- Kasus kebakaran di kawasan Taman Nasional Way Kambas [TNWK], tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan perburuan satwa liar.
- Pemburu liar, biasanya membakar alang-alang di hutan TNWK untuk memancing buruannya. Rumput yang terbakar itu, dalam waktu seminggu akan tumbuh dan hewan target biasanya berkumpul mencari makan seperti rusa maupun kijang.
- Kesulitan mengungkap kasus pembakaran hutan adalah tidak terbacanya pola atau waktu para pelaku melakukannya. Begitu pula dengan lama terjadinya kebakaran, membuat pengusutan semakin sulit.
- Sepanjang 2019 kebakaran telah melanda sekitar 2.349 hektar lahan di kawasan TNWK.
Bicara kebakaran di Taman Nasional Way Kambas [TNWK] tidak bisa dilepaskan dari perburuan liar. Para pemburu biasa membakar hutan dahulu untuk memancing satwa buruan.
Raut wajah Suratno sedikit bingung, saat teman mainnya mengajak dia ikut ke dalam hutan Taman Nasional Way Kambas. Kala itu, Suratno berumur 17 tahun. Teman mainnya itu membawa kawanan anjing kampung dan beberapa bilah tombak.
Bersama sejumlah orang lain yang telah berkumpul, Suratno pun berjalan jauh ke hutan, hingga area padang rumput.
Di Padang rumput itu, anjing-anjing menyalak, mengejar lalu mengepung sejumlah kijang. Beberapa pemuda yang baru Suratno kenal, maju dan melemparkan tombak.
“Waktu itu di dalam [kawasan TNWK] masih ada kampung, lupa saya tahun berapa. Sekarang, kampungnya sudah nggak ada,” kata lelaki 59 tahun, ditemui di rumahnya di Desa Braja Yekti, Kecamatan Braja Selebah, Lampung Timur, Senin [12/7/2020] petang.
Suratno adalah personil pengamanan swadaya masyarakat, dengan tugas mengusir gajah-gajah liar yang masuk desanya. Di masa mudanya, dia dikenal sebagai pemburu menjangan [kijang] yang ‘licin’ dengan spesialisasi menggunakan tombak dan membawa anjing. Lebih dua dekade, ia keluar masuk kawasan taman nasional.
Tidak sekali dua kali Suratno terpergok, bahkan terpojok oleh polisi hutan yang berpatroli. Namun, ia tidak sekalipun tertangkap.
“Kalah mlebu [lari] mereka. Kalau sampai terpojok, saya incar yang paling tidak siap, begitu lolos ya lari, kadang ngumpet di rawa,” kenangnya sembari terkekeh.
Bakar hutan pancing buruan
Dari perkenalannya dengan sejumlah pemuda kampung di kawasan TNWK, Suratno mendapatkan ‘ilmu’ berburu. Termasuk, memancing kawanan rusa, dengan cara membakar hutan.
“Bukan katanya lagi [membakar hutan]. Tapi, ya memang begitu caranya,” terangnya.
Area hutan yang dibakar adalah padang rumput, tempat kijang mencari makan. Tujuannya memancing kijang muncul, terlebih musim kemarau.
“Kalau musim kemarau kan rumputnya kering, makanya dibakar dulu, biar tumbuh rumput baru yang segar. Nah, nanti menjangan [kijang] ini berdatangan.”
Dalam setiap berburu, Suratno tidak hanya membakar di satu lokasi, bisa tiga sampai lima tempat. Tergantung seberapa lama dia dan rombongannya berada di hutan.
“Nanti, kalau lokasi yang dibakar sudah tumbuh rumput baru, kami ke sana lagi. Seminggu biasanya rumput mulai hijau.”
Sunarto mengadegankan kembali saat dia membakar ilalang dan rumput kering. Bermodal korek, rumput terbakar hebat dan meluas begitu disulut api.
Metode pembakaran area makan kijang itu diamini Misngat [53], mantan pemburu juga yang kini bersama Suratno menjadi anggota pengamanan swadaya masyarakat untuk konflik gajah.
Misngat sebenarnya pencari ikan di kawasan TNWK. Namun, dia sempat beberapa kali diajak para pemburu kijang mencari target buruan. “Kalau musim kering saya diajak, atau cari burung.”
Dia tidak pernah melakukan pembakaran langsung, hanya tahu cara memancing satwa keluar. “Rumputnya dibakar setelah itu ditinggal. Satu minggu, sudah tumbuh rumput baru. Hewan senang biasanya, jadi ngumpul di situ.”
Tobat berburu setelah diajak usir gajah
Suratno menjadi penghalau gajah liar di kampungnya sejak 2009. Sementara Misngat, menyusul pada 2012.
