Mongabay.co.id

Menangani Sampah Elektronik, Bagaimana Seharusnya?

Laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020, yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baru-baru ini, menyebut bahwa jumlah sampah elektronik pada tahun 2019 lalu mencapai 53 juta ton. PBB memprediksi jumlah sampah elektronik akan mencapai 74 juta ton pada tahun 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada tahun 2050.

Secara umum, sampah elektronik adalah barang-barang elektronik bekas yang sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya. Ia bisa berupa baterai lawas, bola lampu pijar, kabel, monitor komputer, televisi, telepon seluler dan benda-benda elektronik lainnya.

Sejauh ini,  negara-negara di benua Asia menyumbang sampah elektronik paling banyak dengan jumlah sekitar 25 juta ton. Menyusul kemudian Amerika yang menyumbang sampah elektronik sebanyak 13 juta ton serta Eropa yang menyumbang 12 juta ton. Adapun gabungan sampah elektronik yang dihasilkan di kawasan Afrika dan Oceania tercatat sekitar 3 juta ton.

Menurut European Union (EU), sampah elektronik dapat dikelompokkan ke dalam sekurangnya sepuluh kategori.

Pertama, perangkat besar rumahtangga. Ini meliputi antara lain lemari es, mesin cuci, pengering baju, mesin pencuci piring, kompor listrik, microwave, kipas angin listrik dan AC (air conditioner).

Kedua, perangkat kecil rumahtangga, seperti penghisap debu, pemanggang roti, mesin pembuat kopi, mesin potong rambut. Ketiga, perangkat teknologi komunikasi. Meliputi antara lain komputer meja, printer, telepon seluler, komputer jinjing.

Keempat, perangkat hiburan. Misalnya, televisi, kamera video, penguat audio, alat-alat musik. Kelima, perangkat penerangan, antara lain lampu pendar dan lampu debit intensitas tinggi.

Keenam, aneka perkakas elektronik, yaitu  bor, gergaji, gerinda, alat patri, penyugu dan sebagainya. Ketujuh, alat-alat mainan dan rekreasi, seperti mobil-mobilan listrik, video gim, perangkat-perangkat olahraga yang mengandung elemen listrik.

Kedelapan, perangkat medis. Misalnya, peralatan radiotherapi, ventilator, mesin pacu jantung, mesin pencuci darah serta peralatan kedokteran nuklir. Kesembilan, peralatan pemantau dan pengendali. Antara lain alat pendeteksi asap dan pengatur panas.

Kesepuluh, dispenser otomatis untuk minuman serta sejumlah peralatan yang secara otomatis mampu menyediakan/menghasilkan produk-produk tertentu.

Baca juga: Pengembalian Limbah B3 Tak Sampai Negara Asal? Importir Terancam Sanksi

 

Limbah elektronik saat ini telah menjadi masalah besar di berbagai belahan dunia. Foto: Mark Buckawicki/Wikipedia CC0 1.0

 

Sebagian besar komponen yang ada pada sampah elektronik memang dapat didaur ulang.  Namun, hanya sekitar 20 persen dari sampah elektronik yang ada di seluruh dunia yang selama ini ternyata berhasil didaur ulang.

Sisanya dibakar, ditimbun atau ada juga yang dibuang ke kawasan perairan, seperti ke sungai atau lautan. Inilah yang jadi persoalannya.

Sebagaimana diketahui, di samping plastik, di dalam sejumlah komponen barang-barang elektronik itu terkandung berbagai logam berat seperti alumunium, antimon, besi, kadmium, kobalt, kromium, lithium, merkuri, nikel, perak, seng, tembaga serta timah.

Sebagian logam berat tersebut, seperti antimon, kadmiun, kromium, merkuri maupun timah, dapat meracuni tubuh sehingga membawa dampak kesehatan serius pada organ ginjal, sistem pembuluh darah maupun sistem syaraf pusat.

