Kontroversi pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia telah membuat salah satu hewan laut, lobster atau udang karang, kembali naik daun.
Pasalnya, dalam peraturan menteri tersebut cukup jelas tertera bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), telah membuka ekspor benih bening lobster (BBL) dan lobster muda untuk pasar internasional. Hal ini bertolak belakang dengan kebijakan menteri sebelumnya yang melarang kegiatan ekspor komoditas ini.
Benih lobster atau pada siklus hidup lobster disebut puerulus marak ditangkap sejak tahun 2013, setelah nelayan-nelayan penangkap lobster di Pulau Lombok menemukan cara yang efektif dalam menangkapnya. Beberapa lokasi penangkapan utama saat itu di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) antara lain Teluk Bumbang dan Teluk Ekas.
Benih lobster dapat tertangkap dengan cara yang relatif mudah, hanya dengan memasang juntaian karung plastik atau karung semen yang diikat di keramba jaring apung di dalam teluk. Benih lobster kemudian akan menempel di alat tersebut yang dianggap sebagai substrat (tempat menempel) agar dapat bertahan melawan arus. Dua jenis lobster yang umumnya menempel adalah lobster pasir dan lobster mutiara.
Saat itu, satu ekor benih lobster dari nelayan dihargai Rp10-15 ribu, dengan jumlah benih yang dijual bisa mencapai 10 ribu ekor per harinya. Dan sekarang, satu ekor benih lobster pasir dihargai Rp5-8 ribu dan Rp15-20 ribu untuk benih lobster mutiara. Namun, harga beli dari nelayan tidak sebanding dengan harga jual ekspornya, dimana satu ekor benih lobster dihargai Rp 130-160 ribu. Ketimpangan harga ini terjadi saat masa penyelundupan benih lobster akibat pelarangan penangkapannya oleh menteri saat itu, Susi Pudjiastuti.
baca : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir
Berbagai riset menyebutkan terdapat enam jenis lobster laut jenis Panulirus di Indonesia, diantaranya lobster pasir (Panulirus homarus), lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster batu (Panulirus penicillatus), lobster bambu (Panulirus versicolor), lobster batik (Panulirus longipes), dan lobster pakistan (Panulirus polyphagus). Untuk lobster batik, terdapat dua sub spesies, yakni Panulirus longipes longipes dan Panulirus longipes femoristiga. Lobster pasir dan lobster batu umumnya mendominasi hasil tangkapan nelayan, namun lobster mutiara memiliki harga jual tertinggi dibandingkan jenis lainnya.
Riset yang dilakukan penulis menunjukkan lobster pasir membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk mencapai ukuran maksimumnya. Waktu ini terbilang cukup lama dibandingkan jenis krustasea lainnya. Umur ini berimplikasi pada frekuensi reproduksinya yang lebih rendah dibandingkan biota lain yang berumur lebih pendek.
Ditambah lagi, benih lobster yang baru ditetaskan memiliki tingkat kematian yang tinggi, hanya sekitar 5% yang kemudian mampu bertahan hidup di alam. Faktor lingkungan perairan dan adanya predator diklaim sebagai dua faktor utama tingginya tingkat kematian benih lobster. Bahkan, KKP melansir tingkat kelangsungan hidup benih lobster di perairan Indonesia jauh lebih kecil lagi, hanya 0,01%. Artinya, jika ada 100.000 ekor benih lobster yang ditetaskan, hanya 10 ekor yang kemudian mampu bertahan hidup di alam.
Kemampuan reproduksi yang rendah dan tingkat kematian benih yang tinggi menyebabkan para ahli perikanan dibuat bimbang, melepasliarkan benihnya untuk menjaga tingkat kelangsungan hidupnya stabil atau menangkap benihnya sebelum mati secara alamiah dimangsa predator dan terkalahkan oleh lingkungan?
Opsi kedua sepertinya adalah keputusan yang diambil pemerintah untuk menangani polemik benih lobster ini. Dengan asumsi “mati mubazir” sebagai alasan, memanfaatkan benih-benih lobster sebelum menemui ajalnya dirasa jadi langkah terbaik, selain alasan faktor kesejahteraan nelayan di tengah pandemi sekarang ini.
baca juga : Ada Indikasi Pelanggaran Hukum dalam Kegiatan Ekspor Benih Lobster
Kontra Produktif
Namun, apakah kemudian nelayan boleh menangkap sebanyak-banyaknya?
Hal ini sebenarnya sudah dijawab pada Pasal 3 dan 5 Ayat 1(a) Permen KP No.12/2020, bahwa penangkapan BBL atau lobster muda untuk budidaya maupun ekspor ke luar wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan sesuai dengan kuota dan lokasi penangkapan BBL hasil kajian dari Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap KKP No.51/KEP-DJPT/2020.
Dalam peraturan tersebut, KKP melansir potensi lestari benih lobster pasir dan lobster mutiara di Indonesia sebesar 278.950.000 ekor per tahun. Potensi ini kemudian diturunkan menjadi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk dua jenis benih lobster ini sebesar 139.475.000 ekor per tahun.