Bagi Suratno, rasa malu dan tidak enak kepada tim patroli hutan membuatnya ‘gantung tombak’ alias tidak berburu lagi. “Malu, Mas. Sudah kenal semua tim patroli.”
Dia diajak ikut menghalau gajah saat masih aktif berburu. Di sela patroli, anggota tim sering menyebut nama seorang pemburu liar yang sering merepotkan.
“Tapi mereka nggak tahu kalau yang mereka bicarakan itu saya. Orang yang namanya disebut ada di depan mereka,” terangnya dengan logat jawa medok.
Lantaran sering berinteraksi, Suratno paham pentingnya menjaga kelestarian ekosistem hutan. “Wis, ta’ jual kabeh kirik [anjing]. Kalau ada, mungkin saya masih berburu.”
Selain itu, ada peristiwa lain yang membuatnya semakin memantapkan hati berhenti berburu. “Rusa dan kijang itu kalau mau mati, meneteskan air mata. Dulu, saya nggak perhatikan, kasihan, Mas,” tuturnya.
TNWK dibakar pemburu liar
Kabag Humas Balai TNWK, Sukatmoko mengungkapkan, sepanjang 2019 kebakaran melanda sekitar 2.349 hektar kawasan TNWK.
“Selain kondisi tahun kemarin sangat kering, ada juga orang yang membakar. Tahun ini, belum ada kasus. Mudah-mudahan, jika hujan terus tidak ada kebakaran.”
Sukatmoko mengatakan, kasus kebakaran di TNWK termasuk unik. Jika di daerah lain disebabkan pembukaan lahan untuk pertanian, di TNWK tidak seperti itu. “Kalau membuka lahan untuk bertani, tidak ada. TNWK salah satu taman nasional yang tidak ada perambahan maupun masyarakat di dalam kawasan.”
Dia mengatakan, kebakaran disengaja oleh pemburu liar selain mempermudah akses perburuan. “Alang-alang sangat kering, sehingga tidak ada satwa. Ketika sudah dibakar dan tumbuh tanaman, satwa akan berkumpul. Di situ, mereka berburu, dengan cara pasang jerat maupun pakai anjing dan tombak.”
Jenis-jenis satwa ‘favorit’ mereka adalah babi, rusa, juga kijang atau menjangan. Dagingnya yang mereka incar.
Kebakaran sulit diungkap
Namun, kasus pembakaran di TNWK sulit diungkap. Sukatmoko mengakui, dibanding perburuan liar, kebakaran hutan sering membuat jajarannya dan aktivis peduli kawasan konservasi harus ‘garuk-garuk kepala’.
“Pemburu liar masih bisa ditangkap, dengan bukti jelas, kelihatan. Orangnya bawa daging, ada senjata yang digunakan.”
Tetapi ketika terjadi pembakaran, sulit membuktikan maupun menangkap pelakunya. “Orang itu bakar di sini, misalnya, terus ditinggal, terbakar lahan itu. Kita tahu setelah ada api, tetapi orang beserta buktinya tidak ada. Jadi memang sulit.”
Permasalahan lain, kata Sukatmoko, tidak terbacanya pola atau waktu para pelaku membakar hutan. Begitu pula dengan lama terjadinya kebakaran, membuat pengusutan semakin sulit.
“Di TNWK, sebagian besar yang terbakar adalah alang-alang, hanya permukaaan. Satu dua jam, sesudah alang-alang habis, apinya juga mati. Ini berbeda dengan gambut.”
Didekati bukan ditangkapi
Hubungan erat antara perburuan liar dengan kebakaran, membuat pihak-pihak terkait menggunakan sejumlah strategi, selain menindak secara pidana.
Sukatmoko mengungkapkan, jika mengedukasi para pemburu yang sudah ‘berumur’, hal itu bisa dikatakan sangat sulit. “Lebih baik mendidik anak-anak sekarang, memberikan pemahaman pentingnya menjaga ekosistem hutan,” katanya.
Pegiat lingkungan dari Wildlife Conservation Society [WCS] Indonesia wilayah kerja Way Kambas, Lampung, Sugiono mengatakan, pendekatan personal kepada para pemburu liar bisa mendapatkan hasil efektif di masa depan.
“Berdampak pada perubahan perilaku signifikan.”
Namun, metode ini memerlukan waktu panjang, karena mengenal orang tidak hanya satu atau dua bulan saja. Jika bicara efektif proses, bisa dilakukan penangkapan dengan jerat tindak pidana.
“Pertanyaannya, apakah setelah dijebloskan penjara, paling lama 5 bulan, mereka tidak mengulangi perbuatannya?” tegas dia.
* Tri Purna Jaya, jurnalis KOMPAS.com [Kontributor Lampung]. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.