Mongabay.co.id

Kampung Naga, Oase Tradisi di Tengah Derap Kehidupan Modern

 

Irja (23), guide lokal itu, buru-buru memakai ikat kepala. Dia diminta Ucu Suherlan, sesepuh dan wakil adat Kampung Naga,  untuk menenami tamu yang datang dari Kota Bogor.

Punten (maaf) nanti masuk kampung, mohon jaga perilaku demi menghormati adat masyarakat,” katanya sopan dengan cengkok khas Sunda yang halus mengayun.

Untuk sampai ke lokasi perkampungan, pengunjung mesti menuruni 400 anak tangga dari batu yang dilapisi semen selebar 2 meter. Lokasinya diapit perbukitan dataran tinggi dengan kemiringan 45 derajat yang membujur dari timur ke barat.  Perbukitan itu terletak di kawasan hulu Sungai Ciwulan.

Dari muara tangga, tampak jalan setapak membentang di antara perbukitan nan hijau. Sungai Ciwulan, -yang dijaga sebagai urat nadi kehidupan, mengalir dari sisi kampung sebelah utara ke timur.

Dilihat dari ketinggian, rumah-rumah kampung terlihat berbaris rapi. Semua sejajar dalam posisi timur-barat. Ada terdapat 103 rumah penduduk, jumlahnya tetap. Tidak boleh bertambah atau pun dikurangi.

Semakin menuju pemukiman, kesan damai kian kentara. Gemericik air sungai dan rindangnya pepohonan begitu terasa.

 

Permukiman masyarakat Kampung Naga. Semua rumah berbentuk tradisional. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kampung Naga, secara administrasi terletak Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia adalah kampung tradisional yang masyarakatnya hingga kini tetap konsisten dengan pola hidup Sunda Buhun (tradisional).

Bagi orang Naga, hidup selaras dengan alam adalah sebuah keniscayaan. Termasuk menjaga amanat kesetiaan pada adat tradisi leluhur atau karuhun.

“Itu hutan keramat yang kami jaga turun temurun sesuai titah kolot baheula (nenek moyang),” ujar Irja menunjuk hutan yang tidak boleh sembarang orang masuk. Ia terletak bersisian dengan aliran sungai.

Luasnya hanya sekitar 1,5 hektar dan disebut Leweung Biuk. Warga Naga percaya bahwa hidup mereka tak akan selamat jika hutan itu tidak dirawat.

Di pinggiran kampung yang dilingkupi kolam ikan terdapat sebuah masjid, satu balai kampung, dan satu bangunan utama yang disebut Bumi Ageung. Ketiga bangunan itu menjadi pusat formasi rumah-rumah di sana.

Kata Irja, tempat itu biasanya akan ramai pada saat ritual yang digelar pada bulan-bulan sakral. Ketika itu, warga Naga wajib memakai pakaian adat dan mandi di sungai.

 

Ucu Suherlan (54) Tetua Adat Kampung Naga. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

“Mohon izin, Bumi Ageung tidak boleh diambil foto,” tutur Irja. Dia mengingatkan kembali wisatawan untuk tidak mengabadikan momen melalui kamera.

Alasannya, bangunan berukuran sekitar 3×6 meter, beratap ijuk, dan berdinding anyaman bambu itu merupakan bangunan sakral. Penggunaan pagar bambu ini rupanya sebagai penanda. Setiap bangunan keramat akan dipagari bambu, katanya.

Konon, Bumi Ageung adalah tempat penyimpanan senjata pusaka Kampung Naga–berupa tombak dan keris. Setiap hari bangunan ini pun ditunggui seorang wanita yang sudah tak haid lagi.

Di tepi kolam-kolam ikan terdapat saung lisung, atau tempat menumbuk padi warga setempat. Suasananya ramai oleh celoteh ibu-ibu.

Siang itu, tampak Sukayah (58), warga Naga yang baru menyudahi menumbuk padi beras sebanyak 12 kilogram untuk kebutuhan pangan keluarganya selama seminggu.

“Kalau untuk kebutuhan beras sehari-hari mah alhamdulillah, gak perlu beli, setiap panen sudah diperhitungkan untuk kebutuhan setahun,” ucap Sukayah ramah. Orang Naga memang sudah lama mandiri dengan pangan mereka.

 

Sukayah (58), warga Naga, menumbuk padi dengan lisung.  Tata cara adat mereka sudah mengajarkan ketahan pangan sejak Kampung Adat Naga berdiri. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tak Tergiur Kehidupan Modern

Beragam warisan kearifan lokal terbukti ampuh menjaga kehidupan manusia yang tinggal di sekitar sungai. Buktinya, Sungai Ciwulan alirannya terus bersih, tak ada cemaran polutan, apalagi hingga penuh sampah plastik.

Padahal, hanya sekitar 500 meter dari tempat tinggal mereka pengaruh peradaban modern terasa. Jalan raya penghubung Tasikmalaya dengan Garut ramai setiap harinya dilewati kendaraan bermotor.

Kedekatan dengan peradaban modern, bisa saja membuat orang Naga setidaknya berpikir untuk hijrah ke kota. Apalagi gaya hidup masyarakat di luar Kampung Naga penuh menawarkan kemewahan. Rumah tembok, listrik, kemajuan teknologi dan kegairahan mengejar materi.

