Mongabay.co.id

Dari Sampah Daun, Menjadi Kompos, Kembali ke Tanaman

 

Azan subuh selesai berkumandang, kira-kira jam 04.35 WIB. Selepas salat, Wartim, 46, berangkat dari rumah. Yang dituju adalah jalan sekitar kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dia kemudian membawa sapu dan gerobak untuk menyapu sepanjang jalan sekitar kampus. Para penyapu ini bertugas untuk menyapu jalan, terutama dedaunan yang jatuh dari pohon perdu di pinggir jalan.

“Tugas saya adalah menyapu jalan, kemudian nanti dipisahkan antara daun dengan sampah lainnya. Sebab, saat sekarang daun-daun akan dibawa ke tempat pengolahan sampah di Gunung Tugel. Katanya memang untuk diproses menjadi kompos. Yang jelas, sejak dari sini, sampah mulai dipisahkan. Ketika ada truk datang mengangkut, maka mereka tidak akan kebingungan, karena sudah dipisahkan dari awal,”kata Wartim pada Kamis (16/7).

Pada pagi menjelang siang, kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas berkeliling untuk membawa sampah-sampah, terutama yang khusus dedaunan. Sebab, untuk sampah daun, akan dibawa ke tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Reduce, Reuse, Recycle (3R) yang berada di Gunung Tugel, Desa Kedungrandu, Kecamatan Patikraja. Di hanggar Kedungrandu itu, ada dua aktivitas yang dilakukan yakni produksi kompos dan pemilihan sampah. Untuk produksi kompos dilaksanakan oleh petugas dari DLH, sedangkan pengelolaan sampah diurus oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Kedungrandu.

Koordinator Pencacahan Pupuk Kompos TPST3R Kedungrandu Agung Rizky WF mengungkapkan sebetulnya untuk produksi kompos di lokasi setempat belum terlalu lama, baru sekitar 1,5 bulan. “Mulai awal sebagai tempat produksi kompos adalah pada 2 Juni lalu. Hal ini dilakukan setelah dilihat ada potensi daun yang belum diolah. Karena itulah kemudian DLH berinisiatif untuk mengolahnya menjadi kompos,” ungkap Agung kepada Mongabay.

baca : Warga Gugat Pemkab Banyumas Soal TPA Sampah, Mengapa?

 

Tumpukan sampah organik dari dedaunan pohon perindang jalan Kota Purwokerto di hanggar TPST Kedungrandu, Patikraja, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara ini, ada satu dumptruck, dua armada pikap, satu truk, dan tiga kendaraan roda tiga berkeliling setiap harinya untuk mengumpulkan sawah di perkotaan. “Kalau sekarang, sampah daun yang dikumpulkan berasal dari empat kecamatan di Kota Purwokerto yakni Purwokerto Timur, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan dan Purwokerto Utara serta ada tambahan dari Kecamatan Banyumas. Pada Juni lalu, kami masih menampung sampah daun dari Sumpiuh, Ajibarang dan Wangon. Tetapi saat ini, ketiga TPST di wilayah tersebut sudah mulai mampu memproses kompos sendiri,” katanya.

Agung mengatakan setiap harinya ada sampah organik khususnya dedaunan sebanyak 900 kg hingga 1 ton yang masuk ke TPST 3R. Sampah yang masuk tersebut harus diproses dengan pencacahan dan pengayakan. Pada saat pengayakan, nanti dedaunan akan terpisah dengan batang-batang pohon yang masih bercampur.

“Untuk dedaunan yang sudah lembut, maka bisa langsung diproses fermentasi dengan bahan perangsang mikroorganisme seperti EM4 atau bahan kompos (BK). Sedangkan untuk ranting pohon yang kecil, juga diperlakukan sama, namun nantinya masih akan dilakukan pengayakan lagi. Proses untuk sampai ke kompos membutuhkan waktu cukup lama, karena perlu membolak-balikkan dedaunan yang ditumpuk supaya rata. Waktu hingga menjadi kompos sekitar 30 hari,” jelas Agung.

