Mongabay.co.id

Greenpeace: Para Pemasok APP Masih Buka Gambut dan Bikin Kanal

 

 

Pemasok dan anak usaha Asia Pulp & Paper (APP), yaitu PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP) dan PT Arara Abadi (Arara) diduga membuka gambut sekitar 3.500 hektar dan bikin kanal 53 kilometer sejak Agustus 2018-Juni 2020. Pada akhir Juni saja, terjadi kebakaran sekitar 50 hektar di Arara Abadi.

“Pemilik konsesi secara legal bertanggung jawab terhadap kebakaran yang terjadi di wilayah mereka,” kata Kiki Taufik, Global Head Forest Campaign Greenpeace Indonesia dalam keterangan yang diterima Mongabay, Rabu pekan lalu.

APP memiliki kebijakan konservasi hutan sejak 2013. Aksi ini, katanya, langkah mundur dari komitmen mereka melindungi dan merestorasi ekosistem. APP juga membuat upaya mereka pakai pendekatan berkelanjutan dengan pemangku kepentingan lain tidak lebih sekadar guyonan.

Baca juga: Menanti Implementasi Lapangan Komitmen Konservasi Hutan APP

Beberapa perusahaan besar seperti Unilever, Nestlé, Asku dan Woolworths merupakan pembeli atau yang menerima hasil perkebunan dan hasil dari hutan tanaman industri APP. “Jangan ada lagi perusahaan yang mengaku peduli lingkungan bekerjasama dengan APP,” katanya.

 

Analisis satelit

Temuan Greenpeace ini menggunakan analisis citra satelit terbaru, sejak Agustus 2018-Juni 2020., kecuali Arara analisis data sejak Januari 2020.

Metodologi dalam menganalisis adalah penggunaan citra satelit dari Sentinel-2 oleh European Space Agency (ESA). Dari sini, Greenpeace memetakan interpretasi vegetasi. Cara ini juga membuat mereka dapat estimasi lokasi dan area pembukaan lahan dalam periode waktu yang spesifik. Selanjutnya, overlay data dengan data spasial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian.

Dari langkah pencitraan itulah diketahui luasan area gambut yang dibuka dari masing-masing perusahaan, yaitu 2.110 hektar di BMH, 1.200 hektar BAP dan 170 hektar Arara. Hanya BAP yang dalam analisis itu tidak ditemukan pembukaan kanal. Pada BMH buka kanal sampai 48.000 meter, Arara sepanjang 5.000 meter.

Konsesi BMH di Sumatera Selatan. Berdasarkan catatan Greenpeace, BMH merupakan perusahaan terbesar ketiga yang memiliki lahan terbakar pada 2015-2018. Diperkirakan sekitar 63.000 hektar lahan perusahaan ini terbakar hanya pada 2015. Sejak 2015-2019, ada 87.603 hektar lahan terbakar di konsesi ini dengan empat kejadian.

Pemerintah Indonesia pernah menggugat perusahaan ini atas kebakaran 20.000 hektar pada 2014.

Untuk BAP, ada tiga kali kebakaran memakan 84.401 hektar area sejak 2015-2019. Bahkan, perusahaan ini memiliki area terbakar terluas di antara konsesi lain pada 2015-2018.

Sanksi administratif terhadap perusahaan yang memiliki konsesi di Sumatera Selatan ini hanyalah perintah untuk penanaman kembali lahan terbakar 2015.

Dari ketiga perusahaan ini, hanya Arara di luar Sumsel, tepatnya di Pelalawan, Riau. Sejak 2015-2019, Greenpeace mencatat ada lima kali kebakaran dengan luas lahan 12.269 hektar.

 

Poster tolak lupa persoalan PT. BMH oleh JIkalahuri. Akankah keadilan ekologis ditegakkan di Pengadilan Negeri Palembang pada 30 Desember 2015? Sumber: Facebook Made Ali/Jikalahari

 

Jikalahari laporkan Arara Abadi

Tidak hanya Greenpeace, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pun menemukan pelanggaran sama pada Arara. Perusahaan ini dikatakan sengaja membakar hutan sampai 83 hektar.

Dugaan area terbakar sejak 28 Juni itu didapat berdasarkan hitungan Citra Sentinel 2. Jikalahari juga mendapatkan koordinat dari foto saat Tim Manggala Agni memadamkan api di lahan gambut yang di-overlay dengan peta izin usaha pemanfaatan hasil hutan jayu-hutan tanaman (IUPHHK-HT) hingga ditemukan lokasi kebakaran di konsesi Arara di Desa Merbau, Pelalawan.

Tim Jikalahari menyambangi lokasi kebakaran pada 3 Juli lalu dan masih melihat ada asap mengepul karena sebagian lahan masih terbakar. Tim Manggala Agni, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim Regu Pemadam Kebakaran (RPK) Arara sedang pendinginan.