Apakah orang Naga tertarik untuk mencari riuhnya kehidupan modern?

Punduh atau Penjaga Naga, Ma’un (83) mengaku tak tertarik dengan kehidupan luar. Sesekali ia hanya tersenyum ketika ditanya apa pendapatnya tentang kehidupan tradisional itu.

Ia menghela nafas dan menjawab, “Kesederhanaan membawa kesenangan dalam hidup, kenapa harus berlebihan?” Jawabnya seolah balik bertanya.

Pandangan itu terpatri dalam falsafah hidup Adat Naga, yang tertera dalam tutur sebagai berikut: Teu saba, teu soba. Teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas. Teu gagah, teu pinter.

Intisari artinya adalah: Jika mau hidup bahagia warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja.

Gaya hidup yang tak saling-bersaing memang langsung terlihat secara fisik.  Rumah di situ tampilan purna purwanya nyaris sama. Jenis rumahnya panggung. Dibangun mengikuti kontur tanah. Rumah-rumah itu tegak disangga kerangka utama dari tiang-tiang kayu.

Bentuk atap rumahnya segi tiga, dengan bentuk khas yang disebut atap cagak gunting. Ternyata ia punya makna filosofi tentang bersatunya bumi, langit dan semua penghuninya, yang merupakan kesatuan jagat raya.

Di bagian bawah tiang kayu rumah disangga batu yang berfungsi sebagai pondasi. Dan di atas batu itu berjarak sekitar 60 sentimeter dari tanah, dibentangkan lantai rumah dari papan kayu dan bambu.

Irja menyebut bentuk rumah sejak zaman leluhur, dari dulu sudah begitu.

 

Tata letak permukiman warga Kampung Naga. Aturan rumah oleh karuhun (leluhur) Kampung Naga syarat dengan nilai filosofi dan memperhitungkan mitigasi bencana. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mitigasi tewat tradisi

Satu hal menarik dari orang Naga, tampaknya pengetahuan akan mitigasi kebencanaan sudah ada sejak kampung mereka berdiri.

Penamaan Naga yang sering dikaitkan dengan asal kata Nagawir dalam Bahasa Sunda, atau tebing terjal, yang secara tidak langsung memberi pemahaman tentang lansekap ruang hidup mereka.

Mereka juga seolah punya perhitungan dalam membangun. Pasalnya, semua rumah memanjang pada alur timur-barat. Arah itu dipilih, karena sejalan dengan alurnya matahari.

“Dibuat begitu agar rumah lebih sehat karena dibantu sirkulasi udara dan cahaya matahari yang baik,” ujar Ucu.

Pintu masuk berada di sebelah selatan dan atau utara. Rumah mempunyai dua pintu masuk, keutamannya adalah bila terjadi kebakaran lekas diketahui. Fungsi lainnya adalah sosial, yaitu membantu kepada yang perlu dibantu.

Menurut Sugeng Triyadi, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, kunci bangunan tradisional biasanya terletak pada pondasi. Risetnya menyimpulkan, pondasi terbuat dari batu dan tiang kayu cenderung membuat rumah kokoh.

Perihal rumah panggung dimana pondasi berjarak antara permukaan tanah dan lantai, pun berfungsi mengatur suhu dan kelembaban udara.

Selain itu, atap rumah berbahan alami bebannya terhadap konstruksi rumah sangat kecil. Biasanya, keduanya menyesuaikan dengan tempat tinggal hingga menemukan konsep yang ideal.

“Secara konseptual rumah Naga sudah sesuai teknologi kekinian. Berbahan ringan dan kokoh. Apalagi, mereka memiliki dua pintu. Itu sudah sesuai aturan mitigasi saat ini. Mereka maju dalam hal perhitungan membangun hunian tanpa merubah bentang alam.”

Sugeng pun tak menutupi kekagumannya akan konstruksi tradisional Naga.

 

Rumah dan kolam ikan. Air merupakan salah satu sumber alam yang dimanfaatkan secara bijak oleh warga Kampung Naga. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Padahal, pernah ada suatu masa Kampung Naga memiliki sejarah kelam. Hampir seluruh bangunan di kampung ini dibakar para pemberontak DI/TII pimpinan Kartosuwirjo sekitar tahun 1950-an. Hanya Bumi Ageung yang tersisa

“Saat itu, kami nyaris kehilangan seluruh jejak peninggalan karuhun,” kata Ucu.

Sebenarnya bisa saja, setelah peristiwa waktu itu, mereka membangun rumah tembok. Alih-alih permukiman modern, orang Naga memilih mengembalikan seperti semula. Permukiman dibangun ulang, tanpa ada yang diubah.

Jika pun Kampung Naga saat ini bertransformasi menjadi kawasan wisata budaya, bagi Ucup hal itu tak masalah.  Selama adat menjadi panduan perilaku dan menjaga sikap etik, semuanya berjalan saling melengkapi.

Lewat pranata adat dan budaya yang mengakar, penduduk Naga hidup mandiri, dan pantang minta-minta. Sejatinya, kebanggaan hidup bagi mereka terletak pada keharmonisan antara manusia dengan alam.

 

 

 

Exit mobile version