Agung mengungkapkan bahwa pemrosesan menjadi kompos selesai, maka langkah selanjutnya adalah pengepakan dengan menggunakan karung. Masing-masing karung berisi 25 kilogram (kg). “Kami memroses dari sampah dedaunan sampai pengepakan di sini. Saat sekarang yang siap untuk dipanen menjadi kompos berkisar antara 3-4 ton. Secara total, hasil dari awal proses produksi kompos mencapai sekitar 10 ton,” katanya.

baca juga : Pujo Bae, Mesin Pemilah Canggih untuk Solusi Sampah, Efektifkah?

 

Sampah organik yang telah diayak, kemudian difermentasi untuk dijadikan kompos. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Kebersihan DLH Banyumas Ngadimin mengatakan setiap harinya di Kota Purwokerto itu ada 200-an tenaga penyapu jalan. Sebelum diproses menjadi kompos, dedaunan yang dikumpulkan tersebut dicampur dengan sampah lainnya.

“Namun, setelah ada ide pemanfaatan daun untuk kompos, maka petugas penyapu harus memilah antara sampah daun dengan lainnya. Tetapi pada umumnya yang disapu petugas adalah sampah daun, sebab mereka menyapu dibawah pepohonan yang menjadi perindang kota,” ungkapnya.

Ngadimin menjelaskan DLH memang memiliki inisiatif untuk memproduksi kompos dari sampah daun. Setelah berjalan 1,5 bulan, ternyata bisa dan sangat bermanfaat sebagai pupuk. “Namun, pupuk ini tidak kami jual. DLH membagikan gratis kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Bisa dari lembaga pemerintah, instansi, sekolah, bahkan kelompok masyarakat. Meski begitu, kami akan melakukan pengecekan terlebih dahulu. Apakah benar-benar kompos mereka butuhkan. Misalnya minta sampai 100 kg, tetapi tidak memiliki areal taman atau tanaman untuk dipupuk, tentu tidak akan diluluskan. Intinya adalah kami membantu mereka yang betul-betul membutuhkan pupuk kompos,” jelasnya.

Misalnya saja, di Banyumas itu memiliki banyak sekolah adiwiyata (green school) yang biasanya mempunyai taman dan tanaman di sekolah. Inilah salah satu yang disuplai kebutuhan pupuknya. “Selain itu, di Banyumas banyak memiliki taman kota maupun tempat lain yang membutuhkan pupuk. Kami sengaja tidak menggunakan pupuk pabrikan dan hanya dengan kompos,” ujarnya.

menarik dibaca : Awalnya Dicibir, Inilah Hi Trash, Aplikasi Antar Jemput Sampah Ciptaan Mahasiswa

 

Pengepakan pupuk kompos dengan karung hasil pengolahan sampah organik di TPST Kedungrandu, Purwokerto. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ngadimin mengatakan dengan produksi kompos oleh DLH Banyumas, sesungguhnya ini juga merupakan bagian dari kampanye lingkungan. Sebab, kami mendorong juga kepada elemen masyarakat agar memanfaatkan pupuk alami.

“Bahkan, sebelum DLH memproduksi, dinas juga melakukan pembelian pupuk kompos atau organik yang dihasilkan oleh TPST atau pusat daur ulang (PDU) sampah di wilayah Banyumas. DLH membeli dengan harga Rp2.000/kg. Langkah ini juga mendorong pengelola TPST terutama KSM untuk konsisten dan kontinyu dalam produksi pupuk kompos,” lanjutnya.

Oleh karena itu, setelah produksi kompos di hanggar Kedungrandu berjalan, pihaknya telah memanggil para pengelola TPST pada Kamis (16/7) lalu untuk melihat langsung bagaimana memproses pupuk kompos.

“Kami sengaja mengundang para pengelola TPST, terutama yang belum memproduksi kompos untuk segera melaksanakannya. Jadi, di dalam TPST, selain melakukan pemilahan sampah anorganik dan organik, sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Hal ini juga penting, untuk mengurangi jumlah sampah yang akan masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA),”jelasnya.

Ngadimin juga terus mendorong kepada masyarakat agar melakukan pemilahan sampah sejak dari rumah masing-masing. Sebab, jika pemilahan dapat dilakukan secara konsisten, maka penanganan sampah juga akan lebih mudah.

 

Exit mobile version