Ketika sampah elektronik ini dibakar, misalnya, zat-zat kimia beracun yang ada di dalamnya langsung bercampur dengan udara dan menyebabkan kerusakan pada lapisan atmosfir.

Sementara itu, manakala sampah-sampah elektronik ini ditimbun, maka zat-zat beracun yang ada akan mencemari tanah dan air, yang pada gilirannya akan bisa pula menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia.

Sebagai sampah berbahaya dan beracun, penanganan sampah elektronik harus dilakukan dengan benar-benar cermat serta tepat. Pengelolaan sampah elektronik tidak boleh asal-asalan, atau sekadar diperlakukan sama seperti halnya pengelolaan sampah organik.

Penanganannya yang tidak cermat dan tidak tepat bukan saja akan membawa dampak kesehatan, tetapi juga bisa mengkontaminasi pencemaran lingkungan permanen akibat zat-zat beracun yang lantas sulit terurai.

Mengingat dampak buruknya bagi kesehatan dan lingkungan, sejumlah negara memberlakukan kebijakan pendaurulangan dan pemusnahan sampah elektronik yang sangat ketat, di mana barang-barang elektronik yang sudah tidak dipakai harus diserahkan kepada badan/lembaga khusus yang ditunjuk.

Melalui badan/lembaga khusus yang ditunjuk inilah, sampah-sampah elektronik yang sudah terkumpul dipilah untuk memastikan mana yang masih bisa didaurulang dan mana yang mesti segera dimusnahkan.

Di samping itu, sejumlah negara juga mengeluarkan regulasi yang mewajibkan setiap produsen serta agen barang elektronik memiliki program pengelolaan dan atau pendaurulangan sampah-sampah elektronik dari barang-barang elektronik yang mereka jual.

 

Selain sampah elektronik, Indonesia juga diperhadapkan dengan masalah impor sampah. Terkadang sampah luar negeri ini mengandung B3 yang berpotensi berbahaya dan mencemari lingkungan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana di Indonesia?

Mengutip kajian dari Andarani & Goto (2012), Pranandya Wijayanti (2019) menyebut bahwa sebagian besar pengelolaan sampah elektronik di negeri ini masih didominasi oleh sektor informal.

Berdasarkan perhitungan The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources, sampah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia pada tahun 2016 lalu adalah 1,274 juta ton. Jumlah tersebut sudah pasti telah mengalami peningkatan untuk saat ini.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengelolaan sampah elektronik harus secara khusus dilakukan pihak-pihak yang hanya memiliki izin.

Dengan mempertimbangkan berbagai bahaya yang bisa ditimbulkannya, maka pemerintah perlu secara tegas melarang pengelolaan sampah elektronik oleh sektor informal.

Di sisi lain, pemerintah, melalui Dinas Lingkungan Hidup tiap-tiap kota/kabupaten juga perlu terus mengupayakan tersedianya kotak-kotak khusus untuk membuang sampah elektronik.

Pada saat yang sama, produsen barang-barang elektronik perlu didorong agar memproduksi barang-barang dengan kandungan komponen yang lebih ramah lingkungan.

Tak kalah pentingnya untuk dilakukan yaitu edukasi dan kampanye yang menyasar berbagai lapisan masyarakat ihwal bagaimana seharusnya tata kelola sampah elektronik dijalankan, sehingga dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan dapat diminimalisir.

Patut digarisbawahi di sini ialah, tidak sembarang orang boleh mengelola sampah elektronik. Para pengelola sampah elektronik haruslah mereka yang telah memiliki izin secara legal dan mampu mengelola sampah elektronik sesuai dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan, mulai dari tahapan pengumpulan, pengangkutan, pemilahan hingga ke proses pendaurulangan dan pemusnahan. Penegakan hukum harus dilakukan kepada para pelanggarnya.

 

Rejeki Wulandari, penulis lepas dan ibu rumah tangga. Peminat masalah lingkungan. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version