Jikalahari menemukan, lokasi terbakar sudah selesai staking dan siap tanam akasia. Bahkan, di beberapa blok ditemukan akasia baru tanam dan tidak terbakar. “Arara Abadi sengaja membakar untuk ditanami akasia dengan motif mengurangi biaya operasional,” kata Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setyo, dalam keterangan resmi mereka.

Ada informasi kalau asal api kebakaran dari kebun masyarakat di luar konsesi Arara. Ketika ditelusuri lebih lanjut, jarak antara kebun masyarakat terbakar dengan Arara sekitar 680 meter dan tak ada api penghubung.

Menurut Okto, tak mungkin api meloncat ke areal Arara. “Justru areal Arara Abadi sengaja dibakar karena api hanya membakar areal yang sudah di-staking, tidak sampai areal yang sudah ditanam, padahal jarak hanya dipisahkan oleh kanal,” kata Okto.

Hasil analisis hotspot melalui satelit Terra Aqua-Viirs, hotspot dan kebakaran di luar konsesi lebih dulu terjadi, yaitu, 24 Maret-2 April. Di dalam konsesi Arara hotspot dan kebakaran terekam 28 Juni.

Saat overlay titik koordinat lokasi kebakaran dengan peta indikatif restorasi gambut Badan Restorasi Gambut (BRG), areal kebakaran Arara berada di zona merah, merupakan prioritas restorasi pasca kebakaran 2015-2017 tetapi restorasi tidak jalan dan malah kembali terbakar.

Temuan lain Jikalahari berdasarkan citra satelit Sentinel 2 adalah areal yang terbakar merupakan hutan alam yang ditumbuhi semak belukar pada Januari, lalu pada bulan Februari, mulai ada pembukaan lahan areal yang terbakar, sedangkan bulan Maret hingga Mei, ditemukan adanya pembukaan kanal baru dan menambah pembukaan lahan. Terakhir, pada bulan Juni terus terjadi penambahan pembukaan lahan hingga terbakar pada 28 Juni lalu.

Berdasarkan kalkulasi mereka, kebakaran ini merusak gambut dan lingkungan hidup termasuk melebihi baku mutu ambien udara ini merugikan lingkungan hidup Rp20,6 miliar.

Jikalahi pun melaporkan Arara ke Polda Riau terkait dugaan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.

Jikalahari mendesak, Polda Riau segera menetapkan Arara sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan yang mencemari udara, merusak gambut dan lingkungan. Jikalahari juga merekomendasikan KLHK mencabut konsesi Arara terbakar untuk jadi fungsi lindung gambut.

 

Lahan PT Arara Abadi juga terbakar pada 2015. Foto: Made Ali

 

Analisis meragukan

Menanggapi hal ini, APP melalui keterangan resmi mereka meragukan analisis Greenpeace. Menurut mereka, analisis itu dengan pemetaan yang tak jelas. APP merasa sudah pemetaan LiDAR yang komprehensif bersama dengan para ahli Deltares terhadap konsesi para pemasok mereka, termasuk wilayah penanaman dan konservasi dalam konsesi.

Pemetaan terakhir APP pada 2018 yang menghasilkan peta gambut dengan tingkat akurasi tinggi. Peta itu telah dibagikan kepada KLHK sebagai basis penetapan kawasan kubah gambut yang perlu dilindungi di bawah PP Gambut baru.

Soal kebakaran, APP menyatakan tak mengimbau praktik pembukaan lahan dengan pembakaran kepada penyuplai mereka. Meskipun demikian, bukan berarti tak akan ada api di dalam konsesi. Menurut mereka, ada tantangan di lapangan karena kompleksitas penggunaan lahan di konsesi, termasuk pada desa-desa di dalam dan sekitar konsesi.

Organisasi seperti Greenpeace, kata mereka, memainkan peranan penting dalam mendorong akuntabilitas dunia usaha. APP mengapresiasi masukan-masukan Greenpeace.

KLHK masih belum bisa bersikap terkait temuan Greenpeace dan Jikalahari ini. Mereka menyatakan, masih memerlukan waktu untuk membaca dan mengkaji terlebih dahulu hasil temuan itu.

“Kami harus lihat dulu kejadian seperti apa. Karena kalau gambut itu kan harus dilihat dari segala aspek, termasuk pemulihan ekosistem gambutnya. Jadi, menurut saya, saat ini kami perlu mempelajari lebih lanjut dulu tentang kejadian itu,”kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK juga merangkap PLt Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

 

Keterangan foto utama: Gambut terbuka dan terbakar di konsesi PT Arara Abadi pada Juni 2020. Foto udara Jikalahari

 

Exit mobile version