batu lumpur juga mudah rapuh.

Karakteristik tanah dan batuan ini, kata Yuli, pada lereng curam menyebabkan potensi longsor tinggi dan secara alami membentuk bendung alami yang tak stabil hingga mudah jebol kalau ada akumulasi air berlebih.

“Sebenarnya, di lokasi banjir bandang bukan lahan kritis, meski ada sedikit wilayah agak kritis namun dengan kelerengan tinggi dan jenis tanah lepas-lepas, curah hujan tinggi jadi pemicu banjir bandang. Wilayah banjir bandang, topografi sangat curam dengan kemiringan 20-40%,” kata Yuli.

Lokasi banjir bandang di Desa Rada dan Balebo ini memang rawan longsor. Peta tutupan lahan juga terlihat banyak pembukaan lahan. Di lokasi banjir bandang, katanya, ada pemukiman dan pembukaan lahan.

Agus Budianto, Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi Energi dan Sumber Daya Mineral, menjelaskan, dari tinjauan geologi menyebutkan, banjir bandang terjadi karena akumulasi curah hujan tinggi dan atau ada sumbatan-sumbatan di sepanjang jalur sungai.

“Kestabilan lereng terjadi pada beberapa waktu lalu, bukan kejadian tiba-tiga, sejak Mei mungkin sejak Desember untuk wilayah Sulawesi. Meningkat sedikit di bagian hulu.”

Lereng ini terbentuk dari formasi batuan sedimen, vulkanik dan pelapukan bersifat urai. Soil tebal pelapukan secara bertahap membentuk longsoran ke sungai. Selain itu, daerah itu rentan karena bekas patahan.

 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo (tengah) didampingi Plt. Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Dody Ruswandy (dua kanan) dan Tenaga Ahli BNPB Egy Massadiah (kanan), berbincang dengan Kalaks Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Selatan, Muslim (dua kiri) saat meninjau kondisi pascabencana banjir bandang di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (17/720). Foto: BNPB

 

Daerah rawan

Berdasarkan Peta Bahaya Bencana Banjir Bandang yang dimiliki BNPB (InaRISK), Luwu Utara merupakan kabupaten yang memiliki risiko bahaya sedang dan tinggi. Potensi bencana ini hampir berada di seluruh wilayah sepadan sungai, tidak terkecuali pada enam kecamatan terdampak.

Doni Monardo, Kepala BNPB menyatakan, ada alih fungsi hutan jadi lahan untuk pertanian dan pertambangan di hulu, yakni, di bagian atas Gunung Lero. Ada pula dugaan penyerapan air ke dalam tanah tidak terjadi maksimal saat hujan lebat akibat hulu gundul, hingga menyebabkan air mengalir bebas menerjang di bagian hilir dan permukiman padat penduduk.

Secara terpisah, Raditya mengatakan, peralihan fungsi lahan di Luwu Utara dan sekitar menjadi salah satu penyebab banjir terlihat dari membandingkan gambaran lewat drone antara 2014, 2019 dan 2020 saat terjadi bencana.

“Dari sini (peta) terlihat mulai ada galian (2017) hingga muncul galian seluas 60 hektar (2018),” katanya.

Pada, 30 Agustus 2019, galian masih terbuka, namun pada 14 Oktober 2019, galian sudah tertutup vegetasi berarti sudah ada upaya perbaikan lahan tetapi muncul galian baru di bagian atas seluas 26 hektar.

Perubahan ekosistem dan alih fungsi lahan di wilayah selatan, perlu jadi perhatian. Dia bilang, perlu ada kesadaran kolektif bahwa, saat penduduk makin bertambah dan kebutuhan lahan pertanian makin banyak, harus mengutamakan dan menjaga keseimbanga alam.

“Jangan sampai alam terganggu karena kita mengelola tidak tepat.”

 

Keterangan foto utama: Pemukiman penduduk yang terendam banjir di Luwu Utara. Foto: BNPB

 

Exit mobile version