Di sisi lain, KKP pada tahun 2017 mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dimana dilansir status stok dan potensi lestari lobster di 6 dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) berada dalam kondisi pemanfaatan yang berlebihan (over exploited).
Potensi lestarinya pun dikatakan hanya 11.159 ton atau 1% dari total potensi lestari perikanan di Indonesia. Tentunya, menurut penulis dua kebijakan ini sedikit kontra produktif, satu sisi mengatakan pemanfaaatan lobster di sebagian besar WPP yang menunjukkan status “merah”, namun di sisi lain dikatakan potensi benih lobster yang cukup besar.
Berteori tentang biologi perikanan, eksploitasi benih dan anakan lobster besar-besaran akan menekan populasi lobster dewasa untuk tumbuh, berkembang, dan bereproduksi lebih cepat dari kondisi normalnya. Lobster akan matang gonad saat remaja atau belum mencapai ukuran dewasanya, dengan kemampuan menghasilkan telur yang rendah. Tidak heran, jika saat ini kita mengobservasi lobster hasil tangkapan nelayan, banyak ditemukan lobster betina berukuran kecil yang sudah bertelur atau dikenal dengan istilah berried female. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menyebabkan rekrutmen atau penambahan lobster-lobster muda di perairan menjadi rendah.
perlu dibaca : Edhy Prabowo: Kebijakan Ekspor Benih Lobster Sudah Benar
Pendekatan Ekologi dan Ekonomi
Berbicara antara perspektif ekologi dan ekonomi, kita sepatutnya berpedoman pada pendekatan kehati-hatian (precautionary approach). Kebutuhan ekonomi masyarakat harus sejalan dengan keberlanjutan ekologi. Keputusan untuk melegalkan penangkapan benih lobster menjadi tepat jika hitungan angka potensi lestarinya sudah dilakukan dengan metode yang tepat, bukan karena dikejar target percepatan ekonomi masyarakat pesisir semata.
Pemberian izin penangkapan benih lobster juga harus sesuai dengan karakter perairan, dimana lokasi tersebut merupakan salah satu habitat dari siklus hidupnya. Wilayah-wilayah yang sekiranya tidak mendukung kondisi penangkapan benih lobster seyogyanya tidak latah untuk bersemangat mengeksploitasi benih lobster tanpa dasar ilmiah yang kuat.
Hal ini sepertinya terjadi di beberapa daerah. Perusahaan berlomba-lomba menyemangati nelayan untuk melakukan penangkapan benih lobster di beberapa lokasi penangkapan lobster dewasa. Perlu diketahui, lokasi penangkapan lobster dewasa belum bisa dipastikan bahwa lokasi tersebut juga merupakan lokasi yang layak untuk penangkapan benih lobster.
Beberapa riset eksperimental menunjukkan percobaan pemasangan alat pengumpul benih lobster di beberapa perairan yang merupakan habitat lobster dewasa ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap benih lobster yang menempel. Faktor lingkungan perairan sangat menentukan kelayakan usaha penangkapan benih lobster ini. Perairan yang tenang dengan masukan nutrisi yang baik menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan. Keberadaan ekosistem penting, seperti lamun dan terumbu karang juga menjadi faktor penentu.
baca juga : Menjaga Prinsip Keberlanjutan dalam Pemanfaatan Lobster
Penangkapan benih lobster di beberapa daerah memang sudah terbukti efektif, semisal di Teluk Bumbang, Lombok, NTB. Kendati demikian, pengawasan terhadap ekspolitasi tetap harus diprioritaskan pemangku kepentingan setempat. Pelaporan data penangkapan benih lobster menjadi penting untuk mengevaluasi kondisi stoknya di alam. Ketika kondisi menunjukkan overfishing, pemangku kepentingan harus mampu bertindak cepat dan tepat untuk memulihkan kembali stok.
Kendati usaha budidaya lobster masih terbilang sulit, Indonesia harus tetap menjadikan sektor ini sebagai alternatif mata pencaharian selain penangkapan. Sektor perikanan tangkap, yang menurut data FAO, sudah lebih dari 90% berstatus fully-exploited, bukan tidak mungkin akan berstatus over exploited di masa yang akan datang jika tidak dikelola dengan baik dan bijak.
Riset-riset terkait sektor budidaya harus diperkuat untuk menemukan peluang pembenihan lobster, tidak hanya bergantung dengan usaha pembesaran benih atau anakan saja. Tentu hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menyelaraskan antara motif mencari keuntungan bagi masyarakat dengan peningkatan kapasitas sumber daya yang ada.
Sudah siapkah Indonesia untuk ini?
***
*Adrian Damora, S.Pi, M.Si, Kepala Divisi Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Pusat Riset Kelautan dan Perikanan (PRKP) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh e-mail: [email protected]. Artikel ini adalah opini dari penulis.
***
Keterangan foto utama : Nelayan menunjukkan lobster hasil tangkapannya hasil tangkapan di perairan Lamongan, Jawa Timur, Juli 2020